Kapolri Baru dan Pemberantasan Korupsi

Kamis, 9 Oktober 2008, merupakan hari bersejarah dalam perjalanan Kepolisian Republik Indonesia. Pada hari itu Jenderal (Polisi) Bambang Hendarso Danuri secara resmi menjabat Kepala Kepolisian Republik Indonesia yang baru, menggantikan Jenderal (Polisi) Sutanto yang segera memasuki masa purnabakti.

Setelah melaksanakan serah-terima jabatan, Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri berjanji akan membersihkan pungutan liar (pungli) di lingkungan institusi kepolisian dalam waktu tiga bulan. Bahkan Bambang menegaskan tidak segan-segan akan mencopot kapolda dan kapolres yang dianggap terlibat atau melakukan pembiaran terhadap terjadinya pungli.

Janji atau komitmen Kapolri baru dalam membersihkan pungli telah memberikan harapan bagi upaya pemberantasan korupsi, khususnya korupsi di kepolisian. Upaya "bersih-bersih" kepolisian dari praktek korupsi merupakan tantangan terberat yang dihadapi Kapolri yang baru.

Penyebab korupsi di tubuh kepolisian pada umumnya merupakan kombinasi antara tingkat kesejahteraan anggota Polri yang jauh dari mencukupi, anggaran operasional yang minim, dan lemahnya pengawasan serta penjatuhan hukuman dari atasan. Celakanya, banyak pihak yang menilai pungli yang dilakukan oleh anggota Polri sejauh ini masih dalam batas wajar, sehingga dapat dimaklumi.

Pungli dan korupsi di kepolisian merupakan persoalan yang tidak kunjung usai dan sudah menjadi rahasia umum di masyarakat. Bahkan kondisi ini juga diakui oleh kalangan internal kepolisian sendiri. Hal ini bisa dilihat dari dua hasil penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) pada 2004.

Penelitian pertama dilakukan oleh mahasiswa PTIK angkatan 39-A mengenai praktek korupsi di kepolisian. Berdasarkan hasil penelitian calon perwira polisi tersebut, korupsi yang terjadi dalam tubuh kepolisian dibagi dalam korupsi internal dan korupsi eksternal. Korupsi internal adalah korupsi yang tak melibatkan masyarakat di luar komunitas polisi. Contoh yang sering terjadi adalah berupa jual-beli jabatan, korupsi pada proses perekrutan anggota kepolisian, pendistribusian logistik, dan penyaluran anggaran Polri. Korupsi jenis kedua tak lain adalah korupsi eksternal yang langsung melibatkan kepentingan masyarakat. Korupsi semacam ini terjadi dalam lingkup tugas polisi yang berkaitan dengan penegakan hukum, pelayanan masyarakat, dan penyalahgunaan wewenang.

Penelitian kedua dilakukan oleh mahasiswa angkatan 39-B mengenai pelayanan yang dilakukan kepolisian. Meskipun bertugas sebagai pelindung, pelayan, dan pengayom masyarakat, berdasarkan hasil penelitian, kebanyakan polisi justru minta dilayani masyarakat. Bahkan, dalam beberapa kasus, polisi lebih asyik melayani atasannya.

Hasil penelitian juga menyatakan, petugas yang seharusnya melayani lebih terlihat sebagai pejabat yang minta dilayani. Dengan kata lain, mereka tidak menyadari keberadaannya sebagai pelayan masyarakat. Para anggota polisi baru mau melayani setelah warga yang butuh pelayanan memberikan rokok atau imbalan. Sebaliknya, banyak polisi yang melayani dengan setengah hati apabila masyarakat tidak mengerti keinginan si petugas. Selain fakta tentang minta dilayani, hasil penelitian juga menemukan beberapa kenyataan lain dalam pelayanan polisi. Antara lain, polisi bersikap diskriminatif dalam melayani, kurang transparan, tidak profesional, belum mampu memberi rasa aman, dan menunjukkan semangat melayani yang hanya sebatas formalitas.

Tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh mahasiswa PTIK, pada 2001 penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW) mengenai proses pengurusan surat izin mengemudi dan pola-pola korupsi di lingkungan peradilan, khususnya di kepolisian, menyimpulkan bahwa korupsi di korps Bhayangkara bukan isapan jempol belaka. Berdasarkan hasil penelitian ICW di enam kota besar di Indonesia, ditemukan bahwa korupsi yang dilakukan oleh oknum polisi biasanya terjadi pada proses penyelidikan dan penyidikan suatu perkara. Permintaan uang jasa, penggelapan perkara, negosiasi perkara, dan pemerasan merupakan pola yang umum dilakukan oleh oknum anggota kepolisian.

Selain itu, bukti buruknya persepsi masyarakat terhadap kredibilitas institusi Polri juga terlihat dari hasil survei Transparency International Indonesia (TII) 2007. Survei yang dilakukan di beberapa daerah itu menempatkan Polri sebagai institusi paling korup dari semua lembaga pemerintah di Indonesia. Resistansi sempat diperlihatkan sejumlah pejabat tinggi Polri terhadap hasil survei TII tersebut.

Untuk membersihkan kepolisian dari oknum polisi yang korup, Kapolri yang baru sebaiknya juga belajar dari Kapolri sebelumnya. Di bawah kepemimpinan Jenderal Polisi Sutanto, beberapa perwira kepolisian yang selama ini dinilai tidak tersentuh pada akhirnya dapat diperiksa oleh kalangan internal Polri dan selebihnya bahkan dilanjutkan hingga ke pengadilan. Beberapa perwira polisi, seperti mantan Kepala Bareskrim Polri Komjen Suyitno Landung dan Brigjen Samuel Ismoko, bahkan telah diproses hingga ke pengadilan.

Peristiwa-peristiwa tersebut sebelumnya sulit ditemukan pada era Kapolri sebelum dijabat Sutanto. Dalam banyak kasus, setiap pelanggaran yang dilakukan oleh oknum Polri selalu diselesaikan ke Komisi Kode Etik dan Profesi Polri. Namun, kenyataannya, sidang komisi ini sering kali memberikan keistimewaan terhadap pelaku dengan menurunkan derajat pelanggaran yang dapat dipidana menjadi sebatas pelanggaran administratif.

Upaya membuat jera oknum polisi yang korup dapat dilakukan dengan memberikan sanksi yang tegas dan memproses pelakunya hingga ke pengadilan. Keberadaan polisi nakal dan korup sangat berbahaya karena dapat merusak citra institusi tersebut, menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat (public trust), serta merusak akuntabilitas kinerja aparat kepolisian itu sendiri.

Karena itu, selain tetap menjadikan polisi sebagai bagian dari masyarakat sipil dan profesional, mengubah paradigma dari polisi yang korup menjadi polisi yang tegas namun santun serta bersih dari korupsi adalah tantangan paling besar dan pekerjaan rumah bagi Kapolri yang baru. Perlu ada perubahan fundamental yang dilakukan di kepolisian untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat.

Fungsi kepolisian harus tetap ditempatkan sebagai salah satu bagian pemerintahan di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, serta pelayanan kepada masyarakat. Saat ini masyarakat berharap bahwa institusi kepolisian dapat bersih dari praktek korupsi tidak hanya dalam waktu tiga bulan, namun untuk selamanya. Masyarakat butuh bukti dan bukan janji.

Emerson Yuntho, anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch 

Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 21 Oktober 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan