Legalitas OTT KPK

ARTIKEL saya di surat kabar KOMPAS, 29 September 2017, dengan judul ”Memaknai Tertangkap Tangan ” ditanggapi oleh Prof Romli Atmasasmita di KORAN SINDO, Selasa 3 Oktober 2017, dengan judul ”OTT KPK ”. Dalam memberikan nuansa akademis kepada para pembaca, kiranya saya perlu menanggapi artikel Prof Romli di harian ini sehingga perdebatan tersebut menjadi seimbang. Kalaupun terdapat perbedaan pendapat, maka hal itu adalah sunnatullah dalam memperkaya wacana pembaca di dunia akademik. Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada Prof Romli, ada beberapa hal yang perlu saya tanggapi.

Pertama, perlu ditegaskan tidak ada perbedaan hakiki antara tertangkap tangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 19 KUHAP dan operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK. Kedua, berbicara dalam konteks KUHAP, haruslah dipahami bahwa ibarat kata jauh panggang dari api, maka KUHAP kita yang disahkan dengan Undang-undang Nomor 8/1981 lebih bernuansa crime control model dan bukan due process model seperti yang dikatakan oleh Prof Romli. Dalam The Limits Of Criminal Sanct ion, Packer menyatakan bahwa ciriciri dari crime control model adalah mengutamakan kecepatan dalam beracara, mengutamakan kuantitas, dan menggunakan asas praduga bersalah.

Di sini peran tersangka atau terdakwa sangat sentral karena harus berusaha semaksimal mungkin melepaskan diri dari jeratan hukum. Sementara ciri-ciri dari due process model adalah menolak kecepatan, mengutamakan kualitas dan menggunakan asas praduga tidak bersalah. Di sini peran penasihat hukum menjadi penting dalam perlindungan terhadap individu sehingga tidak diberlakukan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum.

Bandingkan kedua model tersebut dengan KUHAP kita: 1) Jika seseorang ditahan, maka KUHAP memberikan batas an waktu untuk penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan sidang. Hal ini menandakan mengutamakan kecepatan dalam beracara. 2) Hakhak tersangka tidak diatur secara rinci sebagai suatu bentuk perlindungan hak asasi manusia. 3) Penangkapan dilakukan terhadap se seorang yang diduga keras telah melakukan suatu tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup (lihat Pasal 17 KUHAP).

Artinya, harus ada praduga bersalah dari sudut pandang aparat penegak hukum. Sedangkan asas praduga tidak bersalah hanya diatur di bagian penjelasan umum angka 3 huruf c. Dapatlah dipahami bahwa KUHAP disusun pada saat rezim Orde Baru yang sedang berkuasa sehingga sulit dikatakan bahwa politik hukum pidana saat itu ingin menjunjung tinggi hak asasi manusia. Hal ini kemudian menjadi salah satu pertimbangan disusunnya rancangan KUHAP baru yang sekarang telah berada di DPR.

Ketiga, dalam teori hukum pidana dikenal 12 pembagian jenis delik. Salah satu pembagian jenis delik adalah delik persiapan, delik percobaan, delik selesai, dan delik berlanjut. Dalam konteks tertangkap tangan bila dihubungkan dengan pembagian delik tersebut, maka sudah pasti orang yang tertangkap tangan berada dalam kondisi delik selesai (vooltoide delic) atau delik percobaan (po ging delic). Delik percobaan ini pun masih dibagi menjadi geshorste poging (percobaan terhenti) dan vooltoide poging (percobaan selesai).

Sebagai ilustrasi A yang sakit hati dan ingin membunuh B hendak menusuk B dengan sebilah pisau, pada saat yang sama B menendang tangan A sehingga pisau terjatuh. Di sini terjadi apa yang disebut sebagai geshorste poging. Bandingkan dengan contoh lain: A yang sakit hati dengan B dan ingin membunuhnya sudah menghujam B dengan beberapa tusukan di perut. B kemudian dilarikan di rumah sakit dan nyawanya masih tertolong.

Di sini terjadi vooltoide poging karena akibat mati yang disyaratkan oleh pasal pembunuhan tidak terpenuhi. Harap diingat bahwa pembunuhan adalah delik materiil yang menitikberatkan pada aki bat sehingga dalam konteks percobaan ada dua kemungkinan, apakah geshorste poging ataukah vooltoide poging.

Berbeda dengan kejahatan korupsi yang selalu dirumuskan dalam bentuk delik formil yang menitikberatkan pada perbuatan, maka seorang yang tertangkap tangan hanya ada dua kemungkinan. Sedang melakukan delik dan delik itu telah selesai (vooltoide delic) karena rumusannya dalam bentuk delik formil atau melakukan percobaan terhenti (geshorste poging).

Dalam konteks OTT, jika KPK melakukan OTT dan uang suap atau objek suap sudah berada di tangan tersangka, maka yang terjadi adalah delik selesai. Jika uang suap atau objek suap belum berada di tangan tersangka, maka yang terjadi adalah percobaan terhenti. Dengan demikian artikel saya di Kompas yang menghubungkan antara OTT KPK dan delik percobaan bukanlah suatu bentuk analogi sebagaimana yang dikatakan Prof Romli dalam artikelnya di harian ini. Tegasnya, Prof Romli keliru memahami artikel Saya. Lebih celaka lagi, Prof Romli dalam tulisannya menyatakan saya melakukan analogi antara tertangkap tangan dan percobaan. Padahal yang saya tuliskan adalah menghubungkan keadaan orang tertangkap tangan dengan delik percobaan.

Keempat, pernyataan Prof Romli bahwa hukum pidana di Indonesia mengharamkan analogi dengan merujuk Pasal 1 ayat (1) KUHP. Perlu dijelaskan bahwa Pasal 1 ayat (1) KUHP adalah tentang asas le galitas dan salah satu makna yang terkandung dalam asas legalitas adalah dilarangnya analogi. Akan tetapi, tidak ada satu pasal pun dalam KUHP melarang atau mengharamkan analogi. Kendati demikian, dalam perdebatan di antara para ahli hukum pidana Belanda terkemuka yang diadopsi oleh para ahli hukum pidana Indonesia masih terdapat perbedaan pendapat perihal analogi.

Pompe, Jonkers, Suringa, dan Vos tidak melarang dilakukan analogi. Bahkan, Pompe dan Jonkers dalam handbooknya secara tegas menyatakan bahwa dalam Memorie van Toelichting, penemuan hukum melalui analogi tidak memerkosa Pasal 1 ayat (1) KUHP (lihat lebih lanjut: Pompe, 1959 halaman 50-52; Jonk ers, 1946, halaman 42-43, Vos, 1950, halaman 46 dan Suringa, 1953 halaman 278).

Dalam perkembangan teori, analogi kemudian dibagi menjadi gesetze analogi dan rechtsanalogi. Gesetze analogi berarti analogi untuk menjelaskan undang-undang dan analogi ini dibolehkan dalam hukum pidana, sedangkan rechtsanalogi adalah analogi hukum yang tidak dibolehkan dalam hukum pidana. Dengan demikian pernyataan Prof Romli bahwa Pasal 1 ayat (1) KUHP mengharam kan analogi adalah keliru.

Kelima, pernyataan Prof Romli yang mengatakan OTT KPK adalah penjebakan dan tanpa kewenangan karena dilakukan pada saat penyelidikan. Perlu dipahami bahwa Pasal 12 Undang-Undang KPK secara eksplisit menyatakan, ”Dalam melaksanakan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang a) melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan....” Ketentuan tersebut secara expressive verbis membolehkan KPK menyadap dan merekam pembicaraan dalam penyelidikan. Artinya, penyadapan boleh untuk menentukan ada tidaknya tindak pidana sebagaimana definisi penyelidikan.

Dengan demikian OTT yang dilakukan KPK adalah mengonkretkan bukti yang telah diperoleh dari hasil penyadapan. Tegasnya, OTT KPK adalah legal dan bukan penjebakan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, menjebak artinya memikat musuh dan sebagainya supaya masuk dalam perangkap atau jebakan. Pertanyaan lebih lanjut dalam OTT KPK adakah tindakan KPK yang memikat calon tersangka korupsi dan sebagainya untuk masuk dalam jebakan KPK?

Ataukah KPK sengaja merekayasa suatu keadaan yang mengakibatkan calon tersangka korupsi masuk dalam perangkap tersebut? Apa yang dilakukan KPK adalah mengikuti aliran percakapan berdasarkan hasil sadapan dan pada saat calon tersangka sedang beraksi, KPK kemudian melakukan penangkapan. Jadi tidak ada sama sekali rekayasa atau tindakan KPK yang memikat suatu calon tersangka korupsi masuk ke dalam jebakan.

Prof Edward Omar Sharif Hiariej, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

---------------------------------------------

Artikel ini terbit di harian Sindo edisi 4 Oktober 2017 dengan judul "Legalitas OTT KPK"

Foto: Tempo.co

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan

 

Tags