Pekerjaan Rumah Kemendikbud Ristek Sebelum Adakan Perangkat TIK Rp 3,7 Triliun

Sumber: Tribun Video

Digitalisasi pendidikan atau transformasi digital dalam pelayanan pendidikan menjadi salah satu kegiatan strategis Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) pada tahun anggaran 2021. Untuk mendukung program ini, Dana Alokasi Khusus (DAK) fisik pendidikan dan anggaran Kemendikbud Ristek sebesar Rp 3,7 triliun dialokasikan untuk pengadaan perangkat Teknologi, Komunikasi, dan Informasi (TIK) yang disebut akan dibagikan pada sekolah dan siswa.

Pengadaan perangkat TIK, salah satunya laptop, dengan anggaran fantastis tersebut kemudian menjadi polemik di tengah publik. Indonesia Corruption Watch (ICW) dan KOPEL Indonesia mengidentifikasi berbagai persoalan dalam pengadaan laptop ini dan menyimpulkan dalam lima catatan, yaitu:

Pertama, spesifikasi Chromebook dinilai tidak tepat karena membuat perangkat hanya bisa digunakan apabila tersambung internet dan sistem yang dikembangkan Google. Argumentasi harga murah dan penggunaan yang mudah tak didukung penjelasan lebih lanjut mengenai berapa harga beli Chromebook tersebut dari enam penyedia yang menjadi rekanan Kemendikbud Ristek? Mahalnya harga disebut penyedia dikarenakan adanya biaya ongkos kirim ke daerah terpencil. Hal ini tentu seharusnya dipisahkan karena ongkos pengiriman akan berbeda-beda tergantung jauhnya jarak pengiriman.

Kedua, spesifikasi laptop produksi dalam negeri dengan sertifikat Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) juga terkesan sebagai suatu kebijakan yang terlalu memaksa dan mencampuradukkan tujuan pelayanan pendidikan dengan alasan-alasan yang lebih bersifat ekonomi, bukan kualitas dan perangkat yang memadai. Dengan adanya proyek ini, maka industri perakitan komputer dalam negeri akan berkembang dan menyerap ribuan tenaga kerja. Penggunaan produk dalam negeri sesuai Pasal 4 Perpres No.12/2021 tentang Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) Pemerintah memang perlu didukung, tetapi efektivitas penggunaan laptop juga harus diperhatikan. Hal ini mengingat uji coba perangkat untuk kegiatan belajar dan mengajar sebagaimana dimaksud Kemendikbud Ristek belum dilakukan. Jika pun sudah, publik hingga saat ini tak tahu hasil dan kapan uji coba tersebut dilakukan. Bahkan, penyedia seperti PT Tera Data Indonesia, produser laptop dengan merek Axioo, diketahui baru meluncurkan Chromebook pada April 2021 lalu.

Ketiga, yaitu hal yang paling dasar, pengadaan laptop dengan anggaran fantastis ini merupakan program yang terburu-buru dan beresiko gagal menggenjot kualitas pelayanan pendidikan. Kekhawatiran ini didasarkan pada fakta bahwa program ini tak diawali dengan identifikasi kebutuhan prioritas dalam pelayanan pendidikan terlebih di masa pandemi Covid-19, persiapan infrastruktur pendukung yang diperlukan, uji coba kualitas perangkat dan penggunaannya dalam proses belajar dan mengajar, dan bahkan konsep digitalisasi pendidikan juga belum disusun dalam kerangka kerja dan strategi implementasi yang jelas.

Alhasil, muncul pertanyaan publik mengenai bagaimana laptop ini dapat digunakan oleh tenaga pendidikan dan peserta didik di daerah yang belum mempunyai akses listrik dan internetnya belum tersedia atau terbatas? Apakah akan dilakukan penyediaan listrik dan internet terlebih dahulu atau lagi-lagi daerah ini akan luput dari program pemerintah, sama halnya dengan kondisi saat ini dimana mereka tak dapat menikmati program bantuan kuota internet Kemendikbud Ristek? 

Keempat, pengadaan laptop belum dilakukan secara transparan kepada publik. Dalam Rencana Umum Pengadaan (RUP) Kemendikbud Ristek belum ditemukan adanya pengadaan tersebut. Kemendikbud Ristek mengalokasikan anggaran Rp 1,3 triliun untuk membantu kebutuhan TIK 12.674 sekolah yang terdiri dari 189.840 laptop, 12.674 access point, 12.674 konektor, 12.674 proyektor, dan 45 speaker. Enam penyedia juga telah menyebut menerima pesanan dari Kemendikbud Ristek. PT Zyrexindo Mandiri Buana bahkan menyebut jumlah pesanan tersebut, yaitu 165 ribu unit laptop senilai Rp 700 miliar untuk 8.000 sekolah yang pengirimannya ditargetkan rampung sebelum Desember 2021. Ketiadaan informasi dalam RUP ini sangat disayangkan mengingat Kemendikbud Ristek mendapat penghargaan Indonesia Government Award 2020 atas inovasi pengadaan yang mendukung transparansi belanja pengadaan. 

Kelima, berkaca pada maraknya korupsi PBJ pendidikan, pengadaan laptop ini rentan dikorupsi. Terlebih lagi, 284.147 laptop dengan anggaran DAK 2021 senilai Rp 2,4 triliun akan dilakukan pemerintah daerah untuk 16.713 sekolah. Potensi korupsi mencakup proses PBJ dan pungutan liar kepada sekolah-sekolah. Oleh karena itu, kebijakan ini seharusnya juga diawali dengan analisis resiko dan pencegahan korupsi. Selama ini, sektor pendidikan mempunyai kerentanan tinggi terhadap korupsi. Pantauan ICW atas penindakan korupsi sektor pendidikan menemukan bahwa korupsi sektor pendidikan selalu masuk dalam peringkat lima besar penindakan korupsi terbanyak berdasarkan sektor, setelah anggaran desa, transportasi, dan perbankan. Korupsi terbanyak berkaitan dengan pembangunan infrastruktur yang umumnya menggunakan DAK, pengadaan barang non infrastruktur, dan penyalahgunaan Dana BOS.

Atas dasar lima catatan di atas, kami mendesak Kemendikbud Ristek untuk:

  • Mengidentifikasi kembali kebutuhan prioritas pelayanan pendidikan. Masih banyak hal prioritas penunjang pelayanan pendidikan seperti ruang kelas, meningkatkan kemampuan guru, mengurangi angka anak putus sekolah, dsb, yang juga membutuhkan anggaran yang tidak sedikit.
  • Mengkaji ulang pengadaan laptop untuk digitalisasi pendidikan. Upaya digitalisasi pendidikan merupakan gagasan yang baik dan dapat berdampak positif, namun harus diawali dengan persiapan sarana pendukung yang matang agar implementasinya tak berujung pada pemborosan anggaran karena produk tak dapat maksimal digunakan.
  • Melakukan uji coba implementasi di sekolah-sekolah dengan ragam karakteristik menjadi proses yang penting sebelum melakukan pengadaan dalam jumlah besar-besaran. Mengenai digitalisasi pendidikan, Kemendikbud Ristek pada dasarnya tak perlu terburu-buru.
  • Tidak hanya fokus pada digitalisasi pendidikan, tetapi juga memprioritaskan pembenahan problem-problem mendasar yang lebih mendesak agar memperpendek ketimpangan akses pendidikan dan menekan potensi korupsi sektor pendidikan yang kian marak terjadi. Masalah ini dinilai lebih urgen untuk ditangani saat ini.

 

***

ICW-KOPEL Indonesia

Jakarta, 12 Agustus 2021

 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan