Klarifikasi ICW Terkait CSR KPK ke LSM

ICW tidak pernah punya program khusus bersama dengan KPK, meskipun bisa jadi KPK memang punya program yang dikerjasamakan dengan kelompok masyarakat karena KPK memiliki direktorat pencegahan

Sehubungan dengan kembali beredarnya isu dana CSR KPK ke LSM, termasuk ke ICW, yang sebenarnya informasi itu didasarkan pada buku Romli Atmasasmita beberapa waktu lalu, maka dengan ini kami memberikan klarifikasi sebagai berikut:

Pertama, tuduhan Romli bahwa ICW, Pukat dan lain-lain terima dana hibah dari KPK dengan dasar hasil audit BPK sangat serampangan. Bisa jadi KPK memang punya program yang dikerjasamakan dengan kelompok masyarakat karena KPK memiliki direktorat pencegahan, yang didalamnya ada satu divisi khusus bernama pendidikan dan pelayanan masyarakat. Namun audit BPK itu tidak pernah menyebut lembaga masyarakat mana saja yang pernah bekerjasama dengan KPK. Tentu siapa saja bisa meminta informasi ke KPK dan BPK atas nama-nama lembaga masyarakat yang telah bekerjasama dengan KPK. Sementara ICW sendiri tidak pernah punya program khusus bersama dengan KPK. Sayangnya Romli dengan gegabah menyimpulkan jika itu ICW, Pukat dan lain sebagainya.

Kedua, tuduhan Romli yang lain adalah bahwa ICW menerima dana hibah dari KPK dan karenanya ICW sangat membabi buta mendukung KPK. Ini juga kesimpulan yang sangat menyesatkan. Mengapa? Karena data yang digunakan Romli untuk menyimpulkan hal ini adalah dokumen laporan keuangan hasil audit milik ICW sendiri yang telah dipublikasikan di www.antikorupsi.org. Dalam laporan keuangan tahun 2014, disebutkan ada penerimaan dana tak terikat dengan nama penerimaan “saweran KPK”. Ini yang dianggap Romli sebagai dana hibah dari KPK untuk ICW. Romli salah besar soal ini. Dana saweran KPK itu dikumpulkan justru untuk pembangunan gedung baru KPK. Sejarahnya, pada tahun 2012 KPK mengajukan usulan pembangunan gedung baru, tapi DPR kala itu menolak, maka lahirlah inisiatif dari masyarakat untuk patungan yang rekeningnya dibuka oleh ICW. Jadi yang masuk ke rekening itu adalah uang masyarakat yang menyumbang untuk pembangunan gedung baru KPK.

Mengapa tahun 2014 masih ada? Karena mekanisme hibah dari masyarakat kepada lembaga negara tidak ada aturannya. Konsultasi dengan Kementerian Keuangan telah beberapa kali dilakukan, tapi mereka sendiri tidak punya solusinya. KPK sendiri tidak mau melanggar aturan sehingga belum siap menerima dana itu. Terjadilah deadlock. Uang saweran masyarakat itu tetap berada di rekening yang dibuka ICW sampai kemudian tahun 2015 saya minta rekening itu ditutup dan total uangnya sebesar Rp 424.152.000,00 diserahkan kepada KPK (bukti penerimaan kami simpan) supaya ICW tidak terbebani dengan uang sebesar itu. 

Ketiga, tuduhan bahwa ICW tidak terbuka atas dana hibah dari pihak asing. Sumber bahan yang digunakan Romli adalah hasil audit keuangan yang dipublikasikan secara teratur oleh ICW melalui website (www.antikorupsi.org) dan laporan tahunan. Jika tidak terbuka, tidak mungkin Romli akan mendapat laporan keuangan ICW yang kemudian gagal dia baca/analisis secara benar.

Apabila Romli benar serius baca data atau memiliki kemampuan membaca data, hibah asing yang masuk ke Indonesia sebagian besar justru mengalir ke lembaga-lembaga negara. Berdasarkan data dari kementrian keuangan, sepanjang 2011 hingga pertengahan 2016, total dana hibah mencapai Rp. 41,58 triliun. Masing-masing Rp. 14,36 triliun hibah dari dalam negeri dan Rp. 27,22 triliun dari luar negeri (asing). Uang tersebut menyebar ke hampir semua lembaga negara, mulai dari Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) hingga Kejaksaan Agung. Sebagai contoh pada tahun 2014, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) mendapat hibah sebesar Rp. 470,8 milyar, kementrian kesehatan (kemenkes) Rp. 866,8 milyar, dan kementrian hukum dan HAM Rp.84 milyar. Romli pasti tidak akan berani menanyakan penggunaan dana hibah tersebut apalagi menuding lembaga-lembaga itu tidak nasionalis dan antek asing.

Keempat, tuduhan bahwa ICW tidak berani masuk ke sektor migas, sehingga yang diurus ICW adalah soal pemerintahan/birokrasi saja. Hal itu karena ICW telah menerima hibah dari RWI-Migas. Begitu klaimnya. Istilah RWI-Migas sekali lagi adalah istilah dalam laporan keuangan ICW yang telah diaudit dan telah dipublikasikan. Romli mengutip itu dan menyimpulkan bahwa ICW tidak berani masuk ke sektor migas karena telah menerima dana dari RWI-Migas. Mungkin dalam benak Romli, yang dimaksud RWI-Migas itu BP Migas ya.

Perlu saya luruskan bahwa RWI itu adalah kependekan dari Revenue Watch Institute. RWI adalah lembaga donor internasional yang memfokuskan pada advokasi keterbukaan kontrak sektor migas. Websitenya bisa ditengok di www.revenuewatch.org. Mandat dari program yang diterima oleh ICW sangat jelas, bagaimana supaya sektor migas, terutama kontrak-kotraknya di Indonesia lebih transparan. Inisiatif EITI yang menjadi tonggak dari berdirinya Publish What You Pay (PWYP) Indonesia salah satunya didukung oleh RWI. Jadi kalau Romli mengatakan ICW mendapatkan dana dari RWI-Migas dan karenanya tidak bersuara pada sektor migas adalah keliru besar. Salah kaprah. Selain ikut mendorong lahirnya PWYP sebagai organisasi yang mendorong agenda reformasi sektor migas, ICW juga telah banyak mengkritisi kebijakan migas di Indonesia. Jika Romli cukup berbesar hati untuk mengunjungi google dan ketik dua kata: ICW migas, maka akan banyak sekali informasi terkait dengan advokasi ICW di sektor itu. Belum lagi ketika bicara timah, tambang, dan sektor kehutanan. Link dibawah ini cuma contoh kecil saja ya.

Dari berbagai penjelasan tersebut, pendek kata, Romli melakukan banyak kesalahan fatal dalam kajiannya karena beberapa hal. Namun sayangnya, masih banyak yang percaya dengan informasi itu dan menggunakannya untuk menuduh serampangan.

Demikian klarifikasi dari kami.

Salam antikorupsi,

Adnan Topan Husodo

Koordinator ICW

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan