Pilah-pilih Ketua MA

Masalah jabatan Ketua Mahkamah Agung hingga kini masih rumit.

Secara validasi, kepensiunan Ketua MA Bagir Manan telah tiba, sedangkan ”gong” yuridis dalam bentuk Keputusan Presiden terkait masa pensiun telah dikeluarkan. Maka, kepensiunannya tidak terbantahkan. Para hakim agung harus segera mencari ketua baru.

Namun, tiap pergantian selalu mengundang pertanyaan, bagaimana mencari sosok yang tepat untuk jabatan ketua MA?

Usia

Berdasarkan data, dari 48 hakim, 5/8 hakim agung di negeri ini telah mendekati masa pensiun. Jika dianalisis, sosok ketua MA seharusnya bukan dari golongan ini. Mengapa?

Pertama, penyakit yang diderita MA bukan sekadar penyakit individual, tetapi sistemik. Tumpukan perkara membutuhkan jawaban yang bukan hanya menemukan hakim-hakim ”rajin” menyidangkan perkara tersisa, tetapi juga termasuk sistem distribusi dan penatalaksanaannya. Hal lain adalah sistem punishment and reward yang seharusnya dimiliki guna menjawab potret gagal peradilan. Hanya dengan sistem yang terbangun rapi, ada harapan perbaikan peradilan.

Di sinilah mustahilnya memberikan tampuk ketua MA kepada generasi lanjut usia. Jika ketua MA diserahkan kepada hakim berusia lanjut, amat pendek waktu yang tersedia untuk membangun sebuah sistem. Persoalan akut di MA, membutuhkan pola sistemik untuk mengobatinya. Seharusnya, ada waktu yang lebih banyak dalam membangun sistem ini.

Kedua, para hakim berusia lanjut, khususnya usia 65 tahun, berpotensi terjebak conflict of interest. Ini terkait Pasal 11 Ayat 2 UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang MA bahwa seorang hakim agung boleh diperpanjang usia pensiun menjadi 67 tahun jika memiliki prestasi kerja luar biasa dan kondisi kesehatan yang baik, dan hal itu dinilai ketua MA. Bagaimana mungkin, ketua MA yang baru menilai kemampuan dan prestasi dirinya lalu memperpanjang masa pensiunnya sendiri. Kita ingat saat Bagir Manan ”diumpat” karena memperpanjang masa pensiunnya sendiri.

Pada saat sama, golongan hakim berusia 66 dan 67 tahun juga akan terjebak konflik kepentingan yang dihubungkan dengan wacana RUU MA tentang usia hakim 70 tahun. Artinya, jika ketua MA dari hakim yang bukan dari usia 65 hingga 67, dapat memberikan waktu yang cukup bagi pembuat UU untuk berpikir lebih jernih dan menaruh usia pensiun yang tepat tanpa perlu ada mekanisme perpanjangan.

Kualitas

Berdasarkan masa kepemimpinan ketua MA terdahulu, harus diakui banyak terjadi hal ”aneh”. Misalnya, penjagaan kehormatan dan perilaku hakim oleh KY yang ditampik MA. Bahkan, meminjam palu sidang MK dengan mekanisme judicial review, pasal-pasal mekanisme pengawasan di UU KY berhasil dirubuhkan dengan alasan inkonstitusional.

Kita juga ingat bagaimana pengawasan terhadap uang-uang perkara ditepis MA. Ketika BPK akan mengaudit uang-uang perkara, MA menolak. Sebenarnya, catatan buruk bukan cuma itu. ”Mafia peradilan” dan berbagai penyakit lain masih menjadi penyakit kronis di MA.

Artinya, selain sosok yang memiliki agenda sistemik, perbaikan MA seharusnya juga punya agenda pemihakan reformasi hukum.

Ke depan, sosok ketua MA bukan orang yang hanya berpikir lembaga MA yang ia pimpin, tetapi juga proses perbaikan dan penegakan negara hukum. Bukan ketua MA yang ikut ”marah” atas pengawasan KY, tetapi ketua MA yang mendukung KY dalam pengawasan hakim sebagai upaya memperkecil ruang gerak mafia peradilan. Bukan ketua MA yang enggan uang-uang perkaranya diperiksa BPK, tetapi ketua MA yang mau membuka laporan keuangan untuk diperiksa agar seluruh negeri tahu, institusinya bersih dan berwibawa.

Memang sulit menyebut nama yang tepat memimpin MA. Tetapi, sosok itu harus segera dipilah dan dipilih. Harus dipilah dari hakim berusia lanjut dan dipilih di antara hakim agung tersisa yang memiliki agenda perbaikan MA.

Zainal Arifin Mochtar Dosen Fakultas Hukum UGM Yogyakarta; Direktur PuKAT Korupsi FH UGM Yogyakarta

Tulisan ini disalin dari Kompas, 24 Oktober 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan