Regruping dan Membangun Jaringan LSM, Mungkinkah?

TUDUHAN bahwa lembaga swadaya masyarakat (LSM) kehilangan visi ditolak. Yang terjadi saat ini adalah suasana lelah. LSM-LSM lelah berjuang sejak tahun 1970-an. Aktivis dan pengasuhnya sudah silih berganti sampai muncul kategorisasi generatif dan keberagaman LSM. Sampai tahun 2002, tidak termasuk yang tidak tercatat di Departemen Dalam Negeri (Depdagri), ada 13.500 LSM. Mereka beragam dalam misi, komitmen, kerumitan, dan bentuk kegiatan. Dari jumlah itu hampir 90 persen mengandalkan dana asing. Jadi, keliru besar menggeneralisasi LSM kehilangan visi, melainkan yang terjadi adalah rasa lelah.

DENGAN tujuan berhasil lebih produktif, dalam suasana lelah muncul pertanyaan bisakah dilakukan regruping? Mungkinkah dilakukan pengelompokan kembali? Mungkinkah di antara grup-grup itu dijalin jaringan (network) dengan tujuan membangun visi, misi dan strategi bersama untuk perjuangan civil society atau pun pemberdayaan kaum lemah-terpinggirkan sebagai jatidiri LSM selama ini?

Keinginan membangun kelompok-kelompok itu dalam diskusi muncul sesaat, tetapi sayang tidak dibahas lebih mendalam. Sebagai contoh satu di antaranya adalah pernyataan kegamangan LSM dalam menentukan musuh bersama.

Jatuhnya Soeharto tanggal 21 Mei 1998--sosok yang selama ini menjadi satu-satunya musuh bersama--membuat LSM merasa gamang. Tidak ada lagi musuh bersama. Setelah tahun 1998, muncul pertanyaan siapakah musuh bersama LSM? Diskusi dicoba dikembangkan ke soal, siapakah musuh bersama pasca-Soeharto.

Paradigma berpikir bahwa musuh bersama LSM bukanlah sosok manusia, kelompok atau pun lembaga rupanya sulit diubah. Baru setelah ada perdebatan panjang, ditemukan kesamaan cara menyikapi eksistensi LSM. Itu menyangkut target.

Kalau targetnya adalah sosok, serta-merta LSM kehilangan musuh, padahal sebenarnya bukan itu musuh LSM yang utama. Musuh utama adalah keterbelakangan, perjuangan demokratisasi, kemiskinan, dan ketertinggalan. Artinya perlu dilakukan kajian, satu otokritik bersama tentang kegamangan-kegamangan yang dihadapi.

Dengan berpikir tentang sosok, yang terlihat sebagai musuh adalah Dana Moneter Internasional, Bank Dunia misalnya, padahal yang seharusnya adalah isu semacam kapitalisme, globalisasi, neoliberalisme, dan lain-lain.

Pada saat yang sama, media massa--dalam misinya adalah juga LSM--tidak pernah dilihat sebagai rekan kerja. Mengutip sebuah pendapat, dikatakan meskipun negara ini amburadul dengan upaya pemulihan ekonomi, korupsi jalan terus, soal-soal HAM tak pernah terselesaikan, kebebasan pers dinikmati.

Meskipun demikian realitas ini harus disyukuri; sesuatu yang tak terjadi di Malaysia, Thailand, dan Singapura misalnya. Ada peserta yang melihat ini sebagai satu-satunya yang bisa dikembangkan dan sangat berharga.

Tantangannya, bagaimana mempertahankan iklim keterbukaan dan kebebasan berbicara, sementara sekarang ini mulai muncul indikasi tampilnya kekuatan lama yang akan memberangusnya lewat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Antiterorisme, Rancangan Undang-Undang (RUU) Rahasia Negara, Undang-Undang (UU) Penyiaran, dan rencana perubahaan UU Pokok Pers, dan lain-lain.

Perlu ditanyakan, sejauh mana aktivis-aktivis LSM mau serius duduk bersama menggugat diri sendiri. Dalam hal ini kadang-kadang terasa mutu bangsa ini masih jauh dari yang diperjuangkan.
SEJUMLAH persoalan muncul. Misalnya soal partisipasi atau pun legitimasi atas keterwakilan LSM. Masih ada perasaan keterasingan di antara mereka. Ada perasaan keterasingan di antara aktivis mengenai kegiatan LSM dengan publik. Jangankan dekat dengan publik, bahkan hubungan di antara sesama aktivis LSM pun renggang dengan akibat, sulitnya membuat perencanaan dan program bersama.

Diungkap oleh beberapa peserta, fanatisme pada agenda kerja masing-masing membuat bertemu dan membuat program bersama berarti meninggalkan atau menunda sejumlah pekerjaan rutin. Padahal, pekerjaan rutin itu agenda LSM dengan target dan pertanggungjawaban yang rinci.

Meskipun demikian, banyak yang menghendaki adanya satu grand design tentang perlunya pengelompokan dan pembagian kerja. Agenda bersama itu tidak berarti menafikan agenda masing-masing LSM. Agenda bersama, bahkan lebih jauh lagi dilakukan pengelompokan LSM sesuai dengan inklinasi dan kedekatan masing-masing LSM, bisa memperkuat daya tekan dan hasil lebih besar.

Implikasinya memang banyak. Untuk beberapa bulan ke depan, misalnya, LSM-LSM melakukan koordinasi menentukan arahan besar bersama. Sementara itu, pekerjaan rutin masing-masing tetap dilakukan. Pada saatnya nanti regruping diharapkan bisa terjadi secara alamiah.

Gampangnya, sebagai contoh, Infid bisa membantu UPC berkampanye perlunya sebuah Kota Jakarta yang bebas banjir. Yang biasa terjadi selama ini, pada saat yang sama LSM-LSM lain paling-paling ikut membuat pernyataan mendukung atau memberi bantuan makan, atau sejenisnya.

Kalau dukungan semacam itu ditingkatkan dan dikoordinasi bersama, niscaya perjuangan UPC memperoleh bobot dan daya tekan lebih besar.

Dalam koordinasi semacam itu yang diperlukan adalah membantu teman-teman UPC seperti Azas Tigor atau Wardah Hafidz berjuang bersama LSM-LSM lain. Yang merekatkan mereka adalah bagaimana membuat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta betul-betul akuntabel, dengan harapan usaha UPC dan LSM-LSM itu didukung oleh warga Jakarta juga. Dalam kerja bersama itu aktivitas LSM akan meluas, lebih punya daya tekan dan terkoordinasi.

Dalam kerja bersama itu diperoleh kesepakatan, apakah gerak mereka hanya di tingkat kebijakan, atau turun ke bawah, atau kedua-duanya dilakukan serentak. Mereka akan menemukan kekuatan dan mengeliminir kelemahan masing-masing.

Kekuatan LSM-LSM menjadi besar justru terlihat ketika mereka pun teruji bisa bekerja sama, dan bukan bersaing seperti sekarang dan maju sendiri-sendiri. Perjuangan LSM menjadi sebuah gerakan rakyat, usaha terus-menerus untuk terwujudnya suatu nilai bagi kemaslahatan umum. Isu-isu yang dimunculkan menjadi lebih artikulatif dan dampak yang ditimbulkan semakin politis.

APA yang dihadapi LSM-LSM saat ini adalah ulangan kekawatiran tahun 1970-an, ketika mereka dicoba dikooptasi oleh pemerintah atau berjuang bisa bertahan tetap otonom. Pengelompokan bisa dilakukan dengan mengenali cara kerja, pendekatan atau inklinasi LSM-LSM.

Analisis Philip Eldridge dari Filipina tahun 1989 (Prisma, 7, 1989) tetap relevan diangkat kembali. Menurut Eldridge, mengecualikan LSM-LSM yang sifatnya karikatif murni, ada tiga jenis pendekatan LSM di Indonesia.

Pedekatan pertama, berlabel kerja sama tingkat tinggi: pembangunan akar rumput. Pendekatan ini menekankan kerja sama program dalam program pembangunan pemerintah. Caranya dengan menyusupkan pengaruh terhadap rancangan pemerintah. Sifatnya partisipatoris. Strateginya tidak pada mobilisasi tetapi menciptakan organisasi-organisasi baru.

Lewat organisasi-organisasi baru itu, bentuknya bisa saja LSM baru, mereka berusaha mempengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah secara langsung. Arah gerakan dimulai dari tingkat lokal dan kecil-kecil, lambat laun mengarah ke pusat dan berbentuk besar.

Pendekatan kedua dia sebut politik tingkat tinggi: mobilisasi akar rumput. Berbeda dengan yang pertama, pendekatan ini merupakan pengembangan gagasan berdasarkan kerangka berpikir teori sosial radikal yang digabung dengan kritik lebih luas terhadap falsafah dan praktik pembangunan yang dilakukan Orde Baru. LSM-LSM ini umumnya berpengaruh terhadap kelompok pengambilan kebijakan dan militer, dan gampang memperoleh dukungan infrastruktur. Akibatnya mereka pun sering menjadi sumber informasi aktivis kegiatan politik.

Pendekatan ketiga lebih berada di tingkat lokal daripada nasional. Konsep mobilisasi yang mereka kembangkan menekankan peningkatan kesadaran akan hak di tingkat lokal. Tanpa pretensi politik tertentu, tujuan mereka hanyalah kesadaran akan hak sendiri itu sebagai kesadaran kelompok bersama. Cara kerja mereka memang tidak mau dan tidak perlu berkontak dengan pengambil keputusan.

Menurut Eldridge, ketiga model itu pada dasarnya membawa sejumlah orientasi ke arah penguatan (empowerment) kelompok-kelompok kecil. Mereka mendorong berkembangnya kemampuan self management dan kaderisasi.

Pendekatan pertama dan kedua, katanya, lebih tergantung pada sponsor dana, sementara LSM model ketiga lebih ke arah konsistensi untuk memperkuat keberadaan kelompok-kelompok kecil itu.

LSM-LSM model ketiga memiliki sejumlah karakteristik. Pertama, orientasi mereka terhadap penguatan kelompok-kelompok masyarakat sebagai basis dari tumbuhnya masyarakat yang sehat dan sebagai kekuatan pengimbangan terhadap pemerintahan. Kedua, komitmen kuat terhadap ide-ide partisipasi masyarakat luas dalam proses pembuatan keputusan. Ketiga, masuknya dan terlibatnya motivasi-motivasi pribadi dalam kegiatan itu.

Meskipun demikian tetap ada ciri menonjol dalam model-model LSM di Indonesia, yakni mereka bergerak pada tiga tantangan berat pembangunan Dunia Ketiga (Nasikun: 2002). Yakni, penghapusan kemiskinan, pelestarian kapasitas produktif lingkungan hidup, dan peningkatan kekuasaan rakyat melalui peningkatan partisipasi dalam proses pembangunan. Dalam mengusahakan itu mereka berdampingan erat dengan ilmu-ilmu sosial dan kebijakan yang selama ini menguasai profesi pembangunan di negara Dunia Ketiga.

Mereka membangun semangat pembangunan berpusat pada rakyat (people-centered development) sebagai pengganti konsep pembangunan berpusat pada produksi (production-centered development).

Pertanyaannya, andaikan puluhan ribu LSM itu bisa dikelompokkan (kembali) dalam model-model--katakan tiga model versi Elgridge di atas, mungkinkah diperoleh peran LSM menjadi besar dan produktif? Diskusi memang tidak sampai tuntas mengupasnya. Sementara, pada saat yang sama ribuan LSM saling bersaing, berebut sumber dana, obyek kegiatan, dan akhirnya merasa lelah sendiri.

Kelompok swadaya masyarakat (KSM) yang pernah diintrodusir sebagai upaya pengelompokan LSM di tahun 1980-an, barangkali menjadi tantangan internal bersama. Dalam era keterbukaan dan dihargainya otonomi saat ini, pengelompokan semacam itu merupakan tantangan tersendiri. Tetapi, sekadar bertemu menyusun program bersama, barangkali menjadi embrio pengelompokan kembali LSM-LSM.

Sudah saatnya benih-benih regruping perlu dirintis. Bukannya tidak mungkin di tengah belum selesainya kode etik LSM maupun persaingan mencari penyandang dana, regruping sebagai terobosan LSM. Salah satu di antaranya membuat jaringan (network di antara LSM-LSM--boleh juga disebut sebagai konsolidasi LSM-LSM di Indonesia--yang pada gilirannya memperkecil persaingan di antara mereka. (ST SULARTO)

Tulisan ini diambil dari Kompas,Rabu, 22 Januari 2003

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan