Suap Terhadap Media Masuk Tindak Korupsi

Pihak swasta sulit untuk dituduh melakukan korupsi.

Pengamat hukum Universitas Gadjah Mada, Denny Indrayana, mengatakan suap terhadap media seharusnya dikategorikan pada tindak korupsi. Seluruh masalah suap perlu dimasukkan ke dalam tindakan korupsi, ujarnya saat dihubungi Tempo, Sabtu lalu.

Media, kata Denny, memegang peran penting sebagai alat pendukung gerakan antikorupsi. Namun, di balik itu, media merupakan sektor yang sangat rentan terhadap korupsi, yakni dalam bentuk suap-menyuap. Itu pentingnya diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, katanya.

Menurut Denny, kontrol penuh media terhadap gerakan antikorupsi sangat dibutuhkan. Sebab, dia melanjutkan, media menjadi corong informasi bagi masyarakat dalam hal pendidikan antikorupsi. Kalau medianya korupsi, sulit bagi gerakan antikorupsi untuk maju, ujarnya.

Sebelumnya, perumus Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Andi Hamzah, mengatakan jenis korupsi yang termasuk kasus suap-menyuap pihak swasta adalah yang menyangkut kepentingan umum. Dia mencontohkan suap-menyuap di bidang olahraga dan media. Juga menyuap dosen, dokter swasta, notaris, dan media, kata Hamzah.

Namun, pengamat media Universitas Indonesia, Ade Armando, menilai korupsi dalam bentuk suap-menyuap di media sulit dibuktikan secara hukum. Dalam kode etik jurnalistik, kata Ade, disebutkan wartawan dilarang menyalahgunakan profesinya dan tidak menerima suap.

Dalam kode etik itu, kata dia, yang dimaksud suap adalah wartawan menulis dengan menerima bayaran dari narasumber.

Dia mencontohkan, jika dalam jumpa pers wartawan diberikan uang transportasi, Apakah ini termasuk jenis suap?

Ketua Dewan Pers Ichlasul Amal mengakui sampai saat ini belum ada definisi yang jelas soal suap kepada media adalah korupsi. Dari dulu juga definisi korupsi itu tak jelas, katanya.

Karena itu, menurut dia, pihak swasta sulit untuk dituduh melakukan korupsi. Tidak ada kerugian negaranya kok, katanya.

Dia mengaku bingung dengan dimasukkannya suap kepada media sebagai korupsi. Batasannya apa? ujarnya. Jika penafsirannya diserahkan kepada hakim, justru akan bermasalah.

Amal mencontohkan, selama ini banyak pemerintah daerah yang menyediakan anggaran untuk wartawan, termasuk kepolisian. Anggaran itu untuk menjalankan peraturan, katanya. Kalau begitu bagaimana? ujarnya.

Sementara itu, Denny sepakat hukuman mati dihapus dalam Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi asalkan dengan tujuan demi memperlancar ekstradisi. Jika keluar dari tujuan itu, tentu hanya akan melemahkan keangkeran Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, ujarnya. fajar wh l sandy ip | iqbal m | purborini

Sumber: Koran Tempo, 21 Januari 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan