Konspirasi Dibalik SP3 Kasus Illegal logging di Riau

Pernyataan Pers
Panggil Kapolda dan Jerat Pelaku Illegal dengan UU Korupsi

Dikeluarkannya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kasus illegal logging yang dilakukan oleh 13 perusahaan kayu di Riau oleh Kepolisian Daerah Riau merupakan preseden buruk di akhir tahun terhadap upaya penegakan hukum lingkungan hidup dan pemberantasan illegal logging yang dikampanyekan oleh pemerintah. Patut diduga kuat adanya konspirasi di balik keluarnya SP3 tersebut.

Sejak awal telah mencium adanya indikasi kuat aparat penegak hukum (kepolisian dan jaksa penuntut umum) yang hendak membebaskan 13 perusahaan dengan berdalih tidak adanya cukup bukti dan hanya berdasarkan keterangan saksi ahli dari pemerintah (Kementerian Lingkungan Hidup dan Departemen Kehutanan).

 
Kami memandang bahwa pihak penyidik telah mengabaikan dan tidak dijadikannya pertimbangan keterangan saksi ahli dari akademisi dari Institut Pertanian Bogor (IPB), yang menyatakan ada kerusakan lingkungan hidup dan kesalahan perijinan, yang menguatkan temuan-temuan WALHI sebelumnya.


Sementara itu, ada Keputusan Menteri Kehutanan No. 541/2002 dan Peraturan Pemerintah No. 34/2002 yang telah meniadakan kewenangan para gubernur dan bupati untuk mengeluarkan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman (IUPHHK-HT). Hasil analisis yang dilakukan WALHI Riau, terdapat 34 IUPHHK di Riau dengan luas total 378.299,50 hektar yang dikeluarkan setelah izin tersebut berlaku. Ini berarti telah terjadi pelanggaran peraturan.


Sedangkan bila dilihat dari kriteria lahan, seharusnya lahan yang diperbolehkan untuk Hutan Tanaman Industri (HTI) adalah lahan kosong, padang alang-alang maupun semak belukar bukan pada lahan hutan alam dengan potensi kayu dibawah 5 meter kubik setiap hektar. Namun kenyataannya, WALHI menemukan sebanyak 34 IUPHHK-HT tersebut diberikan di atas hutan alam. Ini menunjukan telah bahwa perizinan yang telah dikeluarkan bupati diduga melakukan tindakan melawan hukum administrasi. Kebijakan yang mengatur tentang kriteria lahan yang boleh untuk HTI terbunyi jelas dalam Peraturan Pemerintah No. 7/1990 Pasal 5 ayat 1-2, PP No. 34/2002 Pasal 30 ayat 3, Keputusan Menteri Kehutanan No 21/Kpts-II/2001, dan Keputusan Menteri Kehutanan No 10.1/Kpts-II/2000 Pasal 3 ayat 1-7.


Sebanyak 13 perusahaan itu merupakan penyuplai bahan baku PT Indah Kiat Pulp and Paper (IKPP), seperti: PT Arara Abadi, PT Bina Duta Laksana, PT Rimba Mandau Lestari, PT Ruas Utama Jaya. Sedangkan lainnya merupakan penyuplai bahan baku PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), seperti: PT Madukoro, PT Merbau Pelalawan Lestari, PT Nusa Prima Manunggal, PT Bukit Batubuh Sei Indah, PT Citra Sumber Sejahtera, dan PT Mitra Kembang Selaras.

 

Penegakan hukum lingkungan merupakan harapan terhadap perbaikan kondisi ekologis Indonesia yang semakin kerap mengalami bencana ekologis. Pemerintah harus tegas dalam upaya tersebut, dan bukan semata hanya di atas kertas dengan begitu banyaknya peraturan dan kerjasama yang dilakukan dengan negara lain dalam hal pemberantasan penebangan dan perdagangan kayu haram. Indonesia akan semakin cepat hilang dari peradaban bila tidak dilakukan upaya penyelamatan kawasan hutan dengan melakukan jeda penebangan hutan (moratorium logging).

 

Pemberian SP3 adalah bukti bahwa negara sedang memimpin percepatan perusakan hutan lewat kebijakan legal logging, Hutan Tanaman Industri dan penegakan hukum yang lemah. Negara juga telah menjadikan peradilan dan proses hukum sebagai rumah aman bagi para penjahat lingkungan. 

 

 

***


Alasan tidak ditemukannya Unsur Melawan Hukum dan keterangan "Saksi ahli" yang digunakan sebagai dasar SP3 dinilai mengada-ada dan tidak berdasar. Selain Kepolisian, Kejaksaan Tinggi Propinsi Riau pun terkesan ikut dalam "persekongkolan" menghentikan kasus yang diduga melibatkan dua perusahaan besar Pulp and Paper Indonesia tersebut. Setidaknya, telah 17 kali berkas penyidikan bolak-balik dari Polisi ke Kejaksaan.

 

Apakah hal ini terkait dengan kuatnya posisi PT. RAPP dan Indah Kiat Pulp & Paper (IKPP)? Sulit mengatakan, tidak ada intervensi dibalik penghentian penyidikan tersebut.

 

SP3 ini tentu saja merupakan bagian dari buruknya penegakan hukum pemberantasan illegal logging. Kasus yang awalnya mencuat dengan adanya penangkapan, penyitaan dan penetapan tersangka, di Kepolisian dan Kejaksaan seringkali berakhir dengan SP3, dan bahkan di Pengadilan banyak yang berujung dengan Vonis BEBAS. Kalaupun sebagian pelaku dihukum, biasanya hanya menjerat operator lapangan. Dengan kata lain, Pelaku Utama dan Mastermind hampir tak tersentuh.

 

Berdasarkan catatan dan analisis ICW terhadap putusan kasus Illegal Logging selama tahun 2005-2008, misalnya. Dari 205 terdakwa yang terpantau dan muncul ke permukaan, sekitar 66,83% diantaranya divonis bebas, atau 137 orang; Vonis dibawah 1 tahun dijatuhkan terhadap 44 orang (21,46); vonis 1-2 tahun terhadap 14 orang (6,83%), dan diatas 2 tahun sebanyak 10 orang (4,88%).

 

Hal itu akan terjawab ketika sejumlah tersangka dipilah berdasarkan kualifikasi level aktor. Ada dua poin yang dapat dibaca dari pengklasifikasian ini, yaitu:

1.      Dari 205 tersangka, yang dapat dikategorikan aktor kelas menengah keatas (middle upper level) hanya 49 orang (23,90%).

 

Klasifikasi Aktor Pemberantasan Illegal Logging tahun 2005-2008

Klasifikasi aktor

Jumlah

Persentase

Kelas Atas

49

23,90%

(Perwira Polisi, Jaksa, Pejabat Dishut, Kontraktor, Direktur, Cukong)

Kelas Bawah

156

76,10%

(Operator, Supir, Petani)

Total

205

100,00%

 Sumber: Dokumen ICW, 2008. Diolah dari: Putusan Pengadilan & Media Massa

 

Artinya, sebagian besar aktor yang berhasil dijerat dalam penegakan hukum pemberantasan illegal logging dari tahun 2005-2008 hanya menyentuh aktor yang berada di level menegah kebawah, tepatnya 76,10%. Ini yang disebut "DISORIENTASI PENEGAKAN HUKUM PEMBERANTASAN ILLEGAL LOGGING".

 

2.      Lebih dari itu, Putusan hakim untuk 49 tersangka yang merupakan aktor kelas menegah keatas pun dominan dikategorikan tidak berpihak pada pemberantasan illegal logging, yakni sekitar 85,71%, yang terdiri dari: Vonis Bebas 71,43% dan Vonis dibawah 1 tahun 14,29%.

 

Klasifikasi Aktor Kelas Atas Putusan Illegal Logging 2005-2008

Vonis

Tersangka

%

Bebas

35

71,43%

Di bawah 1 th

7

14,29%

1-2 th

2

4,08%

Di atas 2 th

5

10,20%

TOTAL

49

100,00%

Sumber: Dokumen ICW, 2008.

 

Di tingkatan Mahkamah Agung, hasil yang serupa tergambar dari kasus illegal logging yang ditangani. Sekitar 82,76% kasus yang ditangani MA ternyata hanya melibatkan petani, operator lapangan dan supir sebagai tersangka. Sedangkan Direktur Utama, Komisaris dan pemilik sawmill hanya sejumlah 17,24%.

 

Klasifikasi Aktor Putusan Illegal Logging di MA 2005-2008

Klasifikasi aktor

Jumlah

Persentase

Kelas atas

5

19,23%

(Perwira Polisi, Jaksa, Pejabat Dishut, Kontraktor, Direktur, Cukong)

Kelas bawah

21

80,77%

(Operator, Supir, Petani)

Total

26

100,00%

Sumber: Dokumen ICW, 2008. Diolah dari: Putusan Pengadilan & Media Massa

 

Buruknya Penegakan Hukum Pemberantasan Illegal Logging ini diduga disebabkan oleh Praktek Mafia Peradilan, baik di level Kepolisian, Kejaksaan ataupun Pengadilan, serta celah hukum UU Kehutanan. Sebagian besar kasus yang divonis bebas menggunakan UU Kehutanan, dengan alasan tindakan terdakwa tidak dapat dikategorikan illegal logging karena dilakukan berdasarkan izin. Hakim dan pengacara hampir selalu mendalilkan, penebangan yang melanggar izin hanya dapat dijerat Sanksi Administratif dan Denda, sekalipun itu merusak hutan.

 

Sehingga, alternatif memerangi illegal logging dengan UU Korupsi merupakan pilihan paling memungkinkan saat ini. Setidaknya telah ada tiga kasus besar yang dapat menjadi preseden dapat digunakannya UU 31/1999 Jo 20/2001 tentang Pemberantasan Korupsi di sektor Kehutanan, khususnya illegal logging. Mahkamah Agung menegaskan dan bahkan menguatkan dalil ini pada Kasus Adelin Lis, dengan menjatuhkan Vonis 10 tahun dan denda Rp. 2 Miliar. Dikatakan, meskipun Adelin memiliki Izin, akan tetapi tindakan melanggar izin tidak menghilangkan pertanggungjawaban PIDANA. Tindakan illegal logging yang dilakukan Adelin Lis diluar areal RKT dapat dikategorikan Korupsi. Karena selain merusak hutan, pohon yang ditebang secara melawan hukum sehingga memperkaya PT. KNDI memenuhi unsur "KERUGIAN NEGARA", MENGUNTUNGKAN DIRI SENDIRI ATAU ORANG LAIN, dan MELAWAN HUKUM.

 

Hal ini tentu saja dapat diterapkan untuk kasus illegal logging di Riau yang diduga melibatkan 14 "anak perusahaan" PT. RAPP dan PT. IKPP. Bahkan, Bupati sangat mungkin dijerat sebagai pihak yang mengeluarkan izin dan diduga menyalahgunakan kewenangannya.

 

Berdasarkan Uraian tersebut Kami mengecam SP3 yang dikeluarkan Polda Riau dan meminta

1.   Kapolri

Memeriksa Kepolisian Daerah Riau yang menangani kasus ini dan menjatuhkan sanksi.

2.   Jaksa Agung

Memeriksa Kejaksaan Tinggi Riau yang menangani kasus ini.

3.   Presiden RI

Untuk segera memanggil Kepala Kepolisian RI, Kejaksaan Agung, Menteri Lingkungan Hidup, dan Menteri Kehutanan untuk menjelaskan kasus ini

4.   Komisi Pemberantasan Korupsi

Untuk mengusut kasus Illegal Logging Riau sebagai Tindak Pidana Korupsi

 

-----------------

Jakarta, 26 Desember 2008

 

 

ICW I WALHI I TELAPAK I Institute Indonesia Hijau

Febri Diansyah (ICW) Hp 0819 7575 404
Teguh (WALHI)  Hp 0813 7189 4452
Unang (Telapak) Hp 081328841307

 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan