Kontroversi Kasus Dugaan Korupsi Abdullah Puteh; Hukum Versus Politik? [21/07/04]

Sepuluh hari berselang sejak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta Presiden memberhentikan sementara Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) Abdullah Puteh, akhirnya Senin (19/7) Presiden Megawati Soekarnoputri berbicara dan mengeluarkan keputusan.

Meski tetap tidak menjawab permintaan KPK untuk menonaktifkan Puteh, Presiden Megawati mengalihkan tugas dan wewenang Abdullah Puteh ke Wakil Gubernur NAD dan ke Penguasa Darurat Sipil Daerah (PDSD). Presiden Megawati tetap tak bergeming soal perintah penonaktifan Abdullah Puteh yang dikeluarkan oleh KPK.

Dalam penjelasan Sekretaris Negara/Sekretaris Kabinet Bambang Kesowo, instruksi presiden itu didasarkan dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah sehingga tidak dapat menonaktifkan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Abdullah Puteh.

Instruksi presiden itu hanya akan berisi pengambilalihan pelaksanaan tugas Abdullah Puteh sebagai Gubernur NAD dan PDSD. Pengambilalihan tugas itu ditetapkan sebagai jawaban terhadap permintaan KPK agar Puteh, tersangka kasus korupsi pembelian helikopter MI-2 buatan Rusia seharga 1,25 juta dollar AS, dinonaktifkan.

Jawaban Presiden Megawati ini tentu saja sungguh berbeda dengan jawaban yang diungkapkan Megawati saat melakukan debat calon presiden. Megawati menjawab pertanyaan Ikrar Nusa Bhakti, salah seorang panelis, yang mengatakan setuju Puteh dinonaktifkan jika KPK sudah menetapkannya sebagai tersangka dan kemudian ditunjuk pejabat lain.

Masalah penonaktifan seorang pejabat memang tak mudah, terlebih bila menyangkut posisi seorang gubernur. Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno berulangkali dalam wawancara kepada wartawan mengatakan bahwa pemberhentian seseorang dari jabatannya sebagai seorang gubernur harus mengacu pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Di dalam UU itu disebutkan bahwa pemberhentian seorang gubernur haruslah mendapat rekomendasi dari DPRD. Padahal hingga kini, DPRD Provinsi NAD sama sekali belum mengeluarkan rekomendasi soal penonaktifan Puteh.

Ada pula argumen lain. Beberapa kalangan hukum pun menyebutkan, dalam kasus Puteh ini telah terjadi benturan produk hukum sehingga mengakibatkan sedikit kebingungan apakah permintaan KPK untuk menonaktifkan Abdullah Puteh bisa dilaksanakan ataukah tidak.

Padahal jika mengacu pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 pasal 12 huruf e secara tegas-tegas disebutkan bahwa KPK memiliki kewenangan untuk...Memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya.

Undang-Undang yang memberi kewenangan kepada KPK itu, sayangnya sama sekali tidak disertai sanksi jika hal itu tidak dilaksanakan. Akibatnya, problem pun bermunculan, dan seperti sudah diduga banyak pihak sebelumnya Presiden selaku atasan Abdullah Puteh terlihat enggan melaksanakan perintah KPK yang sudah diamanatkan dalam UU Nomor 30 Tahun 2002 itu.

Taufiequrrahman Ruki, Ketua KPK, dalam sebuah jumpa pers seusai mengumumkan soal permintaan penonaktifan Abdullah Puteh tersebut 9 Juli lalu, mengatakan bahwa KPK hanya berwenang meminta. Kalau masalah permintaan kami dipenuhi presiden ataukah tidak, itu sudah domain politik, jelas Taufik.

Kuasa hukum Abdullah Puteh, Eggy Sudjana, mengatakan bahwa instruksi presiden tersebut sangat tergesa-gesa dan semakin memperlihatkan bahwa kasus Abdullah Puteh ini sudah dibawa ke aras politik, bukan lagi pada aras hukum.

Akan tetapi betulkah telah terjadi politisasi dalam kasus Abdullah Puteh? Dan pertanyaan kedua yang juga menarik untuk dijawab, betulkah telah terjadi benturan produk hukum dalam persoalan penonaktifan Abdullah Puteh?

Ketua Komisi II DPR Teras Narang bersama dengan Wakil Ketua Komisi II DPR Hamdan Zoelva dalam jumpa pers di KPK seusai pertemuan dengan pimpinan KPK 9 Juli lalu secara tegas membantah adanya benturan produk hukum jika KPK hendak menonaktifkan seorang pejabat yang ditetapkan menjadi tersangka.

Teras menjelaskan, mengacu pada Pasal 46 ayat 1 UU KPK disebutkan, Di dalam hal seseorang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, terhitung sejak tanggal penetapan tersebut prosedur khusus yang berlaku dalam rangka pemeriksaan tersangka yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain tidak berlaku berdasarkan UU ini.

Meski jawaban Komisi II DPR, komisi yang menggodok UU KPK, sudah jelas dan memiliki landasan yuridis, toh, polemik seputar penonaktifan Abdullah Puteh tetap ramai. Kasus ini menjadi semakin menarik karena sulitnya memisahkan persoalan hukum dan politik. Mendagri Hari Sabarno secara tegas mengatakan bahwa permintaan KPK soal penonaktifan Abdullah Puteh berada pada aras politik, bukan hukum.

Ketua Forum Pemantau KPK Romli Atmasasmita membantah argumen Mendagri tersebut. Ia mengatakan bahwa surat yang dilayangkan KPK kepada Presiden untuk memberhentikan sementara Puteh masih termasuk kewenangan KPK.

Dilihat dari jiwa dan semangat UU KPK itu, seharusnya pejabat atau penyelenggara negara atau kuasa hukum yang bersangkutan menyadari bahwa perintah penonaktifan Puteh bukan berada pada domain politik. Itu jelas-jelas domain hukum, jadi jelas sekali kalau KPK itu melaksanakan UU KPK, tegas Romli.

KASUS Abdullah Puteh menjadi semakin menarik dicermati, tak cuma karena tipisnya benang pemisah antara hukum dan politik, melainkan juga karena persoalan ini tak hanya menjadi persoalan hukum pidana an sich. Para pakar hukum tata negara dan aktivis LSM pun ikut berkomentar.

Satya Arinanto, ahli hukum tatanegara UI dan Saldi Isra ahli hukum tatanegara dari Universitas Andalas Padang dalam berita Kompas 14 Juli mengatakan bahwa jika Presiden tidak mematuhi perintah KPK, presiden bukan saja melanggar UU KPK tetapi juga menunjukkan rendahnya komitmen elite terhadap pemberantasan korupsi.

Ketua Dewan Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Munarman lebih keras lagi mengatakan bahwa jika perintah KPK tidak dilaksanakan maka Presiden Megawati dapat dikategorikan melanggar konstitusi.

Kasus Abdullah Puteh adalah kasus pertama dalam kinerja KPK sejak dibentuk Desember tahun lalu sekaligus merupakan uji coba atas kesungguhan dan keberanian KPK yang diberi kewenangan besar, melebihi kejaksaan dan kepolisian dalam pemberantasan korupsi.

Dalam kasus pertamanya ini, KPK telah berani menetapkan Puteh sebagai tersangka. Langkah ini jauh lebih pesat bila dibandingkan Mabes Polri yang menangani kasus dugaan korupsi pengadaan listrik di Provinsi NAD yang juga melibatkan Abdullah Puteh. Untuk kasus yang ditangani Polri ini, polisi masih menjadikan Puteh sebagai saksi, meski perkara ini telah ditangani Polri jauh-jauh hari sebelum KPK menangani kasus dugaan korupsi pembelian helikopter MI-2 buatan Rostov Rusia.

KASUS Puteh pun semakin menarik ketika Abdullah Puteh mengajukan permohonan praperadilan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. Di dalam permohonan praperadilan tersebut disebutkan penyidikan KPK tidak sah karena pengadilan tindak pidana korupsi belum terbentuk. Permohonan praperadilan itu mendasarkan pada sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system).

Dengan argumen demikian, penyidikan yang dilakukan oleh KPK baru dapat dikategorikan sebagai sah apabila pengadilan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 53 dan pasal 54 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah dibentuk. Apabila tindakan KPK yang menjadikan Abdullah Puteh selaku tersangka tanpa terlebih dulu dibentuk Pengadilan Tipikor dibenarkan, maka status hukum Puteh menjadi tidak pasti.

Menurut Bambang Widjodjanto, praktisi hukum dalam sebuah diskusi yang digelar Ikadin Jakarta, permohonan praperadilan yang diajukan Abdullah Puteh menunjukkan inkonsistensi sikap pemohon.

Kalau berlandaskan pada integrated criminal justice system karena belum terbentuknya pengadilan tindak pidana korupsi, permohonan praperadilan ini menunjukkan inkonsistensi sikap pemohon. Lho, menggugat kinerja KPK, kok malah mengajukan praperadilan ke pengadilan negeri. Ini artinya tidak konsisten, jelas Bambang yang menjadi salah satu pembicara bersama kuasa hukum Abdullah Puteh, Eggy Sudjana.

Argumen praperadilan Abdullah Puteh yang menyebutkan bahwa KPK dianggap terlalu cepat, ujar Bambang, juga merupakan argumen yang tidak berdasar. Sebab jika didasarkan pada asas kepastian hukum, dalam kasus tindak pidana korupsi, seorang penyidik tidak boleh menyembunyikan jika ditemukan dugaan tindakan pidana korupsi.

Langkah KPK untuk menyegerakan penyidikan dan meningkatkan status menjadi tersangka, justru merupakan tugasnya dan langkah yang tepat, kata Bambang.

Bambang menilai permohonman praperadilan yang diajukan pemohon menabrak rambu-rambu karena permohonan praperadilan hanya bisa dilakukan jika menyangkut soal penahanan dan proses peradilan. Sedangkan saat ini KPK masih pada tahap penyidikan, belum berkaitan pada proses peradilan. Saya menilai KPK tidak mungkin ceroboh sampai meningkatkan status menjadi penyidikan. Karena KPK tidak diperbolehkan melakukan SP3, jadi untuk meningkatkan menjadi penyidikan harus ditemukan bukti-bukti yang kuat. Dan saya yakin, KPK sudah menemukan itu, tegas Bambang.

ARGUMEN menunggu rekomendasi DPRD untuk dapat menonaktifkan Gubernur NAD justru dianggap sebagai argumen yang tidak tepat.

Ketua Forum Pemantau KPK Romli Atmasasmita dalam tulisannya di harian ini (17/7) meminta agar polemik soal kewenangan KPK dihentikan dan diserahkan sepenuhnya kepada putusan pengadilan yang imparsial berkait dengan keabsahan penahanan tersangka.

Cara-cara lama dengan membuat polemik dalam soal pemberantasan korupsi justru semakin membingungkan masyarakat awam soal pemberantasan korupsi.

Romli mengatakan, masalah korupsi dan pemberantasannya adalah masalah hukum, bukan masalah politik. Oleh karena itu, pemberantasan korupsi tidak dapat dikembalikan kepada otoritas politik (DPR maupun DPRD).

Proses politik sudah seharusnya selesai saat Rancangan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disahkan menjadi UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001, dan RUU Pembentukan KPK menjadi UU Nomor 30 Tahun 2002.

Masalah korupsi oleh penyelenggara negara, bukanlah masalah hukum administrasi negara. Masalah korupsi merupakan tindak pidana khusus dan luar biasa sehingga memerlukan langkah pemberantasan luar biasa.

Praktisi hukum harus bisa membedakan dan menegaskan bahwa perkara korupsi termasuk rezim hukum pidana khusus, bukan hukum administrasi negara, jelas Romli.

Problem lain adalah belum terbentuknya pengadilan tindak pidana korupsi yang akan menjadi muara kasus-kasus korupsi yang ditangani KPK.

Panitia Seleksi Mahkamah Agung telah berhasil mencari para hakim-hakim antikorupsi yang akan mengadili perkara-perkara yang ditangani KPK ini.

Namun, hingga kini usulan nama-nama para hakim antikorupsi yang sudah diajukan MA ke Presiden belum juga berkabar. Presiden belum juga mengeluarkan Keppres soal pengangkatan para hakim antikorupsi ini.

Padahal, keberhasilan pemberantasan korupsi tidak hanya terbatas pada keberhasilan KPK meningkatkan kasuskorupsi ke tingkat penyidikan dan penuntutan, tetapi juga ditentukan kinerja hakim pengadilan khusus korupsi.

Pengadilan ad hoc korupsi diharapkan segera terbentuk. Jika tidak, pemeriksaan KPK terhadap Puteh akan menimbulkan problem baru. Pemeriksaan para penyidik itu akan tidak jelas muaranya.

Ataukah, memang pemberantasan korupsi di negeri ini selalu setengah hati? (Vincentia Hanni S)

Tulisan ini diambil dari Kompas, 21 juli 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan