Perpanjangan Usia Pensiun Hakim Agung Menjadi 70 Tahun

Langkah Mempertahankan Status Quo

SEBUAH kemunduran besar sedang terjadi jutru dari sekelompok anggota DPR. Di tengah upaya perbaikan dan reformasi peradilan, DPR bersama pemerintah justru hendak mempertahankan status quo melalui perpanjangan usia pensiun hakim agung 70 tahun.

Berbagai argumentasi yang diungkapkan dinilai tak masuk akal. Yang menguat justru kesan ''ada permainan'' di balik pembahasan rancangan undang-undang Mahkamah Agung (RUU MA) itu.

Isu ini menjadi penting karena posisi MA sebagai puncak kekuasaan kehakiman dan kewenangannya yang sangat rentan dengan judicial corruption. Di sisi lain, ''pengamanan'' terhadap MA dan penempatan ''orang kita'' di sana merupakan target umum kelompok mafioso di berbagai sektor, termasuk legislatif dan sejumlah advokat di DPR.

Bagaimana mungkin sebuah UU atau produk ''wakil rakyat'' yang akan mengatur kehidupan publik disusun secara tertutup, minus partisipasi dan terburu-buru? Hal itulah yang terjadi pada paket pembahasan UU Kekuasaan Kehakiman, khususnya UU MA.

Hingga diselesaikannya daftar inventaris masalah (DIM) oleh pemerintah dan proses awal menuju pembahasan RUU MA, hampir tidak ada upaya serius untuk menyosialisasikan dan membuka ruang partisipasi bagi publik. Padahal, asas pembentukan UU, seperti yang diatur pada pasal 5 huruf (g) UU 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, mensyaratkan adanya keterbukaan. Asas itu menekankan kepada semua proses pembentukan, mulai perencanaan, persiapan, penyusunan, pembahasan, hingga pengesahan. Harus dilakukan secara terbuka dan transparan. Dalam arti, publik mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan atau bahkan melakukan pengawasan.

Kontroversi pembahasan UU MA itu diperparah isu suap dan pembahasan ''kilat'' yang notabene merupakan upaya mendukung pihak status quo di Mahkamah Agung. Dorongan agar UU tersebut selesai dalam waktu sesingkat-singkatnya mengingatkan kita pada salah satu poin tentang usia pensiun. Pasal 11 ayat (1) huruf (b) RUU mengusulkan usia pensiun hakim agung menjadi 70 tahun. Sebuah usul yang sangat tidak berdasar dan cenderung hanya membela kepentingan sekelompok hakim yang diragukan integritasnya.

Seperti diketahui, ketua MA dan wakil ketua MA bidang Yudisial akan memasuki masa pensiun Oktober 2008. Artinya, terhitung maksimal akhir Oktober, demi hukum, para hakim agung tersebut harus mundur dari jabatannya. Kecuali, terjadi perubahan aturan. Poin itulah yang patut diduga menjadi target revisi UU MA agar dua pejabat tertinggi MA tersebut dan delapan hakim yang lain tidak jadi pensiun pada tahun ini.

Jika itu benar dan revisi berjalan mulus, mudah memperkirakan, sebuah tragedi terjadi di salah satu institusi agung kita.

ICW bersama sejumlah LSM dalam Aliansi Penyelamat MA tentu saja menolak skenario tersebut. Dalam bahasa sederhana, ''MA tidak boleh menjadi panti jompo''. Logika regenerasi seharusnya didorong semaksimal mungkin.

Terburuk se-Asia

Dan, seharusnya DPR, pemerintah, dan semua kalangan pencari keadilan melakukan introspeksi terhadap institusi kekuasaan kehakiman. Hingga sekarang, aroma mafia peradilan belum surut sedikit pun. Hal itu dapat dilihat dari ketertutupan pengelolaan keuangan, sulitnya mengakses putusan, rendahnya tingkat kepatuhan atas audit kerugian negara oleh BPK, dan bahkan putusan kontroversial yang sering menjadi produk MA.

Hasil survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC) 2008 yang menempatkan peradilan Indonesia di posisi terburuk di Asia patut dicermati. Waktu yang cukup panjang dan anggaran yang begitu besar ternyata tidak menghilangkan kesan korup institusi peradilan Indonesia.

Seperti dirilis PERC, peradilan Indonesia ditempatkan pada posisi terburuk pertama se-Asia dengan skor 8,26. PERC yang menggunakan skala 1-10 melakukan survei terhadap 1.537 responden dari pihak yang bersentuhan langsung dengan peradilan, kelompok bisnis, dan lainnya. Disampaikan, the judiciary is one of Indonesia's weakest and most controversial institutions, and many consider the poor enforcement of laws to be the country's number problem (the Jakarta Post, 15/9).

Jika saja DPR dan pemerintah becermin dari penilaian publik dan mengevaluasi Mahkamah Agung, tentu poin-poin revisi UU MA akan menjadi berbeda. Penting didorong agar revisi benar-benar ditujukan untuk merevitaliasi dan membenahi institusi peradilan Indonesia.

Berangkat dari putusan Mahkamah Konstitusi yang menghendaki sinkronisasi UU MA, UU Komisi Yudisial (KY), dan UU Mahkamah Konstitusi (MK), seharusnya yang diperhatikan adalah isu kewenangan pengawasan, bukan sekadar usia pensiun.

Dengan kata lain, pembahasan UU MA patut dihentikan. Selain anasir suap dan korupsi di DPR dalam pembahasan UU itu, kita tetap harus kembali merujuk kepada perintah putusan MK No 005/PUU-IV/2006 tentang pengujian UU Komisi Yudisial. Artinya, prioritas pembahasan terletak pada poin pengawasan KY terhadap hakim MA dan MK.

Karena itulah, pembahasan UU MA harus dihentikan. UU yang pertama direvisi sebaiknya UU KY dan kemudian dua UU lainnya disinkronisasikan dengan UU KY.

Bagaimanapun, institusi peradilan Indonesia harus diselamatkan dari pembajakan sekelompok elite politik, baik di DPR, pemerintah, swasta, maupun MA sendiri. Satu poin sederhana, MA bukan panti jompo. Publik menghendaki regenerasi sistematis dan pemotongan status quo.(*)

*. Febri Diansyah , anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW)

 

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 24 September 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan