Teror Legislasi untuk KPK

Boleh jadi KPK adalah satu-satunya lembaga negara yang paling dibenci oleh rezim politik mana pun yang tengah berkuasa.
 
Selain rutinitas kasus kriminalisasi yang dihadapi orang-orang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), lembaga ini juga kerap digugat dasar hukumnya di Mahkamah Konstitusi. Belum lagi upaya bertingkat dan bertahap untuk menggerus secara perlahan dasar legalitasnya melalui revisi UU KPK. Upaya menempatkan KPK pada posisi mandul, sehingga tak bisa berbuat banyak untuk memberantas korupsi, sebenarnya juga sejarah dari lembaga-lembaga anti korupsi yang pernah hadir di republik ini.
 
Upaya meneror KPK melalui politik legislasi merupakan konsekuensi logis dari sepak terjang KPK dalam memberantas korupsi, khususnya pada aspek penindakan. Tak sedikit pejabat publik, elite politik, pengusaha, dan birokrat yang harus menyatakan selamat tinggal pada karier dan masa depan mereka karena tertangkap tangan oleh KPK.
 
Sayangnya, meski upaya operasi tangkap tangan (OTT) ataupun kerja-kerja pengungkapan kasus korupsi melalui mekanisme yang konvensional, yakni case building, telah dilakukan sedemikian sering, belum cukup bagi pejabat publik dan kelompok yang rentan menyalahgunakan wewenang untuk berhenti korupsi. Barangkali, sudah terbangun persepsi umum bahwa yang ditangkap KPK adalah orang yang tengah sial belaka.
 
Praktik baik internasional
Pada dasarnya, mengubah peraturan atau dasar hukum bukan hal tabu. Bahkan, dasar hukum setingkat konstitusi pun bisa diperbaiki/direvisi jika ada kehendak mayoritas warga. Hanya saja, dalam konteks pemberantasan korupsi, pelajaran dari negara lain yang sukses memberantas korupsi, seperti di Singapura dengan Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB)-nya, agenda legislasi bidang anti korupsi hanya bertujuan memperkuat dan memperbaiki sistem anti korupsinya. Dalam catatan Jon ST Quah (1995; 2001), UU Anti Korupsi di Singapura telah diubah empat kali dengan tujuan penguatan.
 
Ada beberapa butir penting dari agenda penguatan CPIB Singapura. Pertama, investigator CPIB diberi wewenang menjadikan informasi atas asal-usul kekayaan tersangka yang tak dapat dijelaskan dari mana sumbernya sebagai bukti untuk menyeret seseorang dalam proses hukum lebih lanjut.
 
Kedua, CPIB juga diberi wewenang menangani perkara korupsi sektor swasta, bukan semata korupsi yang melibatkan pejabat publik atau penyelenggara negara. Butir ini sangat penting karena pemahaman korupsi di Indonesia masih berkutat pada korupsi sektor publik, sementara negara-negara lain yang berhasil memerangi korupsi telah memasukkan sektor swasta dalam regulasi anti korupsi mereka.
 
Ketiga, pelajaran penting lainnya dari keberhasilan membentuk komisi anti korupsi yang kuat juga karena adanya kepemimpinan politik yang kuat, yakni pejabat publik tertingginya selalu melindungi komisi anti korupsinya dari upaya pelemahan. Di Singapura, sejarah pemberantasan korupsi mereka dimulai oleh partai yang baru berkuasa, yakni People's Action Party (PAP) pada 1959 sebagai bagian dari kampanye politik mereka. Kampanye terkenal mereka tentang korupsi adalah "a high risk, low reward".
 
Terakhir, komisi anti korupsi hanya akan mampu melawan korupsi jika lembaga ini steril dari campur tangan dan pengaruh penegak hukum lain. Ini artinya, tidak ada dalam praktik internasional di mana komisi independen anti korupsi yang jajaran pegawainya diambil dari kepolisian sebagai misal. Hal ini untuk menjaga posisi komisi dari berbagai macam kemungkinan pengaruh buruk, atau keraguan dan hambatan dalam memberantas korupsi yang terjadi di lembaga penegak hukum lainnya.          
 
Dalil yang absurd
Dengan melihat berbagai contoh praktik baik internasional dalam memberantas korupsi, apakah Indonesia melalui semangat revisi UU KPK yang tengah diusahakan sebenarnya menuju, berkiblat, atau terinspirasi oleh kisah sukses negara lain dalam melawan korupsi, ataukah sebenarnya dalil penguatan yang diwacanakan hanyalah ilusi belaka? Setidaknya, ada beberapa isu besar dari rencana revisi UU KPK yang menjadi alasan paling fundamental dari kalangan yang menyokong revisi UU KPK.
 
Pertama, kontrol yang lebih kuat pada KPK melalui pembentukan Dewan Pengawas. Bukan hanya memiliki wewenang melakukan evaluasi kinerja pimpinan KPK, Dewan Pengawas punya hak veto untuk menyetujui atau tidak penyadapan dan penyitaan. Dari dasar ini, kita perlu bertanya: apakah selama ini KPK telah melakukan penyadapan yang sembrono, membabi buta, dan mengancam hak privasi orang? Sejauh ini, tak ada argumentasi faktual yang diajukan DPR untuk memberikan justifikasi logis atas keberadaan Dewan Pengawas. Untuk menunjuk satu bentuk penyimpangan dari penyadapan yang dilakukan KPK pun mereka tak memiliki bukti yang valid.
 
Sementara itu, mekanisme kontrol terhadap KPK sebenarnya sudah cukup memadai. Selain DPR sebagai lembaga politik yang mengawasi, KPK juga diawasi media, dikontrol publik, dan memiliki mekanisme internal yang bisa diberdayakan maksimal untuk fungsi pencegahan internal KPK dari kemungkinan pelanggaran kode etik maupun pidana. Kasus yang terkait dengan bocornya sprindik kasus tertentu maupun syahwat politik untuk maju sebagai calon presiden/wakil presiden dari pimpinan KPK yang masih aktif, hal itu bisa diselesaikan melalui mekanisme pembentukan Komite Etik ataupun memaksimalkan fungsi Tim Penasihat KPK yang dalam praktiknya tidak pernah berjalan efektif. Sayangnya, DPR tak pernah memberikan kritik yang cukup atas realitas Tim Penasihat KPK yang tidak pernah berjalan maksimal sebagaimana dimandatkan UU.
 
Kedua, penyadapan oleh KPK hanya bisa dilakukan saat penyidikan kasus korupsi telah dimulai. Kembali, pengaturan mengenai penyadapan masuk sebagai isu yang vital bagi DPR. Pembatasan penyadapan KPK sejak tahap penyidikan sebenarnya kata lain dari larangan halus melakukan penyadapan. Akan sangat mustahil KPK melakukan OTT jika proses itu baru bisa dilakukan sejak kasus masuk ke tahap penyidikan, bukan penyelidikan. Jika memang DPR hendak mengatur soal ini, tentu DPR perlu merujuk kembali pada putusan Mahkamah Konstitusi yang memerintahkan adanya pengaturan khusus atau UU tersendiri mengenai penyadapan sehingga mekanisme checks and balances penyadapan akan meliputi semua institusi negara yang berwenang melakukannya, bukan hanya KPK.
 
Ketiga, KPK dilarang merekrut penyelidik dan penyidik sendiri karena-menurut draf yang ada-penyelidik dan penyidik hanya bisa berasal dari kepolisian. Dengan monopoli penyelidik dan penyidik dari kepolisian, bisa dipastikan KPK akan mandul dan lumpuh menangani korupsi yang melibatkan elite kepolisian. Konsep lain yang cukup membahayakan posisi KPK adalah wewenang surat penghentian penyidikan (SP3). Dalam praktiknya, KPK menggunakan standar yang lebih tinggi dalam menangani perkara korupsi, sejak dalam tahap penyelidikan. Hal inilah yang menjadikan 100 persen conviction rate KPK tetap terjaga. Dengan berbagai alasan di atas, tak ada manfaat lebih bagi KPK untuk lebih bertaji melawan korupsi melalui mekanisme revisi UU KPK yang materialnya justru hendak menjerumuskan KPK ke jurang kehancuran.
 
Adnan Topan Husodo, Koordinator ICW
-------------
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 Februari 2016, di halaman 7 dengan judul "Teror Legislasi untuk KPK".

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan