Kuburan Masal Pemberantasan Korupsi

Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, institusi pengadilan, dalam hal ini pengadilan umum secara keseluruhan, ternyata memberikan kontribusi besar terhadap makin melemahnya upaya pemberantasan korupsi yang saat ini didorong pemerintah. Mahkamah Agung (MA) maupun pengadilan tinggi dan pengadilan negeri masih menjadi lembaga yang menguntungkan pelaku korupsi. Hal tersebut bisa dilihat pada perkara korupsi yang diperiksa dan diputus pengadilan selama Januari hingga Juli 2008.


Berdasar penelusuran Indonesia Corruption Watch (ICW) selama setengah perjalanan 2008, terdapat 94 perkara korupsi dengan 196 terdakwa yang diperiksa dan diputus (divonis) oleh pengadilan di seluruh Indonesia, mulai tingkat pertama hingga kasasi. Nilai kerugian negara dari perkara yang diperiksa dan diputus pengadilan diperkirakan mencapai Rp 1,196 triliun.

Di antara 196 terdakwa korupsi yang telah diperiksa dan diputus, 104 terdakwa (53 persen) divonis bebas/lepas oleh pengadilan. Hanya 92 terdakwa (47 persen) yang akhirnya divonis bersalah. Namun, dari 92 terdakwa korupsi yang akhirnya diputus bersalah tersebut, bisa dikatakan belum memberikan efek jera bagi para pelaku korupsi. Terdakwa yang divonis kurang dari satu tahun penjara sebanyak 36 orang (18,3 persen), lebih dari 1,1-2 tahun 40 terdakwa (20,4 persen), divonis 2,1-5 tahun 5 terdakwa (2,5 persen), serta divonis 5,1-10 tahun 4 terdakwa (2,04 persen).

Hal yang menarik, terdapat tujuh terdakwa kasus korupsi yang divonis percobaan (3,57 persen). Secara rata-rata, vonis penjara yang dijatuhkan pengadilan umum adalah 6,43 bulan penjara.

Dewan Terbanyak

Berdasar aktor atau pelaku korupsi, selama semester I 2008, para mantan atau anggota DPRD paling banyak menjadi terdakwa, yaitu 92 orang.

Berikutnya, masuk dalam kelompok tiga besar lainnya adalah pelaku korupsi dari sektor swasta yaitu 23 terdakwa, kepala/staf dinas 21 terdakwa, dan staf/mantan pimpinan kepala BUMN 16 orang. Mantan atau kepala daerah yang berstatus terdakwa relatif lebih sedikit, yaitu bupati (9 orang) dan staf pemkab (8 orang).

Terdapat beberapa hal yang perlu dicermati dari sejumlah perkara korupsi yang diperiksa dan diputus pengadilan umum selama 2008. Pertama, jumlah vonis bebas/lepas bagi terdakwa masih signifikan. Jumlah terdakwa yang divonis bebas/lepas pada semester I 2008 -berdasar pantauan ICW- yaitu 104 terdakwa kenyataannya menambah jumlah terdakwa dibebaskan atau dilepaskan oleh pengadilan. Dengan demikian, sejak 2004 hingga semester I 2008, sedikitnya ada 486 terdakwa korupsi yang divonis bebas/lepas oleh pengadilan umum.

Atas fenomena masih maraknya putusan bebas/lepas di pengadilan umum, dalam catatan dan kajian ICW, hal tersebut bisa terjadi akibat beberapa sebab. Di antaranya, terdakwa memang tidak terbukti bersalah serta dakwaan yang disusun jaksa lemah atau sengaja dilemahkan.

Juga, hakim mencari-cari pertimbangan yang menguntungkan bagi terdakwa atau karena kombinasi antara dakwaan yang lemah dan hakim yang mencari-cari pertimbangan menguntungkan. Tiga sebab terakhir paling dominan ditemui dalam sejumlah putusan hakim yang menjatuhkan vonis bebas bagi para pelaku.

Kondisi itu diperparah lemahnya pengawasan internal oleh MA terhadap para hakim di semua lingkungan pengadilan. Pada sisi lain, Komisi Yudisial (KY) sebagai pengawas eksternal sejauh ini tidak lagi diperhitungkan (dan cenderung diabaikan) oleh hakim-hakim pengadilan akibat dipangkasnya kewenangan KY dalam mengawasi hakim melalui putusan Mahkamah Konstitusi beberapa waktu lalu.

Kedua, terjadi tren banyak terdakwa yang divonis ringan sesuai batas minimal penjatuhan pidana yang ditentukan UU Korupsi. Berdasar pasal 3 UU No 31/1999 jo UU No 20/2001, pelaku korupsi yang terbukti bersalah dijatuhi pidana penjara paling sedikit satu tahun penjara dan paling banyak 20 tahun penjara.

Tercatat, di antara 92 terdakwa yang divonis bersalah, 36 terdakwa atau lebih dari sepertiganya hanya divonis setahun penjara. Dalam hal ini terlihat bahwa hakim cenderung menjatuhkan pidana pada batas minimal yang ditentukan. Jika UU tidak mengatur batas minimal setahun penjara (seperti yang diatur dalam RUU Tipikor versi pemerintah), tidak mustahil hakim banyak menjatuhkan vonis kurang dari satu tahun atau hanya beberapa bulan penjara.

Ketiga, fenomena hukuman percobaan dalam perkara korupsi. Pada semester I 2008 ditemukan adanya tujuh terdakwa perkara korupsi yang divonis hukuman percobaan. Terkesan ada upaya ''penyiasatan'' hukum oleh hakim pengadilan dalam menjatuhkan vonis. Umumnya mereka dijatuhi vonis setahun penjara dengan masa percobaan dua tahun.

Dengan kondisi tersebut, bisa dipastikan mereka tidak perlu menjalani hukuman, meski dinyatakan bersalah. Walaupun dinilai kontroversial, faktanya, MA selaku lembaga tertinggi di lingkungan pengadilan juga menguatkan vonis percobaan itu seperti dalam perkara korupsi dana APBD Semarang yang melibatkan mantan Ketua DPRD Mardijo.

Keempat, menempatkan diri sebagai institusi yang tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi. Hal yang menarik dicermati adalah perkara korupsi yang diperiksa dan diputus MA. Di antara 15 perkara yang terpantau, sembilan perkara atau lebih dari separonya divonis bebas (40 terdakwa), dua terdakwa divonis dengan masa percobaan, dan empat perkara (4 terdakwa) divonis sembilan bulan hingga 15 bulan penjara.

Dalam hal ini, putusan bebas atas 33 anggota DPRD Sumatera Barat di tingkat peninjauan kembali merupakan antiklimaks bagi agenda pemberantasan korupsi di Indonesia.

Hal tersebut sekaligus menunjukkan bahwa MA tidak bisa lagi diharapkan berperan aktif dalam memberantas korupsi, bahkan layak disebut ''kuburan masal'' bagi pemberantasan korupsi.

Emerson Yuntho, anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW) di Jakarta

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 25 Juli 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan