Komisi Yudisial Harus Periksa Hakim Pembebas Kasus Illegal Logging

Rabu, 26 November 2008 jam 11.30 ICW bersama ELSDA menyampaikan daftar 58 hakim yang membebaskan pelaku illegal logging dan hasil eksaminasi terhadap dua putusan illegal logging. Dalam pertemuan ini ICW dan ELSDA diterima oleh Buysro Muqodas (Ketua Komisi Yudisial) dan Sukotjo Soeparto (Anggota Komisi Yudisial). Komisi Yudisial menyatakan akan menindaklanjuti laporan ICW. "Dan KY akan merespons. Dan kemudian dengan data ini akan dipelajari lebih lanjut. “Jika ditemukan indikasi pelanggaran, maka tidak usah kami menunggu revisi UU KY," kata Busyro. Menurut Busyro, hakim-hakim tersebut akan dipanggil. Sanksi pun akan diberlakukan jika terbukti bersalah.

Emerson Yuntho
Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan
(0813 899 79 760)

KOMISI YUDISIAL HARUS PERIKSA HAKIM PEMBEBAS PELAKU ILLEGAL LOGING

Pembalakan liar atau yang lebih dikenal dengan illegal logging merupakan sebuah kejahatan luar biasa dan telah menjadi masalah klasik yang dihadapi bangsa Indonesia. Meskipun pemerintah telah menyatakan perang terhadap illegal logging, tapi faktanya hutan Indonesia dari tahun ke tahun makin berkurang. Menurut Food and Agriculture Organization (FAO), luas hutan di Indonesia dalam kurun waktu lima tahun dari 2000- 2005 berkurang 9,4 juta hektar. Berkurangnya luas hutan Indonesia tersebut dipengaruhi berbagai faktor, termasuk juga alih fungsi hutan yang diwarnai praktek korupsi dan juga adanya illegal logging. Sayangnya upaya pemberantasan illegal logging di Indonesia kenyataannya tidak didukung oleh proses penegakan hukum(law enforcement) yang maksimal.

Berdasarkan pemantauan Indonesia Corruption Watch (ICW), selama empat tahun terakhir (2005-2008) dari 205 orang pelaku illegal logging hanya yang telah diadili di pengadilan hanya 40 orang (19,51 %) yang tergolong pelaku utama seperti Direktur, Manajer, Komisari Utama, Pemilik Sawmill, Cukong, Penegak Hukum, Pejabat Dinas Kehutanan, Kontraktor, Warga Negara Asing. Dari jumlah tersebut sedikitnya 33 pelaku kakap divonis bebas. Selebihnya 165 orang ( 80,48 %)  adalah pelaku kelas teri seperti operator, supir truk, dan petani. 

Dari semua yang diproses sedikitnya terdapat 137 orang (66,8%) yang telah dibebaskan oleh sejumlah Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di Indonesia. Selebihnya , 44 orang (21,4 %) divonis dibawah 1 tahun penjara dan 14 orang (6,8 %) yang divonis antara 1 sampai 2 tahun penjara. Hanya sepuluh orang (4,8 %) yang divonis diatas 2 tahun penjara. Banyaknya perkara illegal logging yang dibebaskan pengadilan setidaknya menunjukkan bahwa upaya pemberantasan praktek illegal logging yang dilakukan oleh pemerintah kenyataannya tidak mendapatkan dukungan yang maksimal dari pihak yudikatif dalam hal ini pengadilan. Jika pemerintah dinilai giat dalam memberantas praktek illegal logging, pihak pengadilan justru giat dalam membebaskan pelaku illegal logging.

Tanpa adanya kesamaan pandangan dan semangat memerangi praktek illegal logging diantara aparat penegak hukum maka sebanyak apapun perkara yang diungkap pada akhirnya akan kandas di pengadilan. Banyaknya pelaku illegal logging yang dibebaskan oleh pengadilan secara tidak langsung menunjukkan bahwa pengadilan justru me- LEGAL-kan praktek illegal logging.

Independensi yang dimiliki oleh hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara seringkali disalahgunakan untuk kepentingan sesaat segelintir orang namun berakibat kerugian bagi ratusan, ribuan bahkan jutaan orang. Kondisi ini diperburuk dengan lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh internal pengadilan. Sejauh ini belum ada sanksi yang dijatuhkan MA terhadap hakim-hakim yang membebaskan para pelaku illegal logging. Alih-laih menjatuhkan hukuman, Mahkamah Agung justru mempromosikan hakim-hakim yang membebaskan pelaku illegal logging. Kondisi ini dapat dilihat dari hakim-hakim yang membebaskan terdakwa Adelin Lis.

Salah satu perkara terkait pembalakan liar yang menarik perhatian adalah perkara yang melibatkan Komisaris Polisi (Kompol) Marthen Renouw, Pejabat Sementara (Pjs) Kasat Tindak Pidana Tertentu (Tipiter) Polda Papua dan Kanit Sat Opsnal Dit Reskrim Polda Papua tahun 2006. Dalam posisinya, Marthen merupakan salah satu pejabat mempunyai kewenangan melakukan tindakan penegakkan hukum berupa penyelidikan maupun penyidikan terhadap pelaku tindak pidana kehutanan di wilayah hukum Polda Papua. Namun dalam perjalanannya Marthen Renouw menerima sejumlah uang sebesar 1,065 milyar sejak September 2002 sampai Desember 2003 yang diduga berasal dari kedua perusahaan yang sedang diproses secara hukum dalam Tindak Pidana Bidang Kehutanan oleh Dit Reskrim Polda Papua. Namun sayangnya ketika perkara tersbut bergulir ke Pengadilan Negeri Jayapura, Marthen dibebaskan dan tak terbukti menerima suap karena jaksa tak mampu menghadirkan saksi kunci: sang penyuap.

Perkara lain yang juga kontroversial adalah Putusan hakim Pengadilan Negeri Medan (5 November 2007) yang membebaskan Adelin Lis dari dakwaan pembalakan liar. Majelis hakim yang membebaskan Adelin menyatakan terdakwa tidak terbukti bersalah melakukan korupsi dan pembalakan liar di Kabupaten Mandailing Natal Sumatera Utara . Bos PT Keang Nam Development ini dinilai hanya melanggar administrasi. Karena itu terdakwa dibebaskan dari tuntutan jaksa, yakni penjara 10 tahun dan denda Rp 1 miliar. Adelin juga bebas dari keharusan mengganti dana pengelolaan sumber daya alam Rp 119,8 miliar serta dana reboisasi US$ 2,9 juta--ditanggung renteng dengan terdakwa lainnya.

Terkait putusan bebas tersebut, Komisi Yudisial menemukan adanya pelanggaran code of conduct oleh hakim yang menangani perkara cukong kayu PT. KNDI tersebut. Hal itu bisa terlihat dari tidak dilakukannya pemeriksaan lokasi dan dikesampingkannya keterangan beberapa saksi dan pendapat ahli tanpa alasan yang jelas. Meskipun demikian, Mahkamah Agung justru menilai sebaliknya, tidak ada pelanggaran ataupun praktek judicial corruption yang dilakukan hakim perkara Adelin tersebut. Akan tetapi MA tidak pernah mengumumkan dan menjelaskan pada publik tentang hasil pengujian (eksaminasi) tertutup yang dilakukannya. Ketidak terbukaan MA ini tentunya menyiratkan pertanyaan mendalam perihal benar atau tidaknya, serius atau tidaknya dan bahkan menyiratkan kecurigaan tentang upaya perlindungan korps di tubuh institusi peradilan.

Dalam kedua perkara terkait illegal logging (Marthen Renou dan Adelin Lis ), hasil eksaminasi publik yang dilakukan oleh Jaringan Anti Illegal logging, Pencucian Uang dan Korupsi (JAIL PK) dengan melibatkan sejumlah expert menunjukkan bahwa penanganan perkara ini sejak penyidikan, penuntutan hingga putusan pengadilan mengandung masalah. Seluruh penegak hukum yang terlibat dalam perkara tersebut, khususnya majelis hakim kurang profesional dan terkesan justru berperan menjadi pengacara terdakwa dengan mencari-cari pertimbangan yang menguntungkan sehingga pelaku menjadi bebas.

Untuk menghindari perkara-perkara serupa (dibebaskannya pelaku illegal logging level menengah keatas) dimasa datang, maka kami meminta Komisi Yudisial untuk memonitoring setiap proses persidangan perkara illegal logging dan sebagai langkah shock therapy melakukan pemeriksaan terhadap hakim- hakim-hakim yang membebaskan pelaku illegal logging. Hasil pemeriksaan dan rekomendasi sanksi selanjutnya disampaikan kepada Mahkamah Agung sebagai untuk kepentingan penjatuhan sanksi maupun pertimbangan promosi dan mutasi hakim.  Sebagai bahan awal ICW bersama dengan Koalisi JAIL PK menyerahkan daftar 58 hakim yang telah membebaskan pelaku illegal logging di pengadilan.

Jakarta, 26 November 2008

Jaringan Anti Illegal logging, Pencucian Uang dan Korupsi (JAIL PK)
(ICW, TELAPAK, ICEL, WALHI, IHSA, PROTEUS, IWGFF, HUMA, FWI, ELSDA, ELSAM, WWF INDONESIA).

Silahkan unduh di sini daftar hakim pembebas kasus illegal logging

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan