Surat Pengaduan ke BK DPR, soal Dugaan Pelanggaran Tatib DPR dalam Pembahasan RUU MA

dprSelasa 23 Desember 2008, sekitar pukul 14.30 WIB, ICW menyerahkan pengaduan pada Badan Kehormatan (BK) DPR atas dugaan pelanggaran tata tertib dan kode etik DPR dalam rapat paripurna pembahasan RUU Mahkamah Agung oleh Agung Laksono.
Pada prinsipnya, Agung Laksono diduga melanggar sejumlah pasal-pasal di tata tertib DPR dan kode etik DPR, yang menjadi salah satu alasan mengatakan UU MA cacat Hukum. Setelah pelaporan pada BK  DPR ini, ICW akan mengajukan Judicial Review (uji formil) ke Mahkamah Konstitusi.
 
Berikut surat pengaduan tersebut...

Nomor: 412/SK/BP/ICW/XII/08

Jakarta, 23 Desember 2008

 

Kepada, Yth:

Pimpinan Badan Kehormatan

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia

(BK DPR-RI)

di,- Jakarta

 

Perihal: Pengaduan Dugaan Pelanggaran Tata Tertib dan Kode Etik DPR

oleh H.R. Agung Laksono, Ketua DPR-RI Periode 2004-2009

 

Dengan hormat,

Sebagai bagian dari masyarakat yang peduli dan selalu berperan dalam pemberantasan korupsi, upaya penegakan hukum yang fair, dan penegakan citra DPR-RI.

 

Dengan ini ICW mengajukan Pengaduan pada Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (BK DPR-RI) tentang Dugaan Pelanggaran Tata Tertib dan Kode Etik DPR oleh Agung Laksono selaku Piminan DPR-RI dan Pimpinan Sidang Paripurna Pengesahan Rancangan Undang-Undang Mahkamah Agung (RUU MA), Kamis 18 Desember 2008.

 

Pertimbangan yang dapat dijadikan dasar Pengaduan ini, antara lain:

1.      

Pada hari Kamis, 18 Desember 2008, sekitar pukul. 20.00-22.00 WIB dua anggota badan pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW), masing-masing: Emerson Yuntho dan Febri Diansyah melakukan pemantauan langsung proses Sidang Paripurna pengesahan RUU MA dan Pembacaan Sikap Akhir Fraksi dari Balkon bagian belakang Ruang Sidang Paripurna-Gedung Nusantara II DPR-RI;

2.      

Dari lokasi tersebut, terlihat jelas, Sidang dipimpin oleh Agung Laksono yang juga merupakan Ketua DPR-RI periode 2004-2009;

3.      

ICW melakukan tiga (3) kali penghitungan jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna. Jumlah anggota DPR yang hadir berkisar antara 90-96 orang, sebagian terlihat mondar-mandir;

4.      

ICW melihat dan mendengar Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menyatakan KEBERATAN dan TIDAK MENERIMA pembahasan perubahan kedua UU. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, sebelum diselesaikan pembahasan UU Komisi Yudisial dan UU Mahkamah Konstitusi;

5.      

Setelah pembacaan sikap akhir semua fraksi dan sikap Pemerintah RI yang diwakili oleh Menteri Hukum dan HAM, Andi Matalata, ICW melihat dan mendengar Agung Laksono bicara pada peserta Sidang Paripurna, dan bertanya tentang persetujuan semua anggota DPR tentang Pengesahan RUU MA;

6.      

Sebagian anggota DPR-RI yang hadir saat itu menjawab pertanyaan Pimpinan Sidang dengan menyatakan "Setuju", akan tetapi sebagian lainnya menyatakan tidak setuju;

7.      

Dari bagian belakang Ruang Sidang, Ketua Fraksi PDIP, Tjahyo Kumolo mengajukan Interupsi dan memperingatkan Pimpinan Sidang agar mematuhi Tat Tertib Sidang di DPR dan menyatakan PDIP tidak menerima atau tidak setuju dengan pengesahan RUU Mahkamah Agung, sehingga harus dilalui mekanisme berikutnya seperti Lobby dan pemungutan suara (votting);

8.      

Pimpinan Sidang tidak menggubris dan kembali bertanya pada anggota DPR yang hadir, apakah setuju dengan pengesahan RUU MA;

9.      

Sebagian anggota menyatakan Setuju, akan tetapi sebaian lainnya menyatakan Interupsi dan penolakan;

10.   

ICW mendengar dari sayap kanan bagian belakang, Interupsi diajukan kembali oleh salah seorang anggota DPR dari fraksi lain.

11.   

Pimpinan Sidang tetap tidak menggubris interupsi dan penolakan sejumlah anggota DPR, dan mengetukkan palu, kemudian menyatakan RUU Mahkamah Agung sah menjadi Undang-Undang.

 

Aturan yang terkait dan diduga dilanggar oleh Agung Laksono selaku Pimpinan Sidang Paripurna RUU Mahkamah Agung (Perubahan Kedua UU. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung), Kamis 18 Desember 2008:

 

1.        

Pasal 27 ayat (1) huruf (a) Tata Tertib DPR RI mengatur, Tugas Pimpinan DPR adalah: memimpin sidang dan menyimpulkan hasil sidang untuk diambil keputusan;

2.        

Pasal 206 Tata Tertib DPR atau Keputusan DPR Nomor 08/DPR-RI/I/2005.2006;

§ 

Mengatur tentang kewajiban dan syarat pemenuhan Kuorom dalam pengambilan keputusan di DPR.

§ 

Pada ayat (1) ditegaskan, setiap rapat DPR dapat mengambil keputusan apabila dihadiri oleh lebih dari separuh anggota rapat yang terdiri dari lebih dari separuh unsur Fraksi.

 

"Berdasarkan pemantauan ICW dan sejumlah pemberitaan media yang dihasilkan dari Liputan langsung wartawan media bersangkutan, Anggota DPR yang hadir hanya 90-96 orang. Padahal Kourum minimal seharusnya diatas 275 orang.

 

Dengan demikian, tindakan pimpinan sidang untuk tetap mengambil Keputusan diduga melanggar Pasal 206 Tatib DPR"

 

§ 

Terkait defenisi "kehadiran", Tatib DPR tidak menyebutkan defenisi yang tegas, karena itu harus dicari pada aturan lainnya.

§ 

Berdasarkan Keputusan DPR-RI Nomor 16/DPR RI/I/2004-2005 tentang Kode Etik DPR RI dan Lampiran Keputusan DPR-RI Nomor 15/DPR RI/I/2004-2005, ditemukan dapat dipahami maksud dari "kehadiran" rapat DPR, yaitu kehadiran secara fisik, yaitu Pasal 6 ayat (2).

 

3.      

Pasal 205, 208, 210 sampai dengan 214 Tata Tertib DPR atau Keputusan DPR Nomor 08/DPR-RI/I/2005.2006.

§ 

Pasal 205 ayat (1) menyatakan, Pengambilan Keputusan dalam Rapat DPR diusahakan secara musyawarah untuk mencapai MUFAKAT. Dan pada ayat (2) disebutkan, jika tidak tercapai mufakat keputusan diambil berdasarkan SUARA TERBANYAK.

§ 

Terkait MUFAKAT ini, Pasal 208 ayat (1) menegaskan pengambilan keputusan MUFAKAT hanya dapat dilakukan setelah anggota rapat diberikan kesempatan yang cukup untuk mengemukakan pendapat. Hal ini terkait juga dengan Pasal 210yang menyatakan, bahwa jika MUFAKAT tidak tercapai (ada pendirian sebagian anggota yang sudah tidak dapat dipertemukan lagi, atau ada anggota yang TIDAK SETUJU), maka keputusan diambil berdasarkan SUARA TERBANYAK.

§ 

Kemudian, Pasal 211 – 214 mengatur lebih lanjut mekanisme pengambilan Keputusan dengan SUARA TERBANYAK.

 

"Berdasarkan pemantauan ICW dan sejumlah berkas yang diajukan pada BK DPR, terihat Pimpinan Sidang diduga melanggar mekanisme pengambilan keputusan rapat, yaitu:

a.     

Tidak memberikan kesempatan yang cukup bagi anggota untuk mengemukakan pendapat yang berbeda;

b.     

Tidak menggubris interupsi dan penolakan secara resmi Fraksi PDIP, baik penolakan secara lisan ataupun yang dituangkan secara tertulis pada Pendapat Akhir Fraksi.

c.     

Artinya, dalam paripurna tersebut terdapat sejumlah anggota DPR RI dan Fraksi yang tidak setuju.

 

4.      

Berdasarkan Kode Etik DPR, Pasal 7 disebutkan, setiap rapat berlangsung semua anggota wajib memenuhi segala tata cara rapat sebagai mana diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPR RI;

 

Dengan kata lain, Pelanggaran Tata Tertib berdasarkan Pasal 7 Kode Etik DPR RI diatas, juga merupakan Pelanggaran Kode Etik DPR RI.

 

5.      

Terkait dengan pengertian Anggota dalam Kode Etik diatas, merupakan semua anggota DPR, baik yang menjadi pimpinan ataupun anggota lainnya yang dipilih berdasarkan hasil Pemilihan Umum 2004 dan berjumlah 550 orang. (Pasal 16 dan 17 UU 22 tahun 2003; Pasal 1 butir (2) Kode Etik DPR RI)

 

Dengan kata lain, Ketua DPR, Agung Laksono masuk dalam kategori "Anggota" yang juga harus memenuhi Tata Tertib Rapat DPR.

 

6.      

Pasal 11 ayat (3) Tatib DPR-RI memberikan kewenangan pada Badan Kehormatan DPR RI untuk menangani dugaan pelanggaran Kode Etik

 

7.      

Pasal 21 Tata Tertib DPR RI memberikan kewenangan terhadap Badan Kehormatan DPR RI untuk memberhentikan Pimpinan DPR dari jabatannya karena dinyatakan melanggar Kode Etik DPR.

 

Berdasarkan alasan, penjelasan dan dasar hukum diatas, ICW meminta Badan Kehormatan DPR:

1.      

Menindaklanjuti dalam bentuk pemanggilan dan pemeriksaan Dugaan Pelanggaran Tata Tertib dan Kode Etik DPR RI atas nama Agung Laksono sesuai dengan Kewenangan Badan Kehormatan DPR seperti yang diatur di dalam Pasal 59 Tata Tertib DPR RI;

2.      

Memeriksa fraksi yang menolak dan interupsi pada sidang paripurna RUU Mahkamah Agung sebagai "Pihak terkait";

3.      

Mengumumkan secara terbuka hasil Keputusan atau Hasil Pemeriksaan Badan Kehormatan DPR RI terhadap Dugaan Pelanggaran Tata Tertib dan Kode Etik DPR RI  dimaksud.

4.      

Memberikan sanksi kepada yang bersangkutan jika terbukti melanggar Tata Tertib dan Kode Etik DPR-RI;

Sebagai bahan pertimbangan, dalam berkas pengaduan ini kami lampirkan:

1.      

Rekaman Video Persidangan Paripurna dan Penyampaian Pendapat Akhir Fraksi DPR dalam pembahasan RUU Mahkamah Agung, Kamis 18 Desember 2008;

2.      

Foto-foto terkait Persidangan Paripurna dan Penyampaian Pendapat Akhir Fraksi DPR dalam pembahasan RUU Mahkamah Agung, Kamis 18 Desember 2008;

3.      

Laporan Wartawan yang melakukan peliputan, dalam bentuk Kliping Media.

4.      

Pendapat Akhir Fraksi PDIP terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung;

 

Berkas lain yang berhubungan akan disusulkan kemudian.

 

Demikian Pengaduan ini dibuat dan diajukan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) pada Badan Kehormatan DPR RI.

 

Hormat Kami,

Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch

 

 ttd

 

I.Z. Fahmi Badoh

Wakil Koordinator 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan