Pembiaran Korupsi di Era SBY

KEJAHATAN penggerogotan uang negara yang notabene milik rakyat telah kian terbuka modus dan pelakunya. Praktik itu bukan lagi cerita pepesan kosong atau sekadar "bau busuk" yang tak ketahuan asal usulnya. Kasus korupsi yang melibatkan PT Masaro yang juga berakibat langsung pada perseteruan antara KPK dan pimpinan Polri saat ini membuat banyak orang ngeri karena ternyata negeri ini berada dalam kendali para mafia.

Kondisi seperti itu menunjukkan bahwa periode lima tahun pertama pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bukan saja masih jauh dari keberhasilan memberantas korupsi, melainkan justru korupsi semakin tampak dilakukan secara berjamaah dan merata di seluruh Indonesia. Dan, pihak-pihak yang secara kelembagaan berada langsung di bawah kendali presiden justru menjadi bagian dari aktor pelanggeng korupsi.

Lebih ironis lagi, kejaksaaan dan kepolisian -dua lembaga penegak hukum yang merupakan instrumen negara di bawah presiden- terindikasi kuat menjadi bagian dari pelanggeng korupsi dan permafiaan itu. Padahal, SBY seharusnya menjadikan mereka sebagai barisan terdepan untuk penyelenggaraan negara yang bersih dan baik.

Kegagalan SBY dalam memberantas korupsi dan jejaring permafiaan itu disebabkan beberapa faktor. Pertama, ketiadaan kriteria tentang pola rekrutmen penyelenggara negara. Seharusnya, sejak awal memastikan bahwa yang berperan dan terlibat di lembaga-lembaga pemerintahan adalah mereka yang bersih, tak memiliki agenda subjektif dengan kepentingan materi yang menonjol, selain memiliki kemampuan yang layak untuk bekerja dalam sistem pencegahan dan pemberantasan korupsi.

Yang terjadi selama ini adalah pola akomodasi kepentingan dan pembiaran masuk serta bercokolnya para figur yang pada tingkat permukaan mampu "melayani" dan "memuaskan" sang atasan. Padahal, orang tersebut sangat cerdas dalam memanfaatkan jabatan untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Atau juga, orang-orang yang direkrut merupakan bagian dari "pesan sponsor" terkait dengan kepentingan pihak ketiga yang telah berjasa dalam suatu proses politik tertentu. Tepatnya, pola rekrutmen lebih pada bagi-bagi jabatan atau politik balas budi, mengabaikan dimensi substansial terkait dengan agenda pemberantasan korupsi.

Kedua, kurangnya ketegasan dari SBY untuk segera mengusut dan memberi sanksi bagi penyelenggara negara yang terindikasi tidak bersih, korupsi, atau terlibat jejaring mafia. Kalau diinformasikan oleh masyarakat, termasuk melalui media massa, mekanisme penyelesaiannya bersifat normatif. Karena itu, para koruptor tetap saja berjaya dan melenggang bebas hingga sampai berakhir masa jabatan dan akhir hayatnya.

Ketiga, jebakan pada relasi personal. Ada kecenderungan bahwa negara ini dikelola dengan prinsip-prinsip yang lebih personal sehingga segala urusan, termasuk terhadap pihak-pihak yang diduga korupsi atau terlibat dalam jejaring mafia, diselesaikan melalui mekanisme kekeluargaan atau pertemanan.

Kasus masuknya debitor nakal di istana beberapa waktu lalu dan atau hubungan pertemanan antara PT Masaro yang terlibat kasus korupsi pengadaan alat komunikasi radio terpadu di Departremen Kehutanan (keluarga Anggoro Widjojo) dan pimpinan kepolisian dan kejaksaan merupakan bukti konkret yang sudah diketahui luas oleh publik.

Fenomena seperti itu merupakan wujud dari penyelenggaraan negara yang berwatak kekeluargaan atau setidaknya berangkat dari nilai-nilai negara berbasis suku yang homogen. Prinsipnya, "semua bisa diatur secara kekeluargaan" dengan sifat saling menguntungkan alias simbiosis mutualisme.

Padahal, hal itu telah melanggar prinsip sistem tata kelola negara modern, yang seharusnya menerapkan prinsip-prinsip hubungan impersonal sehingga semua urusan harus didasarkan pada aturan dan hubungan yang rasional. Nilai-nilai reformasi sebenarnya mengarahkan negara ini harus dikelola secara rasional melalui hubungan-hubungan impersonal.

Keempat, pembiaran pengacara hitam dan makelar kasus. Kasus-kasus korupsi selalu dikerjasamakan antara oknum pejabat penegak hukum dan para pengacara hitam serta makelar kasus. Koruptor pun terbantu hingga bebas. Uang negara yang dikorupsi dibagikan kepada pihak-pihak yang telah membantu memastikan kasus itu tidak berlanjut atau pihak tersangka menjadi bebas.

Presiden SBY, tampaknya, tidak mampu meniadakan pengacara hitam dan makelar kasus. Bahkan, pejabat penegak hukum juga terus membiarkan itu. Setidaknya, itu terbukti dari pernyataan Jaksa Agung Hendarman Supandji dalam suatu rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR baru-baru ini, yang mengakui berkeliarannya para markus di lingkungan lembaga yang dipimpinnya. Tentu aneh kalau Presiden SBY terus memelihara pejabat yang tak mampu memberantas makelar kasus.

Kelima, lemahnya kendali pusat terhadap daerah. Di era reformasi, korupsi justru kian merajalela di seluruh daerah di Indonesia. Istilah desentralisasi korupsi sudah sering diingatkan oleh banyak pihak. Harapannya, pemerintah nasional, terutama di bawah kepemimpinan Presiden SBY, menyadari bahwa para pejabat di daerah sedang pesta pora menikmati kewenangan, kekuasaan, dan jabatannya dengan merampok uang rakyat.

Pihak-pihak penegak hukum yang berwenang di daerah, seperti kepolisian, kejaksaan, kehakiman, dan juga pengacara hitam, tampaknya benar-benar memanfaatkan kesempatan emas itu. Apalagi, konon, seorang pejabat penegak hukum yang mendapat tugas di daerah sekaligus mendapatkan pesan untuk ''membagi keberuntungan" dengan pejabat yang menempatkannya.

Dengan motivasi seperti itu, kasus-kasus korupsi sungguh-sungguh dijadikan lahan yang digarap khusus untuk mengisi brankas pribadi dan jaringan internal lembaganya. Dan, tampaknya, Presiden SBY tidak memiliki kepeduliaan yang tinggi terhadap booming korupsi di berbagai daerah tersebut. (*)
Laode Ida, sosiolog, wakil ketua DPD. Artikel ini pendapat pribadi

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 17 November 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan