Minim Sosialisasi, Sarat Dugaan Manipulasi

PKL Malioboro
PKL Malioboro

Berlokasi di jantung Kota Yogyakarta, Jalan Malioboro dikenal sebagai ikon wisata daerah istimewa ini. Jalan Malioboro terkenal karena lahan untuk pedagang kaki lima, warung lesehan dan ruang ekspresi bagi seniman Yogyakarta. Aneka jenis pedagang memadati ruas jalan ini. Di trotoar sepanjang satu kilometer itulah, pelancong biasa membeli cindera mata, penganan hingga pakaian dengan harga murah.

Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta menata kawasan Malioboro sejak 2014 lalu. Rencananya, penataan ini akan rampung pada 2021. Salah satu titik penataan adalah pedagang kaki lima di sisi barat jalan tersebut yang dimulai sejak 2018. Rencananya, para pedagang ini akan direlokasi ke gedung baru di lahan bekas Bioskop Indra. Setelahnya, trotoar di sisi barat diperlebar dan bakal dikhususkan untuk pedestrian.

Setelah penataan, pengakuan pedagan, kawasan Malioboro tetap ramai. Namun, Maryono, seorang pedagang kaki lima yang berjualan di sisi barat, menuturkan keramaian itu tak sejalan dengan penghasilannya. Omzetnya menurun 40 persen menjadi Rp500 ribu per hari. Maryono mengklaim, penurunan pendapatan ini tidak hanya dia alami sendiri tetapi juga pedagang lain, termasuk para penjual makanan di kawasan Pasar Beringharjo. “Wisatawan lebih senang foto-foto, selfie ketimbang berbelanja,” kata Maryono di lapaknya pada Minggu, 12 Desember 2019.

Maryono sudah mengetahui rencana relokasi pedagang kaki lima ke gedung eks Bioskop Indra tapi belum mengetahui bagaimana pembagian kios di gedung baru tersebut. Dia khawatir, pemindahan ini justru makin mengurangi pendapatannya. “Masih di pinggir jalan saja dagangan saya makin sepi. Apalagi kalau harus pindah ke gedung tiga lantai,” ucap Maryono.

Bukan cuma kekhawatiran kehilangan omzet, Maryono enggan dipindah ke lokasi baru karena ia merasa tak pernah diajak berembug mengenai relokasi ini. Jangankan untuk meminta persetujuan, dia mengatakan, pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tak pernah mensosialisasikan pembangunan ini. “Saya tidak tahu kalau ke paguyuban lain,” kata dia seraya menyebutkan ada 11 paguyuban pedagang di sepanjang kawasan Malioboro.

Ihwal pemindahan pedagang ke gedung baru pun tak kunjung terang mekanismenya. Maryono masih bertanya-tanya mengenai sistem penempatan kios, apakah nanti dia bakal menyewa kios tersebut atau justru bisa memperoleh secara cuma-cuma. Maryono juga tidak mengetahui apakah dia harus membayar uang listrik dan uang kebersihan ketika nanti menempati gedung baru. Jika benar begitu, dia merasa keberatan dibebani dengan pembayaran ini sebab artinya dia harus mengeluarkan uang ekstra.

Maryono berharap, pemerintah membuka ruang dialog dengan pedagang sebelum pemindahan dilaksanakan. Dia tidak ingin pedagang kembali mengalami penggusuran paksa seperti pada 1990an silam.

Tak hanya minim sosialisasi, pembangunan gedung ini juga dianggap tak sesuai dengan kebutuhan. Pasalnya, gedung ini direncanakan bakal mampu menampung setidaknya 400 pedagang kaki lima. Padahal, jumlah pedagang pinggir jalan di sisi barat Malioboro selama ini jauh di atas kapasitas gedung baru. Artinya, akan ada banyak pedagang yang tak mendapatkan tempat di gedung berbiaya sebesar Rp62 miliar tersebut.

Pembangunan gedung relokasi juga ditengarai rawan penyimpangan. Tiga jurnalis yakni Arif Hernawan dari Gatra, Haris Firdaus dari Kompas, dan Bhekti Suryani dari Harian Jogja berkolaborasi untuk menelisik kejanggalan dalam proyek ini. Sebelum proses investigasi ini, jurnalis dan aktivis organisasi non-pemerintah mendapatkan pelatihan Open Tender pada 1-3 Juli 2019 di Kota Yogyakarta. Pelatihan ini merupakan kerjasama antara Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP).
 

Infografis


Tiga jurnalis ini menggunakan situs opentender.net untuk menelisik kejanggalan proyek ini. Situs yang dikembangkan ICW ini menggunakan sejumlah parameter untuk menilai apakah sebuah proyek memiliki potensi penyimpangan atau tidak. Parameter itu antara lain nilai proyek, efisiensi anggaran, jumlah peserta lelang, hingga tenggat penyelesaian proyek.

Setiap aspek dinilai kemudian dimasukkan ke dalam tiga skala kategori. Kategori berisiko rendah dinilai dengan angka 1-10, kategori sedang bernilai 11-15 dan kategori tinggi dengan nilai 16-20. Hasil penelusuran para jurnalis ini menunjukkan, proyek relokasi PKL itu memperoleh nilai 19 atau masuk kategori potensi penyimpangan tinggi. Angka ini merupakan nilai tertinggi untuk wilayah Yogyakarta, sekaligus nomor delapan untuk skala nasional. Setelah melewati investigasi selama empat bulan, dugaan penyimpangan ini telah diterbitkan di media masing-masing pada 20-22 November 2019.

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan