Sadap dan Penegakan Hukum

Sadap tahap kedua Komisi Pemberantasan Korupsi atas hubungan telepon antara Urip Tri Gunawan dan Artalyta Suryani merupakan ikon sadap yang memberi stigma penegakan hukum di Indonesia.

Betapa tidak. Dalam suatu proses peradilan pidana yang masih berjalan dan keduanya berstatus tahanan, sarana komunikasi justru menjadi fabrikasi terhadap proses pidana itu. Penyadapan merupakan sarana teknologi yang ampuh untuk membongkar kejahatan sistemik, seperti halnya korupsi, narkotika, hak asasi manusia, maupun interstate crimes lainnya. Penyadapan KPK ini sebagai suatu keberhasilan sekaligus cermin lemahnya pengawasan penegak hukum terhadap manisnya komunikasi terdakwa yang ditahan dengan sarana itu.

Dalam hal tindak pidana korupsi, khususnya dengan delik suap, penyadapan merupakan front-gate untuk membuka tabir bentuk perbuatan koruptik lainnya, seperti halnya penyalahgunaan wewenang dari aparatur negara atau pejabat publik.

Permasalahan yang mengemuka adalah (1) sampai sejauh mana legalitas penyadapan KPK yang ditebarluaskan disidang Pengadilan Tipikor, selain juga (2) sorotan keras kinerja pengawasan penegak hukum terhadap komunikasi pihak-pihak yang berstatus tahanan itu sehingga menimbulkan kritik, kegeraman publik terhadap keleluasaan pelaku berkomunikasi dengan membentuk fabrikasi proses peradilan pidana yang sedang berjalan.

Limitasi penyadapan

Pertama, polemik penyadapan hubungan komunikasi melalui telepon seluler tidaklah bebas nonregulasi, tetapi memiliki limitasi dengan karakter teknis yang sesuai aturan hukum. Penyadapan terhadap komunitas yang memiliki hak tolak (refusal rights) adalah eksepsionalitas sifatnya, yaitu mereka yang karena pekerjaan, harkat, dan martabatnya wajib menyimpan rahasia. Pers, misalnya, memiliki hak imunitas yang relatif sifatnya dari penyadapan.

Penyadapan terhadap pers tidak saja membawa akibat terhadap soal kebebasan pers, tetapi juga hak mendasar dari pers untuk tidak memberikan keterangan narasumbernya, misalnya kasus Metta Dharmasaputra, wartawan Tempo yang mengadu kepada Dewan Pers setelah mangkir dua kali terhadap pemanggilan polisi yang akan menyelidiki komunikasi wartawan ini dengan Vincentius Amin Sutanto pada saat pelariannya ke Singapura.

Dalam Konstitusi Amerika Serikat, penyadapan merupakan pelanggaran terhadap HAM, khususnya hak privasi individu, karena itu diberikan suatu limitasi terhadap penyadapan, baik melalui aturan prosedural maupun substansialnya.

Sebagai kontrol agar penyadapan tidak menjadi komoditas kekuasaan dan institusi internal, pengadilan sebagai institusi akhir akan menentukan keabsahan penyadapan sebagai alat bukti. Di Indonesia, karena penyadapan sebagai pelanggaran HAM, untuk menentukan keabsahan penyadapan diberikan limitasi melalui suatu klasifikasi delik (tindak pidana), yaitu korupsi, narkotika, dan terorisme. Di luar ketiga delik itu, tidak ada justifikasi bagi penegak hukum melakukan penyadapan.

Penyadapan hubungan telepon antara Artalyta dan UTG dalam kaitan proses ajudikasi, yang berstatus sebagai terdakwa, dengan metode lawful wiretapped dapat dibenarkan untuk menjadi subyek sadap atau subyek komunikasi transkrip yang tergelar di Pengadilan Tipikor itu, kecuali penyadapan yang privasi, merupakan illegal secured evidence.

Di Indonesia, penyadapan dengan metode illegal secured evidence tidak memiliki suatu legalitas dan justifikasi apapun sebagai abuse of power.

Lemahnya pengawasan

Kedua, di sisi lain, komunikasi antara Artalyta dan UTG yang berstatus tahanan dalam lingkup terbatas rumah tahanan justru menjadi cermin lemahnya pengawasan penegak hukum. Baik KPK (pihak yang menitipkan tahanan) maupun Polri (pihak yang dititipi tahanan) merupakan representasi akuntabilitas institusi terhadap pengawasan tahanan itu.

Karena itu, keteledoran ini dapat menimbulkan social distrust yang diberikan oleh negara dan masyarakat. Akibatnya, komunikasi ilegal tanpa batas ini mencederai pola pikir normal, rasa malu, dan melahirkan kegeraman di masyarakat.

Indriyanto Seno Adji Pengajar Hukum Pidana dan Media Massa Program Pascasarjana Bidang Studi Ilmu Hukum UI

tulisan ini disalin dari Kompas, 21 Juli 2008 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan