Catatan Akhir Tahun ICW 2024: Melawan Gelap Tahun Politik

Presiden Prabowo dalam World Government Summit 2025 menyebut korupsi di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan. Pernyataan ini sejalan dengan banyaknya kasus yang merugikan negara triliunan rupiah di berbagai sektor, seperti kasus Jiwasraya, Asabri, Duta Palma, hingga Timah. Mega korupsi terbaru yang dibongkar penegak hukum adalah korupsi di Pertamina tahun 2018-2023 dengan potensi kerugian negara mencapai Rp193,7 triliun hanya pada 2023.
Korupsi juga masih menyerang pelayanan dasar yang dekat dengan publik. Tak heran, publik semakin apatis dengan narasi pemberantasan korupsi. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia 2024 yang disebut naik dari 34 ke 37 tak ubahnya skor pada satu dekade lalu dan masih di bawah skor puncak, yaitu 40 pada 2019.
Sayangnya, pernyataan keras Presiden tidak diiringi kebijakan antikorupsi yang konkret. Sebaliknya muncul wacana yang bertentangan dengan semangat antikorupsi. Diantaranya yaitu ide Presiden memaafkan koruptor yang mengembalikan uang negara dan rencana Menteri Hukum dan HAM Supratman Andi Agtas untuk memberlakuan “denda damai” terhadap pelaku korupsi. Menteri yang juga mantan anggota DPR ini juga menyatakan KPK tak lagi diperlukan jika tiga UU Politik, UU Perampasan Aset, dan UU Pembatasan Uang Kartal sudah disahkan.
Di sisi lain, rancangan UU Perampasan Aset dan UU Pembatasan Uang Kartal tidak kunjung menjadi prioritas. Dua UU penting tersebut bahkan tak masuk Program Legislasi Nasional 2025. Ini semakin menunjukkan bahwa pemerintah dan DPR tidak serius membenahi regulasi untuk melindungi uang negara dari korupsi. Presiden Prabowo juga belum menyuguhkan langkah nyata memperkuat lembaga penegak hukum seperti KPK, Kepolisian, Kejaksaan, dan lembaga peradilan.
Publik justru diperlihatkan manuver pemerintah dalam pembentukan Badan Pengelola Investasi Danantara yang kilat dan jauh dari tata kelola yang baik. Struktur direksi Danantara diwarnai rangkap jabatan yang rawan konflik kepentingan. Lembaga ini juga dikhawatirkan menjadi super dengan pengawasan minimalis. Laporan keuangannya hanya diaudit akuntan publik, bukan BPK atau BPKP, kecuali atas permintaan DPR.
Lebih ironis, UU No.1 Tahun 2025 yang menjadi dasar pembentukan Danantara justru menghapus status direksi, komisaris, dan pengawas BUMN sebagai penyelenggara negara, bertentangan dengan UU No. 28 Tahun 1999. Artinya, pejabat BUMN dan Danantara yang akan mengelola aset sebesar Rp14 ribu triliun dapat berlindung di balik “business judgment rule” dan menghindari jerat penegak hukum, termasuk KPK.
Apa artinya beragam kondisi ini dengan pemberantasan korupsi? Publik patut waswas korupsi makin besar, bukan hanya karena praktik korupsinya, tetapi arah kebijakan pemerintahan yang mengabaikan prinsip good governance. Tanpa penguatan pengawasan publik, kondisi ini akan membawa Indonesia ke arah yang semakin jauh dari cita-cita penyelenggaraan negara yang bersih dari KKN dan Asta Cita.