Penegak Hukum Harus Fokus Pada Pengembalian Aset Korupsi

Foto: Dok.ICW
Foto: Dok.ICW

Penegak hukum mulai saat ini mulai memperlebar spektrum penanganan kasus korupsi dengan mengenakan pasal pidana pencucian uang. Hal tersebut dapat ditelisik berdasarkan hasil pemantauan tren penindakan kasus korupsi yang Indonesia Corruption Watch (ICW) lakukan medio 1 Januari 2018 hingga 30 Juni 2018.

ICW setiap semester rutin mengeluarkan hasil pemantauan terhadap upaya penindakan kasus korupsi yang dilakukan oleh penegak hukum. Poin yang dilihat dalam pemantauan antara lain: jumlah kasus, jumlah tersangka, jabatan tersangka, modus yang digunakan, pengenaan pasal, lembaga tempat terjadinya korupsi, provinsi, kerugian negara, nilai suap, hingga sumber anggaran.

Indikator yang ICW gunakan yaitu ketika ada suatu kasus terjadi dan telah masuk ke tahap penyidikan serta adanya tersangka yang ditetapkan. ICW menggunakan sumber sekunder, yaitu, media daring, media massa hingga siaran pers yang dikeluarkan oleh instansi penegak hukum. Sebab, permasalahan yang hingga hari ini masih muncul adalah belum transparannya penegak hukum terkait informasi kasus korupsi.

Pada semester I 2018 penegak hukum berhasil melakukan penindakan kasus korupsi sebanyak 139 kasus dengan 351 orang ditetapkan sebagai tersangka. Nilai kerugian negara yang timbul akibat perbuatan korupsi yaitu Rp 1,09 triliun dan nilai suap sebesar Rp 42,1 miliar.

Apabila dibandingkan dengan tahun 2016 dan 2017 semester yang sama, terlihat penurunan yang cukup signifikan. Pada tahun 2016 semester I penegak hukum berhasil menindak sebanyak 210 kasus korupsi dengan menetapkan tersangka sebanyak 500 orang. Kemudian pada semester I 2017 terjadi peningkatan terhadap penindakan kasus korupsi oleh penegak hukum menjadi 266 kasus dan 587 ditetapkan sebagai tersangka. Penurunan penindakan kasus korupsi apabila tidak diikuti dengan perubahan strategi pemberantasan korupsi maka hasilnya pun sulit dirasakan oleh publik.

Hal tersebut dapat terlihat dari pengenaan pasal yang digunakan terhadap pidana korupsi. Seringkali penegak hukum menggunakan pasal 2 dan pasal 3, yakni kerugian negara. Namun pada semester I 2018, penegak hukum mencoba untuk memperlebar cakupan pasal yang dikenakan, antara lain pidana pencucian uang (4 kasus) dan Obstrucion of Justice (1 kasus). Meskipun tidak terlalu banyak, setidaknya penegak hukum sudah berupaya menggeser arena pertarungan bukan hanya sekedar mengejar kurungan badan tapi juga melakukan pengembalian aset dari koruptor.

Upaya pengembalian aset dalam memberantas korupsi sangat dibutuhkan. Sebab, apabila melihat data pemantauan yang dilakukan oleh ICW ditemukan bahwa “perselingkuhan” antara elite politik dan pihak swasta masih terjadi hingga saat ini. Aparatur Sipil Negara menjadi aktor yang paling sering melakukan korupsi. Ada sebanyak 101 ASN yang disidik oleh penegak hukum. Selain itu ada Ketua/Anggota DPRD sebanyak 68 orang. Dan posisi ketiga ada pihak swasta dengan 61 orang yang ditetapkan sebagai tersangka.

Benang merah antara elite politik dan pihak swasta “berselingkuh” adalah ketika adanya kepentingan. Salah satu contoh adalah kasus yang melibatkan antara elite politik, swasta, dan ASN yaitu KTP elektronik (KTP-el). Terakhir KPK menetapkan Made Oka Masagung sebagai swasta. Penegak hukum selain mengejar aktor yang terlibat dalam proses pengadaan KTP-el perlu juga untuk mengembangkan ke dalam ranah pencucian uang. Pun apabila ada korporasi yang “ikut bermain” maka penegak hukum perlu mengenakan pidana korporasi bagi yang terlibat dalam pusaran korupsi.

Unsur swasta dalam pusaran korupsi pun masih mendominasi, salah satunya terkait dengan pengadaan barang dan jasa (PBJ). Sebanyak 74 kasus korupsi yang berkaitan dengan PBJ, kemudian 64 kasus lainnya tidak berkaitan dengan PBJ. Hal ini menjadi catatan bahwa potensi risiko korupsi lebih tinggi di kegiatan pengadaan.

Apabila ditelaah lebih lanjut, korupsi terjadi pada saat proses pelaksanaan dengan 39 kasus korupsi yang disidik oleh penegak hukum. Modus yang seringkali dilakukan yakni penyalahgunaan anggaran. Selain itu proses perencanaan pun memiliki tingkat risiko korupsi yang tinggi. Setidaknya penegak hukum menindak 21 kasus korupsi pada saat proses perencanaan. Modus yang dilakukan didominasi terkait suap menyuap.

Dengan melebarnya spektrum penegakan hukum terhadap pidana korupsi, maka kami mendorong agar:

  1. Penegak hukum perlu menggunakan pendekatan pencucian uang pada setiap kasus korupsi yang terjadi;

  2. Penegak hukum perlu mengenakan pidana berbarengan antara hukuman badan dan pengembalian aset milik koruptor;

  3. Optimalisasi kanal e-purchasing agar menutup celah seminimal mungkin terhadap praktik korupsi yang berkaitan dengan pengadaan;

  4. Penegak hukum perlu melakukan pemidanaan terhadap korporasi yang secara jelas terbukti melakukan korupsi;

Jakarta, 18 September 2018

Indonesia Corruption Watch

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan