Penyelesaian Kasus Suyitno Landung Semoga Tak seperti Kasus Binarto

Penahanan Komisaris Jenderal Suyitno Landung pada 22 Desember lalu dapat dicatat menjadi salah satu peristiwa luar biasa di tahun 2005. Penahanan jenderal berbintang tiga itu setidaknya memunculkan harapan adanya reformasi di tubuh Kepolisian Negara Republik Indonesia. Walaupun sebenarnya adalah hal yang wajar saja kalau Suyitno Landung akhirnya ditahan.

Sebab, dalam struktur komando kepolisian yang ketat, suap yang diduga diterima Brigjen (Pol) Samuel Ismoko dan Komisaris Besar Irman Santoso kecil kemungkinannya tidak diketahui atau disetujui oleh Suyitno Landung sebagai atasannya dalam penyidikan kasus pembobolan Bank BNI yang merugikan negara Rp 1,2 triliun itu. Apalagi, kasus pembobolan BNI itu sendiri menjadi perhatian publik.

Meski demikian, keputusan menahan Landung tetap mengagetkan. Pasalnya, dia merupakan jenderal polisi berbintang tiga yang masih aktif. Artinya, pangkatnya hanya setingkat di bawah Kepala Polri Jenderal (Pol) Sutanto.

Namun, penahanan itu juga mengagetkan karena dilakukan hanya sekitar sebulan setelah Kepala Polri mengabulkan permohonan pensiun Komjen Binarto dan tidak membawanya ke sidang kode etik dalam kasus pelepasan tongkang pengangkut 100 ton solar yang diduga ilegal. Pasalnya, sidang kode etik hanya dikenakan untuk anggota Polri yang masih aktif.

Dikabulkannya permohonan pensiun Binarto yang saat itu masih menjabat sebagai Inspektur Pengawasan Umum Polri, tidak hanya membuat dia terbebas dari sidang kode etik, tetapi juga menutup kemungkinan Binarto diadili di pengadilan umum. Sebab, dikabulkannya permohonan pensiun itu, antara lain, berdasarkan alasan tidak adanya unsur pidana.

Guru Besar Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Indonesia Indriyanto Seno Adji berpendapat, tidak menutup kemungkinan kasus Suyitno Landung akan diselesaikan seperti kasus Binarto.

Kemungkinan itu muncul bukan hanya karena Landung punya pangkat yang sama dengan Binarto, tapi juga karena alasan Polri mengusut Landung tidak terlalu jelas, yaitu dalam kasus penyalahgunaan tugas dan tanggung jawab jabatan. Ada kesan, apa yang dilakukan Landung hanya merupakan pelanggaran internal dan cukup diselesaikan lewat sidang kode etik seperti apa yang dahulu direncanakan terhadap Binarto.

Padahal, tutur Indriyanto, apa yang dilakukan Landung adalah korupsi. Menerima mobil Nissan X Trail, meski konon sudah dikembalikan, jelas merupakan suap. Suap itu masuk korupsi sehingga harus diselesaikan di pengadilan umum dan tidak dalam sidang kode etik, tegas dia.

Apa yang dilakukan Binarto, yaitu dengan mengirim pesan singkat (SMS) kepada Direktur Polisi Perairan Kepolisian Daerah Jawa Timur Komisaris Besar Toni Suhartono dalam penanganan kapal tongkang yang diduga mengangkut solar ilegal, menurut Indriyanto juga merupakan tindak pidana umum.

Namun, saya tetap tidak berharap Suyitno minta pensiun dipercepat dan lalu dikabulkan Kepala Polri. Saya berharap kasus ini minimal dibawa ke sidang kode etik meski sidang itu dilakukan secara tertutup, harap Indriyanto.

Kemungkinan Suyitno Landung dibawa ke sidang pengadilan umum? Itu memang yang seharusnya dilakukan. Namun, saya pesimistis itu akan terjadi. Dibawa ke sidang kode etik saja, bagi saya sudah prestasi, jawab Indriyanto.

Ini terjadi karena apa yang sekarang dilakukan Polri terhadap Landung sebenarnya baru merupakan gerakan simbolik untuk menegakkan citra Polri dan belum sampai pada tahap representasi yang dikehendaki masyarakat. Tindakan itu juga semacam sentilan kepada pimpinan atau pejabat Polri sebelumnya, ujar Indriyanto.

Kecilnya kemungkinan Suyitno dan teman-temannya dibawa ke sidang pengadilan umum, lanjut Indriyanto, juga karena jika hal itu sampai terjadi akan berdampak luas terhadap institusi Polri. Tidak hanya individu per individu.

Dibawa ke KPK
Kemungkinan Landung diadili di pengadilan umum, menurut Indriyanto akan lebih terbuka jika penyidikan dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Setidaknya tidak ada unsur ewuh pakewuh. Bagaimanapun juga, yang sekarang memeriksa Suyitno adalah bekas anak buahnya. Jadi, bagaimana mereka bisa bebas dan leluasa memeriksa bekas pimpinannya? tanya Indriyanto.

Kuatnya semangat korps di kepolisian juga membuat para penyidik di lingkungan Bareskrim kemungkinan akan berusaha melindungi Landung, bekas pimpinan lembaga itu.

Rasa ewuh pakewuh dan semangat korps itu, menurut Indriyanto, sekarang sudah terlihat. Perkembangan yang diumumkan selalu terbatas pada pernyataan Misalnya tentang Suyitno sudah tersangka, ditahan, atau keterangannya dicocokkan. Belum ada pernyataan yang menjelaskan apa peran dia dalam kasus ini dan di mana letak kesalahannya, katanya.

Dalam konteks sekarang ini, KPK dapat mengambil alih penyidikan kasus itu. Sebab hukum menyebutkan KPK dapat mengambil alih penanganan suatu perkara korupsi jika tidak ada kepastian penanganan oleh lembaga hukum lain, katanya.

Apa yang akan terjadi jika ternyata kasus Suyitno akhirnya tetap diusut polisi dan dia tidak sampai diadili di pengadilan umum? Terlebih jika kasus ini diselesaikan dengan cara seperti kasus Komjen Binarto? Citra polisi akan makin buruk. Masyarakat juga makin yakin asas persamaan di bawah hukum masih angan-angan, katanya. (M Hernowo)

Sumber: Kompas, 9 Januari 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan