Mengapa Negara Kaya Sumber Alam Miskin?

Mengapa negara-negara kaya sumber daya alam tidak bisa menjadi negara kaya, bahkan cenderung miskin, dan sering bergantung kepada bantuan asing? Korupsi dan koalisi jahat antara perusahaan ekstraktif, yang kebanyakan perusahaan multinasional, dan pejabat pemerintah bermental buruk dituding sebagai penyebabnya.

Ironi sejumlah negara kaya yang jatuh miskin dan bergantung kepada bantuan negara lain dan lembaga donor menjadi salah satu sorotan dalam Konferensi Antikorupsi ke-14 di Bangkok, Thailand, 10-13 November 2010.

Salah seorang pembicara dalam diskusi panel, Eleanor Nichol dari Global Witness, menyebutkan, dukungan yang paling dibutuhkan sejumlah negara miskin sebenarnya adalah memastikan tiadanya korupsi dalam pengelolaan sumber daya alam mereka, bukan dengan terus menggelontorkan bantuan.

Dia menunjukkan sejumlah negara yang digolongkan miskin sebenarnya memiliki kekayaan besar. ”Pada 2006, ekspor minyak dan mineral dari Afrika senilai sekitar 249 miliar dollar AS, hampir enam kali dari nilai bantuan internasional sebesar 43 miliar dollar AS,” katanya.

Eleanor menyebutkan, kekayaan alam yang tinggi dari sejumlah negara miskin itu hanya dinikmati para elite dan perusahaan ekstraktif.

Dia mencontohkan skandal korupsi yang dilakukan mantan Presiden Turkmenistan Niyazovterus yang baru-baru ini meninggal. Niyazovterus ketahuan menyimpan dana hingga 3 miliar dollar AS dari pendapatan kilang minyak dan gas lepas pantai. Uang itu disimpan di sejumlah nomor rekening, yang terbesar di Deutsche Bank, Frankfurt, Jerman.

”Hanya Niyazovterus yang memiliki kontrol tunggal atas dana tersebut. Seorang mantan Ketua Bank Sentral Turkmenistan menggambarkan dana itu sebagai ’uang saku pribadi’ Niyazovterus. Padahal, 58 persen dari populasi rakyatnya hidup dalam kemiskinan,” ujarnya.

Contoh lain adalah Angola, salah satu negara termiskin di dunia. Satu dari empat anak di negara tersebut meninggal sebelum berusia lima tahun. Satu juta penduduk negeri ini bergantung kepada bantuan internasional. ”Namun, dari penyelidikan IMF pada 2004, ditemukan dokumen yang menunjukkan, lebih dari 1 miliar dollar AS per tahun dari pendapatan minyak negara itu (sekitar seperempat dari pendapatan tahunan negara) ditransfer ke luar negeri sejak 1996,” ungkapnya.

Kuncinya transparansi
Alexandra Gillies, peneliti dari Universitas Cambridge, Inggris, mengatakan, sektor sumber daya alam berpotensi besar untuk dikorupsi. Oleh karena itu, desain sistem antikorupsi harus memahami kerentanan sektor ini serta kondisi spesifik negara atau daerah masing-masing.

Kerentanan korupsi dalam sektor sumber daya alam itu, menurut Gillies, di antaranya disebabkan oleh teknis pengelolaan sumber daya alam cukup rumit, mulai dari eksplorasi, lisensi, kontrak, aturan, harga, distribusi, hingga penjualan.

”Industri sumber daya alam cenderung tersentralisasi dan tidak banyak pemainnya. Kontrol atas sumber daya alam juga menjadi hak negara atau pemerintah daerah. Di negara korup, sektor ini menjadi alat untuk mencapai tujuan politik partai atau pribadi pemegang kekuasaan,” ucapnya.

Di sisi lain, sebagian industri ekstraktif selama ini justru merasa diuntungkan oleh iklim koruptif di negara-negara yang kaya sumber daya alam. Oleh karena dengan itu, mereka bisa mendapatkan kontrak yang menguntungkan, cukup dengan menyuap sejumlah pejabat setempat.

Gillies menyebutkan, transparansi merupakan kunci untuk mengurangi korupsi di sektor sumber daya alam. ”Kini sejumlah perusahaan sudah menerapkan Extractive Industries Transparency Initiative (EITI),” katanya. Selain itu, sejumlah lembaga keuangan multinasional saat ini juga mewajibkan industri agar turut berkomitmen terhadap pemberantasan korupsi.

EITI merupakan inisiatif sejumlah perusahaan internasional membayar negara atas sumber daya alam yang mereka eksplorasi melalui proses yang transparan dan melibatkan banyak pihak untuk memantaunya. Sebanyak 21 negara telah mengikutinya, lima di antaranya yang sudah teruji adalah Azerbaijan, Ghana, Liberia, Mongolia, dan Timor Leste. Bagaimana dengan Indonesia?

Menurut the Revenue Watch Index, beberapa negara, seperti Kazakhstan dan Azerbaijan, memiliki skor tinggi dalam hal transparansi, tetapi korupsi di negara tersebut tetap tinggi. ”Bagaimana transparansi menghasilkan lebih banyak akuntabilitas dalam konteks seperti itu? Hal itu karena sering kali data dan laporan kurang dimanfaatkan atau tidak dapat diakses oleh publik,” kata Gillies.

Oleh karena itu, akses terhadap informasi menjadi kunci penting setelah transparansi. Ezequiel Nino, pendiri ACIJ, salah satu organisasi nonpemerintah Argentina, mendorong publik mengkaji kasus korupsi dan menyebarluaskannya kepada publik. [Oleh Ahmad Arif]
Sumber: Kompas, 23 November 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan