Kasus Puteh dan Pemberantasan Korupsi [19/07/04]

Kasus dugaan korupsi Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) Abdullah Puteh menjadi isu sentral dalam beberapa waktu terakhir. Begitu sentralnya, hanya kasus korupsi Puteh yang mampu menandingi hiruk-pikuk pemberitaan hasil putaran pertama pemilihan umum presiden dan wakil presiden. Banyak kalangan menilai, pada salah satu sisi, kasus Puteh akan menjadi batu ujian bagi KPK dalam menangani kasus korupsi. Sementara di sisi lain, kasus ini ajang pembuktian komitmen Presiden Megawati dalam memberantas korupsi.

Sebagai institusi yang diberi kewenangan super untuk memberantas praktik korupsi, saya setuju dengan pendapat bahwa kasus Puteh sebagai batu ujian bagi KPK. Dikatakan ujian, kasus Puteh akan menjadi starting-point untuk membuktikan apakah KPK dapat diharapkan sebagai institusi yang kredibel dalam mengungkap kasus korupsi. Pembuktian itu menjadi begitu penting karena salah satu pertimbangan elementer pembentukan KPK adalah belum berfungsinya secara efektif dan efisien lembaga pemerintah yang ada dalam menangani kasus korupsi. Selama ini, salah satu problem penegakan hukum dalam memberantas tindak pidana korupsi berada pada tahapan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Barangkali, alasan itu pula yang mendorong pembentukan UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menugaskan KPK melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Untuk tugas itu, KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang: (1) melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara; (2) mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau (3) menyangkut kerugian negara paling sedikit satu miliar rupiah.

Dalam kasus Puteh, KPK sangat berwenang untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Alasannya, kasus ini dilakukan oleh penyelenggara negara, mendapat perhatian luas dari masyarakat, dan potensi kerugian negara yang besar, lebih dari satu miliar. Untuk melaksanakan wewenang itu, sesuai dengan ketentuan Pasal 12 Ayat (1) UU No 30/2002, KPK memerintahkan kepada Presiden Megawati (sebagai pimpinan atau atasan tersangka) memberhentikan sementara Puteh dari jabatannya sebagai Gubernur NAD. Anehnya, jangankan untuk menindaklanjuti, presiden (baca: pemerintah) justru mempersoalkan perintah KPK untuk memberhentikan sementara Puteh sebagai Gubernur NAD. Padahal, perintah untuk memberhentikan sementara tersangka adalah amanat UU No 30/2002.

Semestinya, dalam rangka mendorong penegakan hukum kasus tindak pidana korupsi, setiap langkah yang dilakukan oleh KPK harus dihormati oleh pemerintah. Dengan adanya keengganan untuk menindaklanjuti perintah KPK, presiden dapat dikatakan membangkang terhadap perintah undang-undang. Sejauh ini, ada beberapa argumentasi yang dikemukakan oleh pemerintah untuk tidak menindaklanjuti perintah KPK memberhentikan sementara Puteh sebagai Gubernur NAD. Misalnya, dalam satu kesempatan, Presiden Megawati mengatakan bahwa tidak ada istilah status nonaktif bagi kepala daerah. Yang ada hanya diangkat atau diberhentikan (Media Indonesia, 13/07). Sekiranya diletakkan dalam kerangka UU No 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, argumentasi Megawati ada benarnya karena UU No 22/1999 tidak pernah menyebut pemberhentian sementara atau nonaktif bagi kepala daerah. Sayang, kasus korupsi Puteh tidak bisa diletakkan dalam kerangka UU No 22/1999.

***

Sementara itu, kalau ditarik sedikit ke belakang, menolak memberhentikan sementara Puteh adalah gambaran dari inkonsistensi sikap Megawati. Sikap itu sangat bertolak belakang dengan pernyataan yang disampaikan dalam debat terbuka calon presiden dan wakil presiden yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum pada 30 Juni lalu. Pada saat itu, menjawab pertanyaan salah seorang panelis, Presiden Megawati tanpa ragu-ragu menyatakan setuju untuk menonaktifkan Puteh untuk melapangkan proses hukum. Padahal, masyarakat masih ingat Pidato Kenegaraan Megawati di hadapan anggota DPR pada 16 Agustus 2001 yang menyatakan: korupsi, betapa pun kecilnya, merupakan pelanggaran terhadap amanah orang banyak, sekaligus merupakan pelanggaran terhadap sumpah jabatan. Kini dengan keengganan memberhentikan sementara Puteh, Megawati tidak punya komitmen untuk memberantas praktik korupsi.

Sebelum pernyataan Megawati, Departemen Dalam Negeri sudah mengembangkan wacana bahwa penonaktifan Puteh harus menunggu keputusan politik DPRD. Hal ini dikemukakan oleh Direktur Jenderal Otonomi Daerah Depdagri Oentarto Sindung Mawardi bahwa pemberhentian sementara dilakukan bila ada usulan dari DPRD dengan membuat keputusan politik mengusulkan kepada pemerintah pusat (Kompas, 14/07).

Di samping posisinya lebih di bawah undang-undang (berlaku prinsip lex superior derogat legi inferior), kehadiran UU No 30/2002 harus dilihat sebagai aturan khusus (berlaku prinsip lex specialis derogat legi generalis) dalam menangani kasus korupsi. Oleh karena itu, jangankan PP 108/2000, ketentuan yang terdapat dalam UU No 22/1999 saja dapat diabaikan untuk pemberhentian sementara kepala daerah. Pengabaian itu diperkuat dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 46 Ayat (1) UU No 30/2002 bahwa dalam hal seseorang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, terhitung sejak tanggal penetapan tersebut prosedur khusus yang berlaku dalam rangka pemeriksaan tersangka yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain, tidak berlaku berdasarkan UU No 30/2002. Dengan adanya aturan yang terdapat dalam Pasal 46, tidak ada lagi alasan untuk tidak memberhentikan sementara Puteh sebagai Gubernur NAD.

Mengapa penyelenggara negara (seperti kepala daerah) yang sedang menjalani proses hukum (terutama dalam kasus korupsi) harus diberhentikan sementara dari jabatannya? Jawabannya sederhana, kalau tidak diberhentikan sementara, penyelenggara negara yang bersangkutan sangat potensial untuk memengaruhi proses hukum yang dijalaninya. Saya percaya, kasus Puteh akan menjadi titik penting untuk menguji komitmen pemberantasan korupsi. Sayangnya, ketika KPK memasuki pada track yang benar, Megawati justru menunjukkan sikap yang berbeda. Oleh karena itu, kalau tidak ada perubahan sikap dalam waktu dekat, sebaiknya lupakan Megawati dalam pemungutan suara pada 20 September mendatang. Negeri ini memerlukan figur yang punya komitmen memberantas korupsi.(Saldi Isra, Dosen Hukum Tata Negara FH Universitas Andalas, Padang)

Tulisan ini diambil dari Media Indonesia, 19 Juli 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan