In-Depth Analysis: Moratorium dan Perbaikan Tata Kelola Sawit

Perekonomian Indonesia dikenal sebagai tipe perekonomian berbasis kekayaan sumber daya alam. Tidak hanya migas dan minerba, sektor kehutanan dan turunannya juga menjadi sumber ekstraksi. Sayangnya perluasan ekonomi ini mengandalkan pada pembukaan hutan yang 90 persen lahannya dibuka secara ilegal dan berdampak terhadap kerusakan lingkungan serta konflik sosial. Ekspansi perkebunan kelapa sawit yang sangat pesat disinyalir menjadi penyebab utama kerusakan hutan dan konflik lahan antara masyarakat dan pemodal.

Oleh karena itu, rencana pemerintah memoratorium perizinan kelapa sawit patut diapresiasi dan didukung. Moratorium yang rencananya akan diberlakukan 5 tahun ke depan bertujuan untuk menata kembali lahan sawit dan meningkatkan produksi lahan yang sudah ada serta penanaman kembali lahan terutama perkebunan rakyat yang usianya sudah tidak produktif.

Ada beberapa titik masalah yang harus dijadikan prioritas moratorium. Paling utama persoalan di tingkat hulu yaitu peningkatan produksi yang hanya berfokus pada pembukaan lahan atau ekstensifikasi. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkebunan (2015), pembukaan lahan sawit sudah mencapai 11.3 juta hektar, meningkat 169 persen dalam 15 tahun terakhir. Tapi pada sisi lain, tidak ada upaya untuk meningkatkan produktivitas lahan (yield). Saat ini yield perkebunan kelapa sawit di Indonesia sebesar 13.6 juta ton per hektar, bandingkan dengan Malaysia yang sudah mencapai 18.6 juta ton per hektar (Saputra, 2016).

Hal lain yang juga harus diperhatian adalah pelaksanaan di level daerah dan koordinasi antar kementerian serta pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Berkaca pada moratorium pemanfaatan hutan primer dan lahan gambut yang dilaksanakan sejak tahun 2011, di beberapa daerah misalnya Kalimantan Tengah, masih terdapat izin perkebunan kelapa sawit yang masuk kawasan gambut dan selama moratorium masih terjadi penggundulan kawasan hutan. Dengan kata lain praktek moratorium tidak menghentikan deforestasi dan degradasi kawasan hutan. Kawasan moratorium justru dibebani izin eksploitasi. Koordinasi antara pemerintah pusat dan pemda menjadi sangat penting mengingat dalam rangkaian prosedur pemberian perizinan, setiap level pemerintahan memiliki kewenangannya masing-masing.

Hal penting lainnya, moratorium sawit hendaknya dijadikan momentum untuk meriew seluruh perizinan perkebunan sawit, seperti janji yang pernah dikemukakan oleh Presiden Jokowi yang akan mengkaji ulang perizinan dan mengintegrasikannya dalam satu peta (one map policy). Moratorium harus menjadi ajang pembenahan tata kelola ke arah yang lebih baik dan berkeadilan. Akan lebih baik jika moratorium diiringi dengan upaya penegakan hukum bagi pelanggaran terhadap penerbitan izin baru yang dikeluarkan selama periode kebijakan moratorium dan terhadap perizinan lama yang masih bermasalah. Hal ini dapat disinergikan dengan koordinasi dan supervisi sawit yang saat ini digawangi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

Setelah melakukan audit menyeluruh terhadap perizinan, pemerintah sebaiknya mencabut izin-izin tersebut agar menimbulkan efek jera. Agar devisa negara tidak terganggu, sebaiknya juga dipersiapkan instrumen yang dapat mendorong baik pemerintah pusat maupun daerah untuk melakukan diversifikasi ekonomi ke sektor-sektor lainnya.***

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan