Integritas Universitas

BARU-baru ini Universitas Diponegoro (Undip) menganugerahkan gelar Honoris Causa (HC) atau doktor kehormatan kepada Jaksa Agung Hendarman Supandji. Menurut Undip, Hendarman dinilai berjasa besar dalam usaha pemberantasan korupsi di negeri ini. Namun penganugerahan tersebut menuai protes penggiat antikorupsi. Pasalnya, kejaksaan agung, institusi yang dipimpin Hendarman, belum mampu melakukan pemberantasan korupsi secara maksimal. Lagipula, kriteria pemberian gelar HC dianggap belum terpenuhi.

Gelar HC adalah gelar kesarjanaan yang diberikan oleh universitas kepada seseorang tanpa orang tersebut menempuh terlebih dahulu jenjang pendidikan yang sesuai dengan bidangnya. Gelar itu diberikan kepada seseorang yang dipandang berjasa dan berkarya luar biasa bagi ilmu pengetahuan dan umat manusia. Dalam sejarahnya, Gelar HC pertama kali diberikan Universitas Oxford, Inggris, kepada Lionel Woodville, uskup wilayah Salisbury (Bishop of Salisbury), pada 1470.

Tidak semua orang dapat menerima gelar doktor kehormatan. Setidaknya ada lima kriteria yang menjadi tolok ukur penyematan gelar HC. Pertama, berjasa atau berkarya luar biasa di bidang ilmu pengetahuan, teknologi, pendidikan, dan pengajaran. Kedua, memiliki jasa atau karya luar biasa yang sangat berarti bagi pengembangan pendidikan dan pengajaran dalam satu atau sekelompok bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan sosial budaya.

Ketiga, punya jasa atau karya luar biasa yang sangat bermanfaat bagi kemajuan atau kemakmuran dan kesejahteraan bangsa serta negara pada khususnya, dan umat manusia pada umumnya. Keempat, jasa atau karya luar biasanya mampu mengembangkan hubungan baik dan bermanfaat antarbangsa dan negara di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. Kelima, tenaga dan pikirannya mampu menyumbangkan jasa atau karya luar biasa bagi perguruan tinggi.

Lalu, bagaimana dengan pemimpin Korp Adyaksa saat ini, jasa atau karya luar biasa apa yang disumbangkan, sehingga ia berhak memperoleh penghargaan gelar doktor kehormatan? Pada bagian ini, wajar publik mempertanyakan. Masyarakat gundah-gulana.
Catatan Kelabu    Kegundahan publik tersebut bukan tanpa dasar. Ada beberapa catatan kelabu mengenai kinerja kejaksaan dalam usaha memberantas korupsi. Pertama, kejaksaan agung belum menuntaskan kasus korupsi kelas kakap. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencermati sedikitnya 40 kasus besar yang tertunggak. Misalnya, kasus dugaan korupsi biaya pembangunan gedung menara PT Jamsostek sebesar Rp 62,1 miliar. Kasus kebangkrutan Bank Indover di Hongkong dan Amsterdam. Dugaan penggelembungan dana proyek Exxor-Balongan Pertamina. Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sejak 1998.

Berikutnya, kasus korupsi PT Perumahan Nasional senilai Rp 859 miliar. Korupsi pembangunan kantor cabang PT Taspen senilai Rp 679 miliar. Kasus korupsi Bank Bali yang merger menjadi Bank Permata sebesar Rp 904 miliar. Terlebih lagi, salah satu terpidana kasus tersebut, Joko Tjandra, lolos dari tangkapan kejaksaan agung dan bermukim di luar negeri dengan nyaman.

Kedua, kejaksaan agung belum mampu memperbarui internalnya. Kasus suap perkara korupsi Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI)  yang mengoyak tubuh kejaksaan agung masih terpatri dalam benak publik. Punggawa kejaksaan agung terbukti menerima suap 660 dollar AS dari Artalita Suryani alias Ayin, si penghubung pemilik BDNI Sjamsul Nursalim.

Mafhum, suap Ayin menjadi pertanda pedalaman kejaksaan agung masih bermasalah. Banyak oknum jaksa yang main mata dengan tersangka kasus korupsi. Parahnya, kondisi tersebut merambah sebagian besar petinggi kejaksaan agung.

Ketiga, kejaksaan agung masih sedikit menangani kasus korupsi. Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM mencatat sepanjang 2008-2009, lembaga gedung bundar itu hanya menangani dua belas perkara korupsi. Jumlah itu terlampau sedikit bila dibandingkan dengan lembaga penegak hukum lain, semisal KPK yang menangani perkara korupsi 2008-2009 sebanyak 40 kasus. Padahal usia kejaksaan jauh lebih tua dari pada KPK. Seharusnya, kejaksaan lebih sigap dan cepat serta banyak mengungkap dan menuntut kasus korupsi. Keadaan berkata lain, kejaksaan agung ”terungguli” oleh KPK.

Catatan kelabu yang panjang tersebut mementahkan dasar pertimbangan bahwa Hendarman berjasa besar dalam usaha pemberantasan korupsi. Tetapi nasi telah menjadi bubur. Penganugerahan telah selesai dilaksanakan.  
Pertaruhan    Memang, memberikan gelar doktor kehormatan adalah hak prerogatif setiap universitas. Akan tetapi, dasar pertimbangan dalam menganugerahkan gelar tersebut mesti dapat dipertanggungjawabkan. Sebab, memberikan gelar keilmuan berarti menuangkan integritas lembaga. Gelar HC bukan barang murahan. Oleh karena itulah, lembaga pemberi gelar HC juga bukan lembaga murahan.

Hanya orang-orang tertentu yang benar-benar berharga dan berkarya luar biasa yang berhak mendapatkan gelar doktor kehormatan. Bagi universitas (perguruan tinggi) menganugerahkan gelar doktor kehormatan berarti menuangkan komitmen integritas dan karena ia memang berharga. Universitas mempunyai tiga tugas utama (tridharma), salah satunya adalah dharma pendidikan.

Penganugrahan tersebut bagaikan sebuah pertaruhan integritas bagi Undip. Layaknya pertaruhan, kadang kalah kadang menang. Dan, kali ini Undip bertaruh besar atas integritasnya hanya untuk penganugerahan formal gelar kehormatan yang kurang layak. Undip telah siap mengorbankan nama besar yang dimiliki dalam dunia pendidikan, sebagai universitas yang concern memberantas korupsi demi mendapatkan setangkup ketenaran dengan menyematkan gelar bagi pejabat tinggi negara. Tidak lebih. (80)

—Hifdzil Alim, Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM 

Tulisan ini disalin dari Suara Merdeka, 27 Juli 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan