Catatan Merah untuk Pemerintah dan Elit Politik di Tengah Krisis Demokrasi
Demokrasi Indonesia berada di persimpangan jalan yang mengkhawatirkan. Apa yang kita saksikan hari-hari ini bukanlah sekadar dinamika politik biasa, melainkan sebuah regresi atau kemunduran sistematis yang mengancam pilar-pilar fundamental yang telah susah payah dibangun sejak era Reformasi. Berbagai indikator menunjukkan bahwa kualitas demokrasi kita terus menurun, sebuah tren yang didorong oleh tindakan pemerintah dan manuver elit politik yang lebih mengutamakan kepentingan kekuasaan pragmatis ketimbang prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri. Tulisan ini adalah sebuah catatan merah, sebuah opini pribadi, tentang betapa seriusnya krisis yang sedang kita hadapi.
Catatan merah pertama adalah pelemahan institusi-institusi penjaga demokrasi. Dua lembaga krusial, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Mahkamah Konstitusi (MK), telah mengalami erosi kepercayaan dan independensi yang parah. Pelemahan KPK melalui revisi undang-undang secara efektif telah menumpulkan taringnya dalam memberantas korupsi, sebuah agenda inti dari reformasi. Sementara itu, Mahkamah Konstitusi, yang seharusnya menjadi benteng terakhir keadilan konstitusional, justru menjadi pusat kontroversi melalui Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023. Putusan yang mengubah syarat usia calon presiden dan wakil presiden ini dinilai sarat dengan konflik kepentingan dan secara terang-terangan memfasilitasi politik dinasti. Ketika lembaga yang seharusnya mengawasi kekuasaan justru dilemahkan atau bahkan menjadi alat kekuasaan, maka mekanisme checks and balances telah lumpuh.
Kedua, ruang kebebasan sipil semakin menyempit secara signifikan. Kritik, yang merupakan jantung dari demokrasi, kini sering kali dibalas dengan represi. Penggunaan pasal-pasal karet dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menjadi momok bagi aktivis, jurnalis, dan warga biasa yang berani menyuarakan pendapat kritis terhadap pemerintah. Data dari berbagai lembaga menunjukkan bahwa warga negara semakin takut untuk berpendapat, berserikat, dan bahkan berdemonstrasi. Fenomena "operasi buzzer" di media sosial juga turut memperkeruh suasana dengan mendegradasi diskusi publik yang sehat dan menyerang siapa saja yang dianggap sebagai oposisi. Kondisi ini menciptakan apa yang disebut flawed democracy atau demokrasi cacat: pemilu tetap berjalan, namun substansi kebebasan dan partisipasi publik terus tergerus. Laporan dari Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenkopolhukam) sendiri mengakui bahwa salah satu penyebab utama penurunan Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) pada 2023 adalah meningkatnya hambatan terhadap kebebasan berpendapat.
Catatan ketiga, dan mungkin yang paling fundamental, adalah suburnya praktik politik dinasti dan elitisme. Pemilu 2024 dan pilkada serentak yang akan datang menjadi etalase bagaimana kekuasaan diwariskan dalam lingkaran keluarga dan kroni. Fenomena ini menunjukkan kegagalan partai politik dalam melakukan kaderisasi yang meritokratis dan terbuka. Alih-alih menjadi wadah aspirasi rakyat, partai politik cenderung menjadi kendaraan bagi segelintir elit untuk melanggengkan pengaruh dan kekayaan. Keputusan-keputusan politik, termasuk pembentukan undang-undang yang minim partisipasi publik, sering kali lebih mencerminkan kepentingan oligarki daripada kesejahteraan umum. Politik dinasti bukan hanya mencederai rasa keadilan, tetapi juga menutup kesempatan bagi putra-putri terbaik bangsa di luar lingkaran elit untuk berkontribusi dalam memimpin negeri.
Kombinasi dari institusi yang lemah, ruang sipil yang terancam, dan dominasi elit politik yang pragmatis telah membawa demokrasi Indonesia ke titik nadir. Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) pada 2023 memang masih berada di kategori "sedang" dengan skor 79,51, namun angka ini mengalami sedikit penurunan dari tahun sebelumnya. Lebih penting dari sekadar angka adalah tren yang mengkhawatirkan di baliknya, terutama pada aspek kebebasan sipil dan fungsi lembaga legislatif yang mendapat nilai sangat rendah.
Ini adalah panggilan mendesak bagi pemerintah dan seluruh elit politik untuk melakukan introspeksi. Kekuasaan yang diraih dengan cara mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi tidak akan pernah langgeng dan tidak akan membawa kemaslahatan bagi rakyat. Demokrasi bukan hanya tentang memenangkan pemilu, tetapi tentang menjamin kebebasan, menegakkan keadilan, dan memastikan pemerintah bekerja untuk rakyatnya. Bagi masyarakat sipil, tugas kita adalah terus mengawasi, bersuara, dan menolak untuk diam. Karena jika kita membiarkan kemunduran ini terus berlanjut, kita berisiko kehilangan demokrasi yang telah diperjuangkan dengan darah dan air mata.
Penulis,
Marganda Gratiajo Sinambela
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
*Artikel Sayembara Opini Antikorupsi September 2025