Menolak Keabsahan UU Mahkamah Agung

Pernyataan Pers

Sidang Paripurna Kamis malam (18/12) di Nusantara II-DPR, telah menjadi antiklimaks upaya menyelamatkan Mahkamah Agung (MA) dari jerat kepentingan politik dan kepentingan mempertahankan elit status quo. Hanya dengan 90-an anggota DPR yang hadir, penolakan secara resmi dari Fraksi PDIP, dan interupsi berbagai Fraksi, Pimpinan Sidang tetap memaksakan pengesahan UU MA. Disinilah publik melihat, Institusi Kekuasaan Kehakiman dikooptasi oleh kepentingan politik.

Setidaknya ada empat materi bermasalah yang tetap dipaksakan pada UU MA. Pertama, perpanjangan Usia pensiun 70 tahun.

Telah banyak masukan, penolakan dan argumentasi yang disampaikan untuk menolak perpanjangan tersebut. Secara prinsipil, publik melihat usia perpanjangan pensiun menjadi 70 tahun tidak lebih dari upaya memperpanjang masa kekuasaan elit MA. Ditengah penilaian sangat buruk terhadap peradilan Indonesia, rendahnya kepercayaan publik nasional dan Internasional, serta terus meningkatnya Putusan Bebas untuk kasus korupsi. Maka, klausul Usia 70 tahun bagi Hakim Agung adalah sebuah bencana.

Selain itu, poin ini dinilai melanggar beberapa norma Konstitusi. Diperpanjangnya Usia Hakim Agung akan menciptakan sebuah ketidakpastian hukum baru. Misal: apakah hal ini berlaku untuk hakim agung yang telah diperpanjang masa pensiunnya sendiri secara "illegal" sebelumnya? Atau, apakah berlaku untuk Hakim Agung yang telah berusia diatas 65 tahun? Karena UU 14/85 Jo UU 5/2004 (UU MA lama) membatasi usia pensiun hanya 65 tahun.

Perpanjangan dari 65 menjadi 67 pun seharusnya hanya dapat dilakukan oleh Presiden, karena UU saat itu menyatakan, "pengangkatan dan pemberhentian hakim agung dilakukan oleh Presiden". Dengan kata lain, perpanjangan dari kacamata Hukum Administrasi Negara haruslah dilihat sebagai bagian dari Pengangkatan Baru. Tentu saja, tindakan Ketua MA, Bagir Manan saat itu melanggar UU MA itu sendiri. Dan, patut dipikirkan konsekuensi perpanjangan yang diduga "illegal" tersebut. Sehingga, kalaupun usia pensiun menjadi 70 tahun, ia tidak boleh berlaku untuk Hakim Agung yang keberadaannya dipertanyakan secara hukum.

Kedua, Audit Biaya Perkara. Pasal ini merupakan celah dan perangkap hukum yang sangat lihai. Sepintas akan dipahami, Biaya Perkara masuk kategori PNBP dan dapat diaudit BPK. Padahal, tidak. Karena Pasal 81(A) RUU MA hanya mengatur kewenangan Audit BPK hanya mencakup Biaya Kepaniteraan. Sedangkan Biaya Proses atau Biaya Perkara, tetap tidak masuk jangkauan BPK. Jelas, DPR sedang melegitimasi Rezim KETERTUTUPAN dan anti Transparansidi MA.

Ketiga, Hakim Ad Hoc. Kekhawatiran publik, tentang upaya DPR untuk menggerogoti Pengadilan Tipikor dan Pemberantasan Korupsi, terbukti dalam UU MA. Eksistensi Hakim Ad Hoc tetap dihilangkan. Sehingga, keberadaan Hakim Ad Hoc Tipikor di MA saat ini dapat menjadi cacat hukum pasca undang-undang ini berlaku.

Keempat, Pelemahan Komisi Yudisial. Berhubungan dengan Usia Pensiun 70 tahun, maka kewenangan KY untuk menyeleksi Hakim Agung akan terdistorsi dan berkurang. Secara langsung, ini akan melemahkan kewenangan Konstitusional KY. Selain itu, UU MA hanya menempatkan KY sebagai entitas "pengawasan lain", sedangkan pengawasan utama dan tertinggi tetap di tangan MA. Hal ini tentu saja mengingkari maksud dan tujuan keberadaan KY yang diinginkan Konstitusi. Seharusnya, KY diperkuat dan pengawasan utama berada ditangan Komisi Yudisial tersebut.

Dengan kata lain, UU MA sesungguhnya merupakan produk yang lahir cacat, dan mengandung materi yang bertentangan dengan Konstitusi. Pada akhirnya ia akan memperburuk citra Kekuasaan Kehakima di MA itu sendiri.

Cacat pembentukan
Selain yang dipaparkan diatas, pembentukan MA dinilai bermasalah dari awal. Padahal, disyaratkan pembentukan sebuah UU haruslah melalui tahapan tertentu, melibatkan partisipasi publik dan dilakukan secara transparan. Sejak awal, Panitia Kerja UU MA sudah melanggar. Publik tidak dilibatkan; pembahasan tergesa-gesa; serta kenyataan dan keadaan Peradilan Indonesia yang sedang terpuruk tidak dipertimbangkan. Yang terlihat justru persekongkolan kepentingan elit politik dan elit MA.

Pada proses pengesahan di Paripurna, terdapat sejumlah dugaan pelanggaran Tata Tertib. Pimpinan sidang diduga Melanggar Pasal 205,206, 208, 209, dan 210  Tatib DPR (dituangkan dalam Keputusan DPR No. 08/DPR-RI/I/2005.2006), yakni:

a.Terkait Kuorum

  •  Pengambilan keputusan hanya dapat dilakukan jika dihadiri lebih dari 1/2 anggota DPR. Padahal, hanya 90an orang yang menghadiri sidang paripurna saat itu. Tidak Kourum. Pembahasan memang tetap dimungkinkan, tapi PENGESAHAN tidak.
  • Jika Kourum tidak terpenuhi, seharusnya pengambilan keputusan ditunda dua kali. Jika sudah ditunda namun belum terpenuhi, maka harus diadakan konsultasi antar Pimpinan DPR dan Unsur Pimpinan Fraksi. Pada kenyataannya, TIDAK DILAKUKAN.
  • Jika tidak memenuhi, seharusnya pokok persoalan yang akan diputuskan BATAL.

b. Terkait Mufakat atau Votting

  • Pengambilan Keputusan hanya bisa dilakukan secara Mufakat jika semua anggota DPR setuju. Padahal, ada satu fraksi besar yang menolak dan interupsi dari anggota lain.
  • Jika Mufakat tidak tercapai, dilakukan Pemungutan Suara Langsung (votting). Dapat melalui Lobby terlebih dahulu.

Pelanggaran Tata Tertib DPR diatas sesungguhnya tidak dapat dilihat sebagai pelanggaran prosedural semata. Tindakan memaksakan pengesahan sebuah undang-undang disaat terjadi gelombang penolakan yang besar di masyarakat, dapat dinilai sebagai tindakan pengkhianatan konstitusional. Karena, secara prinsipil, tidak ada tugas lain dari DPR selain mengurus, memperjuangkan dan mendengar aspirasi masyarakat.

Di sisi formil, bahkan salah satu fraksi yang terdiri dari 109 anggota DPR mengajukan keberatan secara resmi. Menolak Pengesahan RUU MA. Tindakan mayoritas fraksi DPR yang tidak peduli dengan aspirasi masyarakat dan mengesampingkan suara 109 wakil rakyat jelas melanggar prinsip-prinsip mendasar penyelenggaraan tugas legislasi DPR.

Pada aturan internal DPR sendiri, ditemukan, bahwa tindakan melanggar Tata Tertib sesungguhnya equivalen dengan pelanggaran Kode Etik DPR. Pasal 7 Kode Etik jelas mengatur, pelanggaran Tata Tertib masuk dalam kualifikasi Pelanggaran Kode Etik. Dengan demikian,

Sehingga, tindakan mayoritas fraksi DPR sesungguhnya memperburuk citra institusi legislatif Indonesia dimata masyarakat Indonesia dan Internasional. Karena, selain UU MA, pada masa sidang paripurna desember 2008 ternyata sejumlah UU kontroversial dan ditentang keras oleh publik tetap dipaksakan pengesahannya, misal: UU BPH. Ini menunjukkan DPR periode 2004-2009 justru sedang memposisikan diri sebagai "musuh" kepentingan masyarakat.

Oleh karena itu, ICW dan PuKAT Korupsi FH UGM:

  1. Menolak keabsahan UU Mahkamah Agung;
  2. Akan Melaporkan Ketua DPR selaku pimpinan sidang atas dugaan pelanggaran Tatib dan Kode Etik DPR;
  3. Akan mengajukan Judicial Review pada Mahkamah Konstitusi agar UU MA dibatalkan dan dinyatakan tidak mengikat

Jakarta, 21 Desember 2008

Indonesia Corruption Watch – Pusat Kajian Anti Korupsi (PuKAt) FH UGM

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan