Demokrasi Hari ini: Suara Rakyat atau Suara Tuan?

Demokrasi di Indonesia hari ini bukan lagi “suara rakyat, suara Tuhan,” melainkan “suara rakyat, suara tuan.”Sebab, yang lebih sering didengar bukanlah aspirasi rakyat kecil, melainkan kepentingan para tuan besar—elite politik, oligarki, dan pemilik modal. Dewasa ini, demokrasi kerap dipahami sebatas prosedur elektoral: rakyat datang ke TPS setiap lima tahun sekali untuk memilih pemimpin, lalu kembali bungkam setelahnya. Joseph Schumpeter memang menyebut demokrasi sebagai mekanisme kompetitif untuk memperebutkan kekuasaan melalui pemilu, tetapi definisi itu berhenti di level prosedural. Robert Dahl menekankan bahwa demokrasi sejati menuntut dua syarat fundamental: partisipasi luas dan kontestasi nyata. Dengan kata lain, demokrasi bukan hanya pesta suara, melainkan juga ruang kebebasan yang dijaga, kesetaraan yang dijamin, serta hukum yang ditegakkan tanpa pandang bulu.

Namun, di Indonesia, demokrasi berhenti di permukaan. Meriah di TPS, hampa di luar itu. Kritik sering dicap radikal, suara mahasiswa dianggap provokatif, bahkan gerakan rakyat kerap dibungkam dengan gas air mata. Ironisnya, bukankah inti demokrasi justru memberi ruang bagi perbedaan pandangan?

Kontestasi politik pun lebih menyerupai pertunjukan. Partai-partai yang seharusnya mewakili rakyat berubah menjadi korporasi kekuasaan. Undang-undang kerap dijahit bukan demi kepentingan publik, melainkan untuk melanggengkan status quo. Demokrasi di atas kertas tampak pro-rakyat, tapi di lapangan ia tunduk pada oligarki.

Sejarah mencatat noda yang terus diulang. Munir dibunuh pada tahun 2004, keadilan tak kunjung datang. Aksi Reformasi Dikorupsi 2019 dibalas gas air mata dan peluru karet. Bahkan baru-baru ini, sepuluh nyawa melayang saat rakyat turun ke jalan. Di negeri yang katanya demokratis, kritik sering kali dibayar dengan nyawa. Lebih ironis lagi, aparat yang mestinya mengayomi justru berubah menjadi algojo. Polisi yang seharusnya melindungi rakyat, menjelma sebagai pelaku kekerasan. Namun, alih-alih diadili, mereka dibela mati-matian oleh penguasa.

Kepercayaan publik pun runtuh: demokrasi tampak sebagai sandiwara, sementara rakyat menjadi korban.

Kini, perhatian publik justru dialihkan pada hal-hal remeh: pelabelan dan nominasi tanpa substansi, pencitraan yang menutupi luka demokrasi. Bahkan DPR, lembaga yang menyebut diri “wakil rakyat,” kerap mempertebal ironi. Alih-alih membela kepentingan publik, mereka lebih sibuk membuat undang-undang kontroversial, berjoget di ruang sidang, atau terjerat kasus korupsi. Pertanyaannya: rakyat mana yang sebenarnya mereka wakili?

Kenyataan ini menunjukkan bahwa demokrasi di Indonesia sesungguhnya lahir dalam kondisi rapuh. Ia dipelihara oleh racun-racun lama: budaya politik feodal yang membuat rakyat hanya “ikut arus”; kesenjangan sosial ekonomi yang membatasi partisipasi; hukum yang tajam ke bawah tapi tumpul ke atas; literasi politik rendah yang membuat rakyat mudah diperdaya; dan wajah otoritarianisme baru yang membungkus represi dengan jargon stabilitas. Demokrasi tidak lagi dibunuh dengan peluru, melainkan dengan pena—aturan diotak-atik, kebebasan dipersempit, dan rakyat dibelenggu secara halus.

Fenomena ini sejatinya bukan monopoli Indonesia. Banyak negara berkembang mengalami pola serupa—rapuhnya demokrasi ketika berhadapan dengan feodalisme politik, oligarki, dan militerisme. Filipina, misalnya, demokrasi elektoral memang berjalan, tetapi dikuasai dinasti politik yang mewariskan kekuasaan turun-temurun. Myanmar sempat mencicipi euforia demokrasi, namun cepat digilas kudeta militer yang memutar kembali jarum sejarah. Mesir pasca-Arab Springpun serupa, ketika harapan rakyat untuk demokrasi sejati justru diganti dengan rezim otoritarianisme baru. Indonesia sendiri kini masuk dalam arus kemunduran ini. Laporan Freedom House 2024 menurunkan status Indonesia menjadi Partly Free—sebuah tamparan keras bahwa demokrasi yang dulu diperjuangkan dengan darah dan air mata kini semakin menyusut, perlahan tapi pasti kehilangan maknanya.

Maka jelaslah: demokrasi di negeri ini adalah demokrasi yang dikhianati. Ia hidup segan, mati tak mau. Sekadar topeng untuk menutupi wajah otoritarianisme. Peribahasa lama berkata, “bagai pungguk merindukan bulan”—begitulah rakyat menanti demokrasi sejati. Tetapi bulan tak akan pernah turun jika kita hanya menengadah tanpa suara.

Plato pernah mengingatkan, demokrasi yang rapuh hanya akan melahirkan tirani baru. Rousseau menegaskan, demokrasi sejati hidup bila kehendak rakyat benar-benar dijunjung. Pertanyaan pun menggantung: apakah demokrasi Indonesia sedang menuju ruang ideal Rousseau, atau justru terjebak dalam kutukan Plato?

Karena itu, mari kita suarakan yang bisu, hidupkan yang dibungkam, dan renungkan kembali arti merdeka di negeri yang katanya demokratis ini. Selama suara rakyat masih ada, masih ada harapan: bahwa demokrasi tak berhenti sebagai sandiwara, melainkan bisa kembali ke hakikatnya—suara rakyat adalah suara Tuhan.

 

 

Penulis,

Ayu Sekar Ndini

Bachelor of Pancasila and Civic Education, Universitas Negeri Jakarta

Masters Management, Universitas Bakrie

 

 *Artikel Sayembara Opini Antikorupsi September 2025


 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan