Mencari Figur Pimpinan KPK yang Ideal; Tolak Unsur Polisi dan Jaksa

Press Release

Seleksi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melewati pengumuman Tahap II dan profille assesment. Berdasarkan fase yang disampaikan oleh Panitia Seleksi (Pansel), maka jalan menuju kursi pimpinan KPK semakin dekat. Calon yang lulus tahap III segera akan diumumkan, mengkuti proses Wawancara, dan kemudian dua nama akan diserahkan pada Presiden RI.

Sejauh ini Pansel telah menyaring sejumlah calon hingga susut menjadi 12 orang. ICW dan Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) telah mencermati dan bahkan sedang mengumpulkan secara intensif rekam jejak para calon. Proses tracking ini tentu saja didasarkan pada indikator yang jelas, terutama untuk menjawab pertanyaan, figur seperti apa yang ideal memimpin KPK dalam keadaan goncang seperti hari ini?

KPK Ditengah Badai

Keadaan goncang institusi KPK tersebut tidak bisa dilepaskan dari realitas politik dan persekongkolan berbagai kelompok untuk melumpuhkan KPK. Parlemen masih dikuasi elit yang sama, dengan komitmen pemberantasan korupsi yang lemah. ICW mencatat upaya delegitimasi dari sektor politik ini paling dominan. Eksekutif pun demikian. Presiden diragukan komitmennya untuk mendukung independensi dan pelaksanaan tugas KPK. Demikian juga dengan mafia bisnis yang kepentingannya terganggu dengan kehadiran KPK. Sejumlah elit di lembaga penegak hukum pun relatif resisten dengan KPK. Tidak hanya terlihat dari pernyataan dan sikap di depan publik, pimpinan Kepolisian dan Kejaksaan bahkan diduga terlibat langsung ataupun tidak langsung dengan upaya pelemahan KPK. Setidaknya, kriminalisasi dan dugaan rekayasa proses hukum terhadap Bibit-Chandra menjadi salah-satu contoh kongkrit. Baru-baru ini, publik menjadi saksi soal kontroversi rekaman 64 kali pembicaraan Ade Rahadja dan Ari Muladi yang diklaim Polri dan Jaksa Agung ada. Kita sungguh khawatir pimpinan dua lembaga ini melakukan kebohongan publik.

Di mata internasional, kondisi korupsi Indonesia relatif stagnan. CPI Indonesia hanya meningkat 0,8 poin dari tahun 2004 ke 2009. Survey PERC masih menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup dari 12 negara di Asia Pasifik. Kepastian hukum, kredibilitas institusi dan kepercayaan publik pada lembaga penegak hukum merosot tajam. Ditengah kondisi itulah, proses seleksi Pimpinan KPK, yang hanya mencari 1 calon, dilakukan. Dengan demikian, sesungguhnya kita tidak sedang membutuhkan sosok dan profil yang biasa saja, tetapi orang dengan kriteria luar biasa “extra ordinary people”. Yang tentu saja, harus memenuhi sejumlah syarat mendasar.

ICW mempunyai 11 (sebelas) kriteria minimum yang harus dipenuhi oleh pimpinan KPK. Kriteria ini penting dicermati dan dijadikan dasar utama oleh Panitia Seleksi, jika memang pansel berkomitmen memilih pimpinan KPK yang ideal. Jika memang Pansel tidak sedang melakukan upaya penyusupan terhadap KPK, atau sekedar menyelenggarakan “corruptor idol”. Masyarakat harus terus mengawal proses seleksi di Pansel, Presiden dan DPR. Terutama dua titik ekstrim yang mungkin saja terjadi, yaitu: memasukkan titipan koruptor dan titipan kekuatan politik tertentu ATAU meloloskan calon yang lemah, sehingga KPK menjadi “macan ompong” dalam pemberantasan korupsi.

Sebelas kriteria

Prasyarat utama yang kami tawarkan adalah:

  1. Integritas tidak diragukan: ( a. Punya kekayaan wajar dibanding penghasilan sah, tidak punya “rekening gendut”, b. Tidak pernah membela kasus korupsi (advokat), c. Tidak pernah terlibat mafia hukum, d.Tidak pernah diberikan sanksi signifikan dalam kepegawaian)
  2. Perencana strategis (strategic thinker);
  3. Investigating mind, dibutuhkan calon dengan latarbelakang dan semangat penindakan (bukan pencegahan);
  4. Imparsial (tidak memihak) dan independensi yang tinggi;
  5. Punya daya tahan bekerja dalam tekanan dan serangan balik koruptor (corruptor fight back);
  6. Berani mengambil resiko (High Risk Taker) dan bukan safety player;
  7. Mau memprioritaskan pemberantasan korupsi dan pemberantasan mafia di institusi penegak hukum, peradilan, dan bisnis;
  8. Tidak ewuh pakewuh. Misal: berani mengambil alih kasus di Kepolisian dan Kejaksaan tanpa perlu merasa sungkan;
  9. Terminimalisir dari konflik kepentingan (politik, bisnis);
  10. Memiliki social credibility dan public trust yang tinggi (orang yang benar-benar tidak diragukan publik);
  11. Bukan berasal dari Polisi, Jaksa dan Advokat yang membela kasus korupsi.

Selain sebelas kriteria diatas, ICW memberikan 3 (tiga) penekanan sekaligus tantangan pada para calon pimpinan KPK. Pertama, berkomitmenkah calon merealisasikan ide penyidik independen di KPK? Kedua, sejauh mana para calon akan memprioritaskan 3 kasus besar, yaitu: Skandal Bank Century, Mafia Hukum dan korupsi di Kepolisian (Kasus Rekening Gendut dan Suap dalam kasus Gayus H. Tambunan), serta praktek mafia tambang dan hutan di beberapa daerah, khususnya Kalimantan dan Riau ; dan, Ketiga, penegakan aturan internal untuk menyingkirkan “buaya bertopeng cicak” atau penyusup di tubuh KPK. Hal ini terkait penegakan asas “zero tolerance”, seperti pada kasus Direktur Penuntutan KPK yang diduga melanggar kode etik pegawai KPK.

50% Tak Layak

Dari pembacaan dan penelusuran awal yang dilakukan ICW, setidaknya kami menyimpulkan 6 (enam) calon tidak tepat menjadi pimpinan KPK, dengan rincian: 3 calon patut DITOLAK, 2 tidak sesuai dengan kebutuhan KPK yang idealnya memprioritaskan penindakan, dan 1 calon diragukan. Atau, 50% dari 12 calon yang lolos seleksi Tahap II tidak tepat menjadi pimpinan KPK.

Akan tetapi, penelusuran dan investigasi rekam jejak akan kami teruskan. ICW dan Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) akan mendalami lebih jauh komitmen antikorupsi calon, keterlibatan diri atau keluarga dalam praktek korupsi; tingkat kompromi calon dan keluarga; serta kekayaan yang dilaporkan atau tidak dilaporkan.

Atas dasar itulah, ICW menyatakan:

  1. Usulan pada panitia seleksi agar menjadikan 11 kriteria diatas sebagai indikator minimum untuk memilih pimpinan KPK;
  2. Menolak unsur Polisi dan Jaksa untuk menjadi pengganti pimpinan KPK. Karena KPK harus memprioritaskan pemberantasan korupsi dan mafia di institusi penegak hukum;
  3. Menolak advokat yang pernah membela kasus korupsi sebagai pimpinan KPK;

Indonesia Corruption Watch

Jakarta, 5 Agustus 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan