Komisi Pemberantasan Korupsi Mengurai Benang Kusut Korupsi

Pengantar: Sepak terjang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendapatkan perhatian khusus di negeri ini. Khusus, karena pada lembaga ini tertumpu banyak harapan. Harapan untuk menumpas korupsi. Sebab, korupsi di Tanah Air diyakini sudah berurat dan berakar. Dari hulu hingga hilir. Indonesia pun masih masuk daftar 10 negara terkorup di dunia. Memang kiprah KPK yang merupakan metamorfosa dari lembaga-lembaga sejenis menuai optimisme. Namun optimisme saja tidak cukup. Masih banyak yang harus dibenahi lembaga yang baru berdiri pada 2003 itu. Utamanya sumber daya manusia. Bagaimana menutup 'bolong-bolong' di KPK?

HARAPAN masyarakat yang besar terasa mengimpit Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Korupsi seperti hantu yang betah mendekam di negara ini selama bertahun-tahun. Benang kusut itu harus diurai sejak awal, kata Ketua KPK Taufiequrrahman Ruki.

Itulah mengapa beragam lembaga pemberantasan korupsi dibentuk. Setiap pemerintahan berganti, setiap itu pula lembaga dengan nama yang berbeda muncul. Pada 2 Desember 1967, ada Tim Pemberantasan Korupsi; 15 Agustus 1970, Komite Antikorupsi; September 1977, Operasi Penertiban; pada 1982, Tim Pemberantas Korupsi; era Presiden Abdurrahman Wahid, Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK); selanjutnya Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN), dan terakhir KPK.

Tapi, nasib kurang berpihak kepada lembaga-lembaga itu. Yang paling terkulai adalah TGPTPK. Ia ambruk setelah ada judicial review PP Nomor 19/2000 tentang pembentukan TGPTPK. KPK pun menanggung beban sejarah pemberangusan lembaga sejenis di masa lalu.

Ancaman dicibir karena bakal seompong lembaga terdahulu menghantui KPK. Namun setidaknya, KPK dilengkapi perangkat yuridis dan kewenangan yang sekuat baja. Dasar hukumnya UU Nomor 30/2002. 'Barang' yang dulu haram kini halal sebagai kewenangan yang melekat di lembaga Veteran III, Jakarta Pusat itu.

Misalnya, Pasal 12 UU Nomor 30/2002 menghalalkan KPK melakukan penyadapan, merekam pembicaraan, melarang seseorang ke luar negeri, memerintahkan bank atau lembaga keuangan lain untuk memblokir rekening, meminta data kekayaan dan data perpajakan, serta menghentikan transaksi keuangan. KPK juga berwenang melakukan supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan korupsi, seperti kejaksaan dan kepolisian.

Kendati demikian, sejatinya, KPK bukanlah mesin tangkap semata. Tugasnya bukan hanya mengerangkeng koruptor. Lebih dari itu, KPK berfungsi sebagai trigger mechanism. Sesuai misinya yang mentereng, penggerak perubahan untuk mewujudkan bangsa yang antikorupsi.

Sejumlah penyelenggara negara memang sudah berurusan dengan taring KPK. Tali laso pertama menjerat perkara pembelian tanah oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Laut di Tual, Maluku Tenggara. Terdakwanya, Muhammad Harun Let Let dan Tarsisius Walla.

Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Abdullah Puteh juga bernasib pilu. Ia terkurung karena kasus korupsi pembelian helikopter MI-2 Rostov buatan Rusia pada kurun 2001-2002.

Yang menyita perhatian juga, ketika KPK mengobrak-abrik permainan kotor di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Awalnya, anggota KPU Mulyana W Kusumah kedapatan menyuap auditor BPK Khairiansyah Salman pada 8 April silam. Lantas terungkap, ada dana rekanan sebesar Rp20 miliar yang dikemplang. Alhasil, sejumlah nama besar seperti, Ketua KPU Nazaruddin Sjamsuddin, anggota KPU Rusadi Kantaprawira, Kepala Biro Keuangan KPU Hamdani Amien, mantan Sekjen KPU Safder Yussac, mantan Wasekjen KPU Sussongko Suhardjo, jadi pesakitan.

Di sela-sela itu, KPK pun melabrak kasus suap pengacara Puteh, Tengku Syaifuddin Popon yang melibatkan panitera Pengadilan Tinggi DKI Jakarta M Soleh dan Ramadhan Rizal. Lantas, kasus korupsi di Radio Republik Indonesia (RRI) yang menjerat Direktur Keuangan RRI Suratno. Ada pula kasus pelepasan aset milik PT Industri Sandang Nusantara yang membuat direktur utamanya, Kuntjoro Hendartono, berurusan dengan penjara.

Dan yang teranyar, kasus suap di MA--atas laporan Probosutedjo--yang melibatkan lima pegawai MA, Sudi Ahmad, Pono Waluyo, Suhartoyo, Sriyadi, dan Malempagi Sinuhadji, serta pengacara Probo, Harini R Wijoso.

Itulah yang meruyak ke muka. Padahal, di kantung penyelidikan KPK mengendus kasus lain. Seperti, dugaan korupsi pengadaan bis proyek Busway koridor I (blok M-Kota) oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, penyuapan terhadap pejabat RI oleh Monsanto Co., penjualan dua unit kapal tanker ekstra besar (VLCC) oleh PT Pertamina, pengadaan kotak suara, sampul surat suara, teknologi informasi KPU, pelepasan kawasan hutan di Kalimantan Timur, dan korupsi di PT Pertamina Tongkang.

Pada 26 September silam, melaporlah KPK ke Komisi III DPR. Mereka meminta tambahan anggaran pada 2006 sebesar Rp30 miliar atau naik 17,65% dari sebelumnya, Rp170 miliar. Pun dikemukakan, KPK telah merampas uang negara dari para koruptor sebesar Rp207,742 miliar (belum ditambah sitaan kasus suap Probo US$400 ribu dan Rp800 juta).

Setelah gemuruh di atas, sudah berhasilkah KPK mengemban amanat?

Ruki malu-malu menjawab pertanyaan itu. Sulit bagi saya menilai diri sendiri. Saya persilakan masyarakat secara objektif menilai. Faktanya, KPK mulai mengungkap korupsi di kalangan eksekutif dan lembaga negara, paparnya.

Sebagai bandingan, di negara lain, lembaga macam KPK juga ganas bertindak membunuh koruptor. Di China, misalnya, Perdana Menteri Zhu Rongji, pada pelantikannya Maret 1998, bersabda, untuk melenyapkan korupsi disiapkan 100 peti mati. Sembilan puluh sembilan untuk para koruptor, satu untuk saya, kalau saya korupsi, imbuhnya. Hasilnya, pejabat China takut korupsi. Wakil Gubernur Provinsi Jiangxi, Hu Chang-Ging, dihukum mati pada 2000 karena menerima suap US$600 ribu.

Di Indonesia, memang belum ada pejabat yang dihukum mati karena korupsi. Bangsa ini masih tertatih-tatih berperang melawan korupsi. Sejumlah keluhan Ruki yang sempat dicatat Media seperti adanya corruption fight back (perlawanan balik dari koruptor). Belakangan soal sumber daya manusia di KPK, sebab hanya ada 47 orang penyidik dari kepolisian dan jaksa di KPK sedangkan laporan korupsi yang masuk lebih dari 8.000 surat. Minimnya jumlah personel membuat seorang penyidik KPK bisa menyambi lebih dari dua kasus dalam waktu bersamaan.

Ruki juga sempat pening melihat data Corruption Perception Index (CPI) 2005 yang dilansir Transparency International. Indonesia menduduki peringkat 137 dari 159 negara yang disurvei. Artinya apa? Indonesia masih dikategorikan sebagai negara yang dipersepsikan memiliki tingkat korupsi tinggi.

Yang dikeluhkan Ruki ialah soal klasik di berbagai negara. Di Thailand, misalnya, National Counter Corruption Commision (NCCC) yang dibentuk 25 April 1999 menghadapi soal itu. Seperti ditulis Teten Masduki, NCCC menghadapi soal anggaran, perlawanan dari kekuatan lama, dan kekurangan staf. Pada 2004, NCCC memiliki 400 orang staf (bandingkan dengan Independent Commisions Against Corruption di Hong Kong yang punya 1.000 orang staf dengan luas wilayah dan jumlah penduduk yang relatif kecil).

Namun perlu ditegaskan, fungsi KPK bukan hanya di ranah penindakan. Ada kewajiban pencegahan juga, misalnya. Di tengah riuh rendah penangkapan sejumlah pejabat, Ruki mengakui saat ini tahap pembangunan organisasi (capacity building) di KPK baru mencapai 40%. Tahap itu meliputi peningkatan kualitas dan kuantitas SDM, kepastian renumerasi, pengadaan sarana dan prasarana. Jika meningkat sampai 70% saja, saya yakin kinerja KPK akan meningkat pesat, ujarnya.

Kini KPK juga sedang menyiapkan usulan amandemen UU KPK terkait permintaan agar pemeriksaan pejabat yang korup tak perlu lagi izin Presiden, kemudahan izin pemeriksaan perbankan, dan diperbolehkannya KPK merekrut penyidik dari luar kepolisian dan kejaksaan. (Tim/P-2)
---------
Harapan di Tengah Ancaman Korupsi
KOMISI Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK) atau yang lazim disebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan lembaga penegak hukum independen yang mendapat tugas khusus memberantas korupsi di Indonesia.

Pembentukan lembaga ini merupakan kristalisasi semangat antikorupsi yang dikobarkan masyarakat dan mahasiswa pada awal reformasi 1998.

Kebencian terhadap korupsi ketika itu begitu membara, tetapi sulit menemukan cara dan formula jitu untuk memberangusnya secara cepat dan efektif.

Sulit, karena lembaga penegak hukum yang seyogianya bertugas memberantas korupsi, mengalami distrust karena dianggap sudah menjadi bagian dari korupsi.

Korupsi jelas merupakan kejahatan yang terbukti telah menyengsarakan rakyat. Tetapi, pemberantasannya tentu tidak bisa dilakukan dengan cara-cara anarkistis dan liar. Kejahatan tidak bisa diberantas dengan kejahatan dalam bentuk lain.

Setelah melewati perdebatan panjang, tiga tahun kemudian, tepatnya 29 November 2002, DPR menyetujui pembentukan Undang-Undang (UU) tentang KPK. UU itu memberikan kewenangan istimewa dan absolut kepada KPK untuk melakukan tiga fungsi penegakan hukum sekaligus. Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.

Selain itu, masih banyak tugas-tugas penting lain yang disandang lembaga tersebut, antara lain melakukan pencegahan, supervisi, dan mengambil alih (take over) kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani kejaksaan dan kepolisian.

Bahkan, kasus-kasus yang ditangani KPK tidak diadili di pengadilan negeri, tetapi dibawa ke pengadilan khusus tindak pidana korupsi (tipikor). Semua itu dilakukan dalam spirit melawan praktik-praktik korupsi dengan cara penyelesaian secara cepat dan tepat sasaran.

KPK telah terbentuk, dan setidaknya sudah mulai melaksanakan tugasnya sebagai garda terdepan pemberantasan korupsi, lebih dari dua tahun.

Dua tahun merupakan waktu yang terlalu pendek untuk menakar apakah KPK gagal atau sukses memerangi korupsi yang sudah berlangsung sejak puluhan tahun silam.

Tetapi setidaknya kita dapat memberikan penilaian sementara tentang kinerja komisi yang dipimpin Taufiequrrahman Ruki itu.

KPK sukses menerapkan model baru pemberantasan korupsi dengan cara penjebakan dan penangkapan, seperti yang terjadi dalam kasus KPU, kasus Abdullah Puteh, dan kasus Probosutedjo.

Tetapi, pemberantasan korupsi tidak cukup hanya memberi kesan positif, yang lebih penting adalah memberikan keadilan, terutama keadilan sesuai harapan masyarakat.

Penanganan kasus KPU, misalnya, sadar atau tidak telah mengundang pertanyaan publik tentang independensi KPK. Karena, publik melihat tidak semua anggota KPU mendapat perlakuan hukum yang sama.

KPK tentu memiliki argumentasi hukum yang menjelaskan mengapa semua itu terjadi. Tetapi, argumentasi itu belum tentu bisa diterima dan dicerna masyarakat awam yang pola pikir dan pola pandangnya masih dibayangi pengalaman masa lalu tentang adanya diskriminasi hukum.

Kita tidak menuduh KPK telah melakukan diskriminasi, tetapi mengingatkan bahwa diskriminasi merupakan ancaman terbesar bagi upaya pemberantasan korupsi di Republik ini. Pengalaman menunjukkan bahwa hukum begitu ampuh menjerat orang kecil dan lemah, tetapi tidak berdaya menghadapi kaum borjuis.

KPK yang diharapkan menjadi buldoser penumpasan korupsi, diharapkan memiliki kepekaan akan ancaman ini. Bila lembaga itu terjebak pada pola-pola penegakan hukum cara lama yang sudah terbukti gagal, maka harapan untuk membersihkan negeri ini dari korupsi akan terus menjadi harapan. (Hillarius Gani/P-2)
-----------
Maju tapi belum Optimal
Romli Atmasasmita, mantan Ketua Tim RUU KPK

LANGKAH pemerintah untuk memberantas korupsi sejak lima puluh tahun yang lampau mulai menandakan titik terang, dengan gebrakan KPK menindak penyelenggara negara, mulai Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam hingga pimpinan KPU dan terakhir melalui tindakan drastis mengobrak-abrik ruang kerja Ketua Mahkamah Agung.

Perubahan peringkat IPK Indonesia menjadi 2.2 dan negara terkorup keenam di dunia berdasarkan hasil survei Transparansi Internasional membuktikan hasil kerja keras KPK dalam memberantas korupsi yang telah memperoleh dukungan komitmen Presiden SBY.

Sepanjang tahun 2005 KPK telah mengayunkan langkah. Pada tahap penyelidikan tercatat 11 kasus; pada tahap penyidikan tercatat 7 kasus, dan pada tahap penuntutan tercatat 11 kasus.

Dalam kurun waktu menjelang dua tahun, KPK telah mencatat total 30 (tiga puluh) kasus, ditambah terakhir satu kasus suap di MA dalam tahap penyidikan.

Jika dibandingkan dengan laporan kemajuan semester I tahun 2004, tahap penyelidikan masih statis dengan jumlah kasus sebanyak 11 tahap penyidikan mengalami kenaikan 9 kasus, dan tahap penuntutan mengalami perkembangan signifikan sebesar 100%.

Namun, dalam laporan kemajuan tahun 2005 tidak ada penjelasan resmi KPK tentang perkembangan hasil penyelidikan atas kasus Texmaco yang telah dilaporkan dalam laporan kemajuan semester I tahun 2004 karena tidak lagi tercatat dalam laporan kemajuan tahun 2005 dan kasus penjualan aset kredit PT PPSU oleh BPPN.

Bahkan berdasarkan laporan kemajuan tahun 2005, masih ada satu kasus penyelidikan yang dicatat dalam laporan kemajuan semester I tahun 2004, yaitu tentang proyek pengadaan busway oleh Pemerintah Provinsi DKI yang belum dapat diselesaikan KPK tanpa ada penjelasan resmi di dalam laporan kemajuan tahun 2005.

Secara kuantitatif data kinerja KPK secara keseluruhan masih belum optimal sekalipun sudah menunjukkan kemajuan berarti di bidang penuntutan. Perkiraan KPK tentang uang negara yang dapat diselamatkan sebesar kurang lebih dua ratus miliar rupiah masih harus dibuktikan KPK dalam kurun waktu sampai dengan tahun 2006 yang akan datang. Ada kesan KPK masih lamban menangani kasus yang dilaporkan masyarakat.

Tercatat laporan masyarakat sampai dengan September 2005, telah terjadi kenaikan signifikan sebesar 180% (7.643 surat) dibandingkan dengan laporan masyarakat tahun 2004 hanya sebesar 421 surat.

Meski demikian, dari jumlah laporan tersebut, hampir seluruhnya dikembalikan kepada pelapor atau instansi lainnya yang berwenang seperti kepolisian, kejaksaan, BPKP, BPK, atau ke Itjen.

Dari data tersebut jelas bahwa kualitas pelaporan masyarakat masih sangat rendah sehingga tidak mudah untuk segera ditangani KPK. Hal ini kemungkinan karena tugas, wewenang, dan fungsi KPK belum tersosialisasi dengan baik kepada masyarakat luas.

Sampai saat ini kinerja KPK belum diiringi oleh kerja keras birokrasi dalam mencegah dan memberantas korupsi. Buktinya dari total 94.000 penyelenggara negara wajib lapor harta kekayaan, hanya 54,12% yang telah melaporkannya kepada KPK.

Dari sisi kepatuhan terhadap UU Pemberantasan Korupsi, ternyata dari jumlah penyelenggara negara wajib lapor tersebut, hanya 14 orang yang melaporkan penerimaan gratifikasi kepada KPK.

Data ini menunjukkan sangat rendahnya kesadaran dan tingkat kepatuhan penyelenggara negara tersebut, sehingga KPK harus mulai bekerja keras tahun 2006 dengan menerapkan prinsip reward and punishment secara tegas dan tanpa pilih bulu.

Peringkat IPK Indonesia yang sedikit membaik dalam tahun 2005, pada tahun 2006 sesungguhnya masih dapat ditingkatkan lagi jika seluruh pimpinan birokrasi menerapkan prinsip tersebut.

Pembentukan lembaga KPK sebagai lembaga yang memiliki wewenang lebih dari kepolisian dan kejaksaan dilandasi oleh pemahaman, bahwa penegakan hukum terhadap kasus korupsi di Indonesia memerlukan extra-ordinary measures karena korupsi sudah semakin canggih, sistematik, dan meluas di seluruh level birokrasi dan aparatur penegak hukum.

Langkah-langkah yang bersifat luar biasa perlu dimiliki KPK untuk mendorong dan mensupervisi kepolisian dan kejaksaan agar bekerja efektif dalam memberantas korupsi, dan diharapkan tidak ada lagi hambatan-hambatan prosedural dan psikologis ketika menghadapi tersangka penyelenggara negara.

Selain itu pemberian wewenang lebih kepada KPK dimaksudkan agar tidak akan ada lagi hambatan teknis hukum dalam kaitan pembuktian yang diperoleh dari rekaman atau data elektronik yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari modus operandi jaringan korupsi.

KPK sebagai lembaga independen memiliki posisi strategis yang tidak boleh diintervensi oleh siapa pun dan dengan demikian diharapkan KPK merupakan suatu lembaga yang mendorong kinerja atau trigger mechanism tanpa harus ada rasa ewuh pakewuh terhadap kepolisian dan kejaksaan, dan sekaligus berfungsi melaksanakan supervisi terhadap kedua institusi tersebut dalam pemberantasan korupsi.
--------------
Staf KPK, Gaji Kecil tapi Berwibawa

SEKITAR tujuh ribu surat pengaduan masyarakat tentang berbagai hal masuk ke gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tentu saja pengirimnya berharap agar laporannya itu segera bisa ditindaklanjuti.

Namun karena adanya sejumlah keterbatasan, dari ribuan pengaduan tersebut baru puluhan yang sempat diproses. ''Terhadap antusiasme masyarakat itu kami sampaikan terima kasih, tetapi di balik itu memang ada tugas berat,'' ujar Ketua KPK Taufiqurrahman Ruki kepada Media baru-baru ini.

Berat, mungkin begitu. Tapi sejauh ini para awak di KPK tetap riang gembira. Namun yang membuat beda dengan lembaga lain, KPK menerapkan sejumlah larangan yang demikian ketatnya.

Sekadar sebagai contoh, anggota KPK tidak hanya dilarang menerima parsel tetapi juga tidak diperkenankan menerima penghargaan dari lembaga mana pun, walaupun hanya selembar sertifikat.

Kami tidak boleh menerima award-award apa pun. Apalagi membicarakan mengenai profil diri dan prestasi, kata Ketua KPK.

Aturan itu juga mengikat para petinggi. Karena itu lima orang pimpinan KPK (Erri Riyana Hardjapamekas, Amien Sunaryadi, Tumpak Hatorangan Panggabean, Sirajuddin Rasul, dan Taufiqurrahman Ruki) bersepakat untuk tidak terlalu mengekspos diri apalagi menerima imbalan dari pihak luar.

Petinggi KPK memang harus memberi contoh, terutama untuk anak buahnya. Tetapi juga disadari bahwa iming-iming harta benda dan kekuasaan dari mereka yang punya persoalan, tidak hanya diarahkan kepada pimpinan, tetapi juga anak buah. Faktanya, sejumlah penyidik yang bermarkas di Jln Veteran, beberapa kali ditawari 'sejumlah upeti' bila sedang menyidik suatu kasus atau menangkap koruptor.

Memang ada saja yang mencoba-coba menawari, tapi biasanya, kalau saya bilang saya ini orang KPK, mereka mengurungkan niatnya,'' kata seorang penyidik Sulaiman.

Menurut mantan Kapolsek Kediri (Jatim) yang diperbantukan sebagai penyidik KPK,

umumnya mereka yang jadi penyidik di KPK memiliki komitmen antikorupsi yang jelas. Kita ini mau memberantas korupsi. Pada saat bergabung dengan KPK, otomatis kita saling 'melihat'. Sehingga kita akan malu sendiri kalau melakukan sesuatu yang menyimpang,'' ujar pria kelahiran Pare-Pare itu.

Beraneka aturan yang diterapkan KPK kepada para stafnya, diakui Sulaiman sebagai konsekuensi yang harus dijalaninya pada waktu ia ditempatkan di komisi 'super' tersebut. Namun, yang dirasa paling berat bagi bujang berusia 30 tahun itu adalah kewajiban untuk membatasi pergaulan demi menghindari fitnah.

Dulu ketika bertugas di kepolisian, saya bergaul dengan semua kalangan. Tapi, sekarang saya mesti membatasi diri. Tak semua teman saya bisa mengerti hal ini. Kalau mereka enggak paham, ya sudah, putus hubungan, kata Sulaiman. Acap kali, lanjut mahasiswa pascasarjana hukum bisnis itu, guna menghindari prasangka buruk, ia memilih untuk berjumpa dengan teman-temannya di kantor.

Ketatnya sistem dan peraturan yang ada, tak jarang merontokkan niat mereka yang ingin bergabung dengan KPK. Sekjen KPK Sugiri Syarief berucap, Ketika perekrutan, kita sudah buka semuanya. Hasilnya ya cuma bisa dapat segini ini. Yang lain mundur begitu tahu ketatnya aturan dan sistemnya seperti itu.

Senada dengan Sugiri, Ruki mengatakan, ''Dengan sistem kerja yang sekarang, saya bisa tahu misalnya si Jony menghabiskan berapa jam untuk menyelesaikan sebuah pekerjaan. Tinggal klik saja.

KPK memang bukan lembaga sembarangan. Untuk bisa melakukan perekrutan pegawai saja, mereka berusaha untuk membuat sebuah rancangan peraturan pemerintah yang menawarkan sebuah sistem baru manajemen pegawai bagi pegawai negeri di lingkungannya.

Sudah sejak Januari 2005 rancangan itu digulirkan ke pemerintah, tapi baru November ini ada pertanda bila usulan mereka bakal disetujui. Itu juga baru tanda-tanda, bisa saja tandanya hilang.

Kami tawarkan agar KPK bisa jadi pilot project. Kalau berhasil bisa diterapkan di bea cukai, pajak, dan departemen lain, ujar Ruki.

Konsep yang ditawarkan KPK memang tak sekadar kenaikan gaji pimpinan. Melainkan arah jelas reformasi birokrasi di Indonesia. Biar pegawai-pegawai yang bekerja pukul 08.00-14.00 bisa benar-benar efektif.

Staf KPK nonpenyidik sudah merasakan hasil dari sistem kerja sementara yang dibuat KPK, yaitu mekanisme kerja yang efisien serta sistem kontrol administrasi yang superketat.

Gaji pegawai KPK itu standar PNS, kemudian ditambah persekot yang disetujui menteri. Tapi apakah lebih besar dari PNS lain, saya tidak tahu. Karena PNS di tempat lain sering dapat tambahan dana dari proyek-proyek. Bisa saja yang dibawa pulang staf KPK sebenarnya lebih, sama atau kurang dari mereka PNS biasa, kata Sekjen KPK Sugiri Syarief.

Namun Sulaiman mengakui bahwa persekot yang diterimanya sebagai penyidik KPK, cukup untuk membiayai hidupnya sehari-hari. Apalagi ia tinggal sendiri. Namun, lelaki penggemar olahraga itu mengaku sangat gembira bila rencana kenaikan gaji bagi penyidik dapat terealisasi. Menurutnya, kenaikan gaji itu dapat membuat para penyidik tutup mata menghadapi 'godaan' yang kerap menerpa mereka.

Yang pasti berapa pun gaji mereka, KPK berusaha untuk melindungi identitas stafnya. Jangan sampai konsentrasi mereka buyar gara-gara ada ancaman untuk keluarganya, kata Syarief. (CR-56/*/P-1)
---------
'UU KPK Harus Diamendemen'

KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) mulai menunjukkan taringnya dengan membuka borok korupsi yang dilakukan oleh Gubernur Aceh Abdullah Puteh dan berkembang pada terbukanya jaringan koruptor di Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Seiring dengan meningkatnya kinerja KPK, lembaga ini mulai direpotkan dengan kekurangan tenaga kerja. Saat ini tenaga KPK untuk penindakan hanya 54 orang penyelidik, terdiri dari tujuh orang BPKP, 17 orang jaksa, dan 30 orang polisi.

Penyidik otomatis hanya 47 orang, gabungan dari jaksa dan polisi. Sedangkan penuntut umum hanya 17 orang jaksa yang ada. Walhasil, kalau satu tim terdiri dari tiga orang maka untuk menyelesaikan 36 kasus saja, setiap tim harus memegang dua sampai empat kasus sekaligus.

Padahal saat ini masih ada lebih dari 7.000 kasus yang menunggu penanganan oleh ujung tombak pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini. Berikut petikan wawancara Media dengan Ketua KPK Taufiqurrahman Ruki baru-baru ini terkait dengan persoalan tersebut.

Apa saja yang akan dilakukan untuk memicu kerja KPK?

Masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan untuk meningkatkan performa KPK, tetapi yang utama adalah KPK harus menuntaskan capacity building yang saat ini baru mencapai 40%. Capacity building itu meliputi berbagai hal, antara lain menambah jumlah SDM melalui mekanisme perekrutan yang profesional sehingga diperoleh SDM terbaik.

Secara khusus apa strategi KPK untuk memberantas korupsi?

Selain strategi pembangunan kelembagaan seperti yang telah saya kemukakan di atas, ada tiga strategi yang diyakini KPK akan mampu mengurangi terjadinya tindak pidana korupsi, yaitu:

1) Strategi penindakan. Strategi ini dikembangkan untuk menjawab harapan dan tuntutan yang dibebankan masyarakat kepada KPK saat ini, sehingga penanganan kasus-kasus besar yang menjadi perhatian masyarakat diharapkan dapat segera mendorong kinerja KPK secara umum dan secara khusus dapat mendorong efektivitas upaya pencegahan.

2) Strategi pencegahan. Strategi inilah yang kurang diperhatikan oleh lembaga-lembaga pemberantasan korupsi di masa lalu. KPK menyadari bahwa selain aspek penindakan yang tegas maka upaya-upaya pencegahan terjadinya TPK menjadi suatu keharusan.

3) Strategi penggalangan keikutsertaan masyarakat. Strategi ini diharapkan mampu membangun komunikasi yang intensif dalam rangka penyampaian berbagai informasi kepada masyarakat tentang upaya-upaya pemberantasan korupsi yang telah dilakukan serta membangun kerja sama dengan mekanisme yang memungkinkan masyarakat berperan serta dalam pemberantasan korupsi.

Apa bukti bahwa KPK telah independen?

Sulit bagi saya untuk menilai diri sendiri, sehingga saya persilakan kepada masyarakat secara objektif menilai kinerja KPK. Faktanya adalah KPK mulai mengungkap kasus-kasus korupsi di kalangan eksekutif maupun di lembaga-lembaga negara. Yang terpenting adalah KPK bekerja bukan berdasarkan pada target apa dan siapa, melainkan KPK bekerja berdasarkan bukti-bukti. Apabila bukti-bukti sudah cukup, KPK akan mengusut kasus tersebut tanpa melihat siapa yang terlibat.

Bagaimana pola koordinasi KPK dengan kepolisian dan kejaksaan?

Sejauh ini, KPK tidak mengalami kendala yang berarti dalam melakukan koordinasi dengan kepolisian ataupun kejaksaan.

Pada tingkat kebijakan, koordinasi pada tingkat kebijakan sudah berjalan, namun pada tingkat praktik di lapangan masih perlu berbagai penajaman. Hal tersebut disebabkan masih beragamnya pemahaman para penegak hukum dan institusi lainnya, seperti BPK, BPKP ataupun Irjen, mengenai pengertian tindak pidana korupsi dan seluk-beluknya.

Anda sudah merasakan ada tekanan?

Tekanan fisik dan politis tidak ada, yang ada adalah harapan masyarakat yang sangat besar, terasa mengimpit KPK. Dan KPK dengan segenap kekuatan yang dimiliki berusaha memenuhi harapan ini.

Bagaimana KPK menyediakan penyidik-penyidik yang andal?

Ini salah satu kendala yang dihadapi KPK. Undang-Undang No 30/2002 dapat ditafsirkan bahwa penyidik KPK hanya dapat berasal dari kepolisian dan kejaksaan, sehingga KPK masih bergantung pada instansi kepolisian dan kejaksaan. Kami sedang mengusulkan kepada pemerintah untuk mengamendemen undang-undang itu.

Bagaimana pengawasan atas para penyidik?

Terhadap penyidik-penyidik yang dimiliki KPK saat ini, KPK berupaya menerapkan sistem pengawasan yang melekat dan memberikan berbagai stimulasi untuk menjaga integritas mereka, seperti penggajian yang memadai dan pelatihan-pelatihan yang menambah skill mereka sehingga akan sangat bermanfaat bagi karier mereka di masa yang akan datang.

KPK tengah mengusulkan kepada pemerintah untuk melakukan amendemen UU No 30/2002 tentang KPK. Salah satu tujuannya agar khusus pemberantasan tindak pidana korupsi tidak diperlukan lagi izin Presiden atau Menteri Dalam Negeri untuk memeriksa pejabat yang korup. (P-1)
-------------
'Supervisi belum Jalan

KOMISI Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau biasa disebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini menjadi sorotan masyarakat, khususnya dalam membongkar sejumlah kasus korupsi berskala besar.

Meski demikian, apakah kinerja lembaga ini sudah dapat memenuhi harapan masyarakat? Apa saja yang harus dilakukan KPK di masa mendatang? Terkait dengan hal itu, wartawan Media Mirza Andreas mewawancarai Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Danang Widoyoko baru-baru ini di Jakarta. Berikut petikannya:

Bagaimana Anda melihat kinerja KPK?

Amanat yang dibebankan kepada KPK adalah mampu menjadi lembaga yang independen, karena tidak bertanggung jawab kepada presiden dan DPR.

KPK juga punya sejumlah kewenangan yang luar biasa, yang tidak dimiliki kejaksaan dan kepolisian, seperti tidak perlu izin untuk memeriksa pejabat negara dan dalam penanganan sebuah kasus harus tuntas.

Gagalnya lembaga serupa di masa lalu apakah karena tidak memiliki kewenangan super seperti KPK?

Lembaga-lembaga ad-hoc yang dulu ada tidak punya kewenangan yang memadai. Fungsinya hanya memberi masukan saja, tidak sampai pada kewenangan penindakan. Kalau mau mengandalkan lembaga yang ada seperti kejaksaan dan kepolisian, lembaga ini bergantung pada political will pemimpinnya.

Bagaimana ICW menilai kinerja KPK?

Sejak dimulainya penanganan kasus Puteh (mantan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam), mulai muncul harapan masyarakat bahwa korupsi bisa diberantas. Hasil survei LSM Transparancy Indonesia pun menunjukkan Indonesia telah berada di urutan keenam, setelah sebelumnya berada di urutan kelima, dalam perilaku korupsi. Di sini, sedikit-banyak ada kontribusi KPK.

Lalu apa evaluasi Anda terhadap KPK?

Di balik berbagai keberhasilan, tentunya ada juga kritisi terhadap KPK. Belum semua harapan dapat terpenuhi. Pertama untuk kasus KPU, kasus ini belum tuntas dan belum menyentuh mantan anggotanya yang telah menjadi Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin, serta anggota lainnya yang bertanggung jawab terhadap proyek pengadaan, terutama pengadaan teknologi informasi yang paling besar dananya.

Apakah ini artinya KPK pilih kasih?

Saya masih menghormati berjalannya proses hukum. Bisa jadi karena masih diproses akibat keterbatasan sumber daya. Kita lihat saja sampai akhir tahun ini. Kalau sampai akhir tahun belum ada perubahan, berarti ada masalah dengan KPK. Dia harus buktikan itu, bahwa KPK dapat, misalnya, mengajukan Hamid ke muka pengadilan. Kalau KPK mau berhasil di masa mendatang, di sini poinnya. Jika tidak bisa, kita pun tidak dapat berharap banyak kepada KPK.

Anda yakin ada anggota KPU yang terlibat dalam kasus korupsi tapi belum disentuh KPK?

Ya kalau ternyata keterangan para saksi di pengadilan terbukti benar, bahwa semua anggota KPU menerima uang dan proses pembagiannya berdasarkan kesepakatan bersama, artinya ini sebuah permufakatan untuk melakukan korupsi.

Kalau itu terbukti di pengadilan, semua anggota KPU tentunya harus tinggal di Salemba atau Cipinang. Jangan cuma dua anggota (Nazaruddin Sjamsuddin dan Mulyana Wira Kusumah) yang di sana. Karena mengembalikan uang itu tidak menghilangkan unsur pidana. Hal itu hanya meringankan saja. ICW juga sedang menunggu tuntasnya kasus ini. Karena jika KPK tidak dapat menuntaskan kasus KPU maka anggapan masyarakat yang menyatakan KPK melakukan pilih-kasih akan terbukti. Independensi KPK akan dipertanyakan.

Evaluasi lainnya?

Salah satu tugas KPK lainnya adalah mensupervisi kepolisian dan kejaksaan dalam pemberantasan korupsi. Ini yang belum dilakukan hingga saat ini. Yang ada adalah pembagian kaveling antara KPK dan kejaksaan, KPK pegang kasus ini dan kejaksaan pegang kasus lain. Kita tidak melihat adanya rencana serius KPK untuk membuat sinergi kerja, apalagi mengambil alih kasus yang macet di kejaksaan dan kepolisian. KPK itu kan lebih tinggi dari dua lembaga itu. Fungsi supervisinya belum berjalan.

Belum jalannya itu apakah karena sumber daya yang terbatas?

Sekarang sudah tidak bisa lagi. KPK tentunya tidak dapat menangani semua perkara. Karena itu harus mensupervisi lembaga lain. Itu yang belum kelihatan. Padahal kejaksaan dan kepolisian perlu shock therapy, misalnya dengan pengambilalihan sebuah kasus dari kejaksaan, agar lembaga itu mau memacu diri.

Apa KPK perlu menambah tenaga ahli?

Tidak mungkin. KPK memang didesain kecil sejak pembahasan UU-nya. KPK tidak mungkin membuka cabang karena tidak diharapkan menjadi kejaksaan jilid dua. KPK hanya perlu fokus pada kasus yang besar saja. KPK memang harus memilih-milih perkara. Ini juga yang belum dilihat dari KPK. Satu kasus belum selesai, sudah menangani kasus lain. P-1
-----------
Kata Mereka

Pengusutan masih Parsial

Antonius Sujata, Ketua Komisi Ombudsman Nasional

MEMANG jumlah kasus yang ditangani KPK belum banyak. Tapi, kasus-kasus korupsi yang ditanganinya, menurut saya penuh dengan kejutan dari segi kualitas.

Misalnya, kasus suap di KPU. Bila dilihat dari segi jumlah nominal, kerugian mungkin tidak banyak. Tapi, dari segi kualitas kasus, saya kira nilainya cukup bagus. Karena, pada umumnya kasus suap adalah kasus yang sulit untuk diungkap.

Apalagi harus mendapatkan pengakuan dari pihak pemberi suap, maupun penerima suap. Dalam kasus KPU, upaya KPK patut diacungi jempol. Selama ini, pemberi suap tidak mau mengungkapkan kasus seperti itu.

Contoh lain yang berkualitas, adalah kasus dugaan suap di MA. Padahal lembaga itu benteng terakhir peradilan kita. Hakim Agung ibarat malaikat hukum. Bahkan mengusut Ketua MA.

Soal sisi minus, tentu ada. Cara KPK menyelesaikan masalah, kerap tanggung. Ambil contoh, kasus KPU. Kasus itu berkaitan dengan dana taktis. Semua anggota KPU menerima. Tapi, tidak semua anggota KPU diciduk? Ini menimbulkan kesan pilih-pilih, atau dalam bahasa ombudsman, parsial. Padahal pengusutan KPK harus dilakukan secara imparsial, tidak memihak.

Untuk meningkatkan kinerja KPK, saya sarankan agar KPK tidak melakukan tebang pilih dalam memberantas korupsi, supaya kepercayaan masyarakat tetap terpelihara. (*/P-4)

Sebagai Superbody

Todung Mulya Lubis, Pengacara

KPK sesungguhnya memiliki kewenangan sebagai sebuah superbody. Karena semua hal bisa dilakukan. Kewenangan itu tidak dimiliki oleh institusi penegak hukum lain, baik kepolisian maupun kejaksaan. Misalnya, memblokir rekening, sensor e-mail, menyadap telepon, ataupun berkoordinasi dengan institusi penegak hukum lainnya.

Sebagai bentuk dukungan terhadap kinerja KPK, pemerintah seharusnya segera mengeluarkan beberapa peraturan perundangan yang sering menjadi hambatan kinerja KPK, seperti UU tentang Perlindungan Saksi, ataupun UU Kebebasan Memperoleh Informasi.

Meskipun, harus diakui, SDM yang dimiliki KPK masih sangat terbatas, seperti minimnya jumlah penyidik yang dimiliki. Masalah lain, adalah soal bujet KPK yang seharusnya ditambah.

Harus diakui, persoalan KPK bukan hanya persoalan regulasi. Tapi, masih sering terjadi perbedaan mind set (pola pikir) di antara anggota KPK. Meski, anggapan ini selalu dibantah. Di satu sisi, orang-orang KPK adalah mereka yang ingin bekerja cepat. Sedangkan di sisi lain cenderung bekerja dengan paradigma konvensional, dan terbelenggu dengan persoalan hukum acara.

Selain itu, harus diakui bahwa di mata publik muncul anggapan terjadi diskriminasi perlakuan KPK terhadap penanganan kasus korupsi. Memang, sejumlah kalangan menilai kasus yang ditangani bukanlah kasus korupsi besar. KPK, seharusnya berani dan tidak takluk terhadap tekanan ataupun intervensi pihak lainnya. (Hnr/P-4)

Memberikan Harapan Baru

Trimedya Panjaitan, anggota DPR

Performa pemberantasan korupsi yang diperlihatkan KPK selama ini cukup menggembirakan. KPK tidak hanya menunggu laporan atau pengaduan masyarakat, tetapi proaktif membongkar skandal-skandal korupsi seperti dalam kasus KPU, kasus pengacara Abdullah Puteh, dan kasus suap dalam perkara Probosutedjo.

Langkah penegakan hukum yang dilakukannya patut mendapat dukungan dan apresiasi publik. Namun, hasil akhirnya masih harus menunggu putusan pengadilan. Tetapi sebagai lembaga baru yang belum banyak pengalaman dalam menangani kasus korupsi, KPK telah memberikan harapan baru dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.

Namun, KPK perlu menjaga citra dan integritasnya sebagai lembaga penegak hukum independen. Antara lain, menjunjung tinggi asas kesamaan kedudukan di depan hukum dengan tidak bersikap diskriminatif terhadap sesama warga negara. Tidak ada istilah tebang pilih, karena hal itu akan mencederai kepercayaan publik.

Selain itu, dalam menjalankan tugas hendaknya tidak mengabaikan ketentuan hukum normatif. Sebab, penyelesaian hukum atas suatu kasus tidak hanya ditentukan oleh hasil akhir (vonis), tetapi juga oleh proses. Artinya, proses penegakan hukum jangan dilakukan dengan cara-cara yang melawan hukum. (Hil/P-2)
--------------
Sumber: Media Indonesia, 14 November 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan