Pendidikan Ramah Warga

Tanggapan dan penjelasan Kepala Pusat Informasi dan Humas Departemen Pendidikan Nasional M. Muhajir, untuk meluruskan artikel penulis yang dimuat di Koran Tempo edisi 31 Juli 2009, patut diapresiasi secara positif. Walau sebagian besar isinya berupa klarifikasi, atas kesediaan Departemen Pendidikan Nasional merespons, penulis mengucapkan terima kasih.

Namun, beberapa penjelasan mengenai sekolah gratis, ujian nasional, maupun tata kelola yang dikaitkan dengan opini Badan Pemeriksa Keuangan atas laporan keuangan Depdiknas patut diluruskan. Agar persepsi masyarakat juga tidak keliru, penulis membuat beberapa catatan atas tanggapan dan penjelasan Depdiknas yang dua kali dimuat di rubrik Surat Pembaca Koran Tempo, 6-7 Agustus 2009.

Pertama, mengenai sekolah gratis. Depdiknas menyatakan hal itu mulai diimplementasikan pada 2009 atau baru berlangsung selama enam setengah bulan. Untuk negara sebesar Indonesia, dibutuhkan waktu beberapa tahun dan ketekunan serta kesabaran sampai seluruh jajaran pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat memahami betul dan melaksanakannya dengan benar. Penjelasan Depdiknas pada dasarnya memperkuat pendapat penulis. Sebab, secara tak langsung mengakui belum mampu mewujudkan program sekolah gratis. Namun, argumentasi yang digunakan untuk menjelaskan penyebab kegagalan, terutama berkaitan dengan jangka waktu implementasi program sekolah gratis, patut dicermati. Sebab, kebijakan untuk menggratiskan sekolah pada tingkat dasar telah lama diusung. Dimulai pada era Orde Baru, ketika Presiden Soeharto menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1994 mengenai wajib belajar. Tujuannya, memberikan kesempatan yang luas kepada warga negara Indonesia agar memperoleh pendidikan minimal pada tingkat SD dan SMP atau sederajat yang dibiayai oleh pemerintah.

Pada era reformasi, ketentuan mengenai kewajiban pemerintah menyediakan pendidikan gratis, paling tidak pada tingkat dasar, dimasukkan dalam amendemen keempat Undang-Undang Dasar 1945. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun mempertegas dengan mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 5/2006 mengenai percepatan realisasi program wajib belajar dengan batas akhir tahun 2008. Jadi, sekolah gratis bukan kebijakan baru. Depdiknas tidak bisa mengelak dari kewajiban dengan alasan implementasi program baru berlangsung enam setengah bulan. Nama program dapat berbeda--sekolah gratis, wajib belajar sembilan tahun, pendidikan dasar tanpa bayar—tapi esensinya tetap sama, yakni tidak ada lagi hambatan yang menghalangi setiap warga negara dalam memperoleh pelayanan pendidikan yang berkualitas, minimal pada tingkat SD dan SMP atau sederajat.

Perihal iklan sekolah gratis, sulit untuk tidak mengaitkannya dengan tujuan-tujuan politik. Indikasinya jelas, Depdiknas tetap membuat dan memasang iklan sekolah gratis walau mengaku sulit merealisasinya. Selain itu, iklan ditayangkan pada saat musim pemilihan anggota legislatif dan presiden, sedangkan pada masa penerimaan murid baru justru menghilang.

Soal potensi korupsi dalam program Bantuan Operasional Sekolah (BOS), tidak sulit untuk menemukannya. Mekanisme distribusi dana memang tidak lagi melalui jalur birokrasi, melainkan langsung ke sekolah. Namun, relasi dan tata kelola di sekolah maupun relasi sekolah dengan dinas pendidikan masih belum diperbaiki. Akibatnya, kepala sekolah akan memonopoli pengelolaan keuangan tanpa dapat dikontrol oleh para pemangku kepentingan yang lain, seperti guru dan orang tua murid. Hal yang paling sulit justru menunggu kemauan Depdiknas menindaklanjuti penyimpangan-penyimpangan dalam program BOS. Otonomi daerah dan otonomi sekolah sering dijadikan alasan untuk lepas tanggung jawab. Pada awal 2007, ICW bersama perwakilan lembaga dari sepuluh daerah di Indonesia melaporkan langsung ke Depdiknas, tapi tidak direspons dengan baik.

Kedua, ujian nasional. Dalam upaya memperbaiki dan meningkatkan kualitas pendidikan nasional, Depdiknas memang perlu membuat pemetaan dan membandingkan pencapaian standar kompetensi lulusan antarsekolah. Tapi tidak mesti dilakukan setiap tahun dengan turut mencampuri penentuan kelulusan peserta didik. Selain faktor biaya, intervensi Depdiknas membuat sekolah dan peserta didik hanya berfokus pada mata pelajaran yang diujikan dalam ujian nasional (UN), terutama dalam upaya mengantisipasi soal ujian. Masalah bertambah ketika beberapa pemerintah daerah menganggap tingkat kelulusan akan mempengaruhi citra daerah. Dinas pendidikan dan sekolah dipaksa agar mampu meluluskan sebanyak mungkin peserta didik. Akibatnya, berbagai cara akan digunakan, termasuk melakukan kecurangan.

Berkaitan dengan pentingnya pendidikan yang bermutu secara merata bagi seluruh peserta didik, penulis sepakat seratus persen. Tapi untuk mencapainya tidak dengan UN yang justru memunculkan kontroversi serta menghamburkan anggaran negara dan warga. Depdiknas mestinya lebih memprioritaskan perbaikan dalam pelayanan, baik berkaitan dengan proses, pendidik dan tenaga kependidikan, maupun sarana dan prasarana.

Selain itu, terlalu jauh mengaitkan kenaikan angka patokan kelulusan dengan peningkatan mutu pendidikan. Bagaimana cara menjelaskan hubungan antara angka minimal kelulusan 3 atau 5 dan tingkat mutu pendidikan nasional? Jika memiliki kaitan, mengapa Depdiknas tidak langsung mematok angka minimal kelulusannya 7 dan kenaikannya setiap tahun 1 atau 2 bukan 0,25?

Ketiga, berkaitan dengan tata kelola dan akuntabilitas. Walau publikasi resmi dari BPK masih harus ditunggu, adanya perbaikan opini atas laporan keuangan Depdiknas 2009 perlu dihargai. Paling tidak hal itu menunjukkan bahwa Depdiknas sudah mulai memperbaiki penyusunan dan penyajian laporan keuangannya.

Tentunya diharapkan Depdiknas tidak berpuas diri dengan kenaikan status opini laporan keuangan menjadi wajar dengan pengecualian. Sebab, perbaikan tata kelola tidak memiliki arti tanpa diikuti oleh terbukanya ruang bagi warga untuk terlibat dalam proses penyusunan program dan anggaran serta adanya transparansi dan akuntabilitas dalam menjalankan program dan anggaran di semua tingkat penyelenggara pendidikan. Dua hal tersebut yang masih belum terlihat.

Salah satu langkah konkret yang bisa dilakukan dalam upaya memperbaiki tata kelola adalah membuka akses informasi kepada warga, terutama berkaitan dengan program yang tengah dijalankan dan anggaran yang mendukungnya. Guna merealisasinya, Depdiknas tak perlu repot-repot menghabiskan banyak anggaran untuk membuat dan memasang iklan di media massa seperti yang selama ini kerap dilakukan, tapi cukup memuatnya di website.

Ade Irawan, AKTIVIS INDONESIA CORRUPTION WATCH DAN KOALISI PENDIDIKAN

Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 29 Agustus 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan