Memidana Korporasi

Sumber: Media Indonesia
Sumber: Media Indonesia

Mengawali 2019, KPK memulai gebrakan baru dengan keberhasilannya menuntut korporasi atas tindak pidana korupsi.

Korporasi PT Nusa Konstruksi Enjiniring (NKE) yang sebelumnya bernama PT Duta Graha Indah menjadi korporasi pertama yang dituntut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan dijatuhi pidana.

PT NKE dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sehingga diharuskan membayar denda Rp 700 miliar serta uang pengganti Rp 85 miliar oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta. Tidak sampai disitu, majelis hakim juga mencabut hak PT NKE untuk mengikuti lelang proyek pemerintah selama enam bulan. Meskipun putusan tersebut belum berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde), sebagai suatu terobosan dalam pemberantasan korupsi, putusan majelis hakim Tipikor patut diapresiasi.

Tanggung jawab pidana korporasi

Res ipsa loquitur” kenyataan telah membuktikan bahwa korporasi kerap berperan dan mengambil keuntungan dalam berbagai peristiwa pidana yang merugikan masyarakat sehingga rasional dan adil jika korporasi bertanggungjawab atas kejahatan yang dilakukan untuk kepentingan korporasi. Pandangan ini mengesampingkan doktrin lama bahwa korporasi tidak mungkin dipidana, ”universitas delinquere non potest”.

Di Indonesia, tanggung jawab pidana korporasi pertama kali diadopsi dalam UU Darurat No 17 Tahun 1951 tentang Penimbunan Barang-barang. Saat ini lebih dari 100 undang-undang di luar KUHP telah mendudukkan korporasi sebagai subyek pidana, termasuk UU Tipikor yang mengadopsi pendekatan vicarious liability.

Vicarious liability pada awalnya berkembang dalam praktek peradilan pidana Inggris dan dikenal di Amerika sebagai respondeat superior. Menurut doktrin vicarious, korporasi mengambil alih tanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan oleh pegawai atau agen korporasi.

Dalam kasus United States vA & P Trucking Co, korporasi dianggap bertanggungjawab atas tindak pidana yang dilakukan oleh agen atau pegawainya karena tindakan tersebut dilakukan dalam lingkup pekerjaannya dan untuk memberikan keuntungan bagi korporasi. Singkatnya, dalam teori vicarious liability korporasi tidak hanya bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan oleh pengurusnya, tetapi juga bertanggungjawab atas tindakan seluruh pekerjanya, bahkan orang lain yang terafiliasi dengan korporasi.

Dalam UU Tipikor, tanggung jawab pidana korporasi diatur dalam Pasal 20 Ayat (1). Disebutkan: ”Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya”. Jadi, seandainya korporasi menyuap penyelenggara negara, selain korporasinya dipidana, pengurusnya juga dapat dituntut dan dipidana.

Pertanyaan selanjutnya, kapan suatu korporasi dianggap melakukan tindak pidana? Hal ini dijelaskan dalam Pasal 20 Ayat (2): ”…apabila tindak pidana dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama”.

Frasa ”baik sendiri maupun bersama-sama” menegaskan bahwa orang yang melakukan bisa saja satu orang berdiri sendiri atau beberapa orang yang bersama-sama. Syaratnya pelaku memiliki hubungan kerja atau hubungan lain dengan korporasi. Ketentuan Pasal 20 Ayat (1) dan Ayat (2) saling berkaitan erat. Formulasi ketentuan tersebut merupakan bentuk aplikasi vicarious liability atau pertanggungjawaban pidana pengganti yang juga digunakan dalam Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016.

Sanksi pidana

Suatu keniscayaan bahwa penjatuhan pidana pasti berimplikasi terhadap pelaku dan masyarakat. Jika pidana dijatuhkan terhadap orang, maka keluarga dan semua relasi dalam kehidupan terpidana akan terdampak. Demikian pula bagi korporasi, pemidanaan terhadap korporasi tentu telah dipertimbangkan oleh pembentuk undang-undang dan diputuskan oleh hakim secara terukur untuk mencapai tujuan pidana.

Bentham dalam The Theory of Legislation menjabarkan bahwa tindakan atau perilaku jahat sepenuhnya dipengaruhi oleh motif yang pada dasarnya dikendalikan oleh penderitaan dan kesenangan. Menurut dia, kehendak tidak dapat dipengaruhi kecuali oleh motif (Jeremy Bentham, 1979).

Jika kesenangan dianalogikan dengan keuntungan, maka dalam perspektif ”economic analysis of law” kejahatan semata-mata dilakukan untuk mengambil keuntungan dari tindak pidana yang terjadi.

Keuntungan tersebut dapat berwujud materi, atau tidak berwujud, yakni berkaitan dengan hasrat emosional dan kepuasan atas tindakan jahat yang dilakukan (Richard A Posner, 1998). Dalam kasus korupsi, tindakan korporasi ditujukan untuk mendapatkan keuntungan materi, baik berupa keuntungan tambahan yang lebih besar atau mengurangi biaya yang seharusnya dibayarkan.

Dalam konteks tersebut, sanksi pidana terhadap korporasi merupakan jalan untuk mempengaruhi motif dan kesadaran korporasi untuk mematuhi aturan hukum. Sanksi pidana dan dampaknya terhadap korporasi menjadi konsekuensi logis atas pelanggaran pidana yang dilakukan oleh korporasi.

Ke depan, penanganan kasus korupsi yang melibatkan korporasi perlu menjadi fokus penegakan hukum. Di sisi lain, untuk menghindari sanksi pidana, korporasi dapat melakukan upaya pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016. Menerapkan governance, risk and compliance (GRC) dengan benar dan ketat dalam mengelola korporasi adalah cara terbaik untuk melindungi korporasi dari jerat pidana.

Rasamala Aritonang, Kepala Perancangan Peraturan dan Produk Hukum KPK

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 12 Januari 2019, dengan judul "Memidana Korporasi".

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan

 

Tags