Kasus Korupsi BLBI Harus Tuntas

Setelah tidak terdengar kabarnya, kasus korupsi dana bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kembali mencuat pada awal 2006 ini. Setidaknya, ada tiga berita besar terkait dengan kasus korupsi yang diduga menimbulkan kerugian negara terbesar di negeri ini -versi BPK-, yakni Rp 84 triliun.

Pertama, tertangkapnya David Nusa Widjaya, terpidana kasus korupsi BLBI Bank Servitia Rp 1,29 Triliun. David yang divonis delapan tahun penjara oleh MA dan masuk dalam 13 buron yang menjadi target tim pemburu koruptor tersebut akhirnya tertangkap di AS (13/1) setelah berhasil melarikan diri lebih dari tiga tahun. Penangkapan tersebut sekaligus merupakan keberhasilan pertama tim yang dipimpin Basrief Arief, wakil jaksa agung, itu setelah lebih dari setahun dibentuk.

Kedua, penetapan Syafruddin A. Temenggung, mantan kepala BPPN, sebagai tersangka korupsi. Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta (2/2) menetapkan Syafruddin sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi penjualan Pabrik Gula Rajawali III di Gorontalo.

Hasil pemeriksaan kejaksaan menduga adanya unsur tindak pidana korupsi dalam pelelangan pabrik serta penilaian aset oleh BPPN pada 2003. Aset pabrik yang telah dijaminkan debitor BLBI senilai Rp 600 miliar hanya dijual Rp 84 miliar atau 14 persen.

Kasus korupsi yang melibatkan mantan pimpinan BPPN itu setidaknya membuka mata bahwa potensi kerugian negara tidak hanya ditimbulkan melalui penyalahgunaan dana bantuan BLBI yang dilakukan para debitor BLBI. Namun, potensi kerugian yang tidak kalah besar juga terjadi saat BPPN menjual aset-aset debitor BLBI.

Selama ini, banyak pihak yang mengeluhkan, penjualan aset debitor BLBI oleh BPPN tersebut dinilai tidak transparan dan cenderung berbau KKN.

Ketiga, upaya debitor BLBI mendapatkan pengampunan dan pembebasan dari segala tuntutan hukum (release and discharge). Fakta itu bisa ditunjukkan oleh kedatangan tiga debitor BLBI ke Kantor Presiden beberapa hari lalu (6/2).

Tidak tanggung-tanggung, kedatangan tiga debitor BLBI -pemegang saham Bank Lautan Berlian Ulung Bursa, pemegang saham Bank Namura James Januardi, serta Lukman Astanto yang mewakili pemegang saham Bank BIRA Atang Latief- itu didampingi dua perwira Polri. Yaitu, Wakabareskrim Mabes Polri Irjen Gorries Mere serta Direktur Reserse Ekonomi Mabes Polri Kombes Benny Mamoto.

Dalam kesempatan pertemuan di Istana Presiden, para debitor tersebut menyatakan bersedia mengembalikan utang BLBI yang nilainya ratusan miliar rupiah, asalkan mendapatkan release and discharge.

Dengan adanya release and discharge, mereka berharap penyidikan kasus korupsinya yang sedang ditangani kejaksaan dihentikan (SP3) sebagaimana yang diatur dalam Inpres No 8/2002. Berdasar inpres tersebut, para debitor BLBI dianggap sudah menyelesaikan utangnya, meski hanya 30 persen di antara jumlah kewajiban pemegang saham (JKPS) dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN.

Atas dasar bukti itu, mereka yang diperiksa akan mendapatkan SP3. Dan, jika perkaranya diproses di pengadilan, hal tersebut akan dijadikan novum atau bukti baru yang akan membebaskan mereka.

14 Debitor
Menurut catatan ICW, hingga saat ini sudah ada 14 debitor yang mendapatkan SKL sekaligus release and discharge dari pemerintah. Ketiga peristiwa tersebut setidaknya bisa menjadi babak baru dalam penyelesaian kasus korupsi BLBI yang dari tahun ke tahun tidak menunjukkan kemajuan signifikan.

Hingga akhir 2005, di antara 60 orang yang diperiksa karena kasus korupsi dana BLBI, baru 16 orang yang diproses ke pengadilan, enam orang masih disidik, serta 26 orang masih diselidiki. Yang memprihatinkan, sudah 12 orang tersangka yang di-SP3 kejaksaan.

Dari ketiga pertistiwa tersebut, ada beberapa hal penting yang harus segera disikapi pemerintah. Pertama, agar program memberikan efek jera bagi para koruptor yang digagas pada awal pemerintahan SBY tidak dianggap sebagai kebijakan populis semata, David Nusa Widjaya harus segera dikirimkan ke Lapas Nusakambangan untuk mejalani hukuman. Selanjutnya, seluruh aset bos Bank Servitia tersebut disita untuk melunasi kewajiban membayar uang pengganti senilai Rp 1,29 triliun.

Kedua, BPK harus segera mengaudit investigasi seluruh penjualan aset yang dilakukan BPPN. Pemeriksaan kasus korupsi Syafruddin harus dijadikan pintu masuk untuk membongkar korupsi yang lebih besar selama BPPN berdiri.

Lembaga yang dibentuk berdasar Keppres No 34/1998 dan kemudian diterbitkan PP RI No 17/ 1999 itu memiliki wewenang besar untuk melakukan pengembalian uang melalui restrukturisasi utang dan penjualan hak tagih yang ditempuh secara langsung yang jumlahnya lebih dari Rp 600 triliun.

Hingga dibubarkan pada 2003, BPPN hanya mampu mengembalikan uang negara Rp 158 triliun atau kurang dari sepertiganya. Sampai sekarang, tidak jelas pertanggungjawaban kerja BPPN. Selain Syafruddin, menteri negara badan usaha milik negara dan pejabat di bawah kepala BPPN saat itu patut diperiksa kejaksaan.

Ketiga, pemerintah perlu mencermati secara hati-hati tawaran para debitor BLBI untuk mengembalikan utang-utangnya. Perlu dilihat kembali apakah para debitor tersebut melakukan penyimpangan dalam penggunaan dana BLBI seperti yang disebutkan dalam laporan BPK atau tidak.

Kekeliruan Besar
Merupakan kekeliruan besar jika presiden melalui kejaksaan justru mengeluarkan SP3 ketika para debitor melunasi utangnya. Apalagi pemberian SP3 tersebut didasarkan pada Inpres No 8/2002.

Sebab, inpres tentang release and discharge yang dikeluarkan semasa pemerintahan Megawati dinilai cacat hukum akibat bertentangan dengan sejumlah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi seperti UUD 45, TAP MPR No VIII/MPR/2001, TAP MPR No X/MPR/2001, TAP MPR No VI/MPR/2002, dan UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Korupsi.

Dengan demikian, proses hukum bagi para debitor BLBI tetap harus berjalan. Yang dimaksud sebagai jaminan kepastian hukum harus diartikan sebagai memprioritaskan penyelesaian proses hukum mereka, sehingga tidak berlarut-larut. Bukan sebaliknya, justru menjadikan dasar bagi pembebasan dari hukum para debitor BLBI.

Jika diberi kompensasi, yang bisa diberikan adalah tidak dilakukan penahanan selama penyidikan dan jaminan proses hukum dilakukan secara fair dengan tidak menutup kemungkinan mereka dituntut pidana sangat ringan.

Bagimanapun, penuntasan kasus korupsi BLBI selalu menjadi tolok ukur apakah pemerintah serius atau tidak dalam memberantas korupsi. Karena itu, penuntasan kasus korupsi BLBI harus menjadi momentum bagi pemerintahan SBY untuk membantah penilaian miring adanya kompromi atau tebang pilih dalam pemberantasan korupsi.

Emerson Yuntho, anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW) di Jakarta

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 14 Februari 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan