Cacat Hukum Pemilihan Hakim Konstitusi

Foto: mahkamahkonstitusi.go.id
Foto: mahkamahkonstitusi.go.id

Publik dikejutkan dengan berita digelarnya uji kelayakan dan kepatutan terhadap calon hakim Mahkamah Konstitusi, Arief Hidayat—yang saat ini masih menjabat sebagai Ketua MK—pada Rabu (6/12) oleh Komisi III DPR. Masa jabatan Arief sebagai hakim konstitusi akan berakhir April 2018.

Keterkejutan itu disebabkan karena selama ini tidak diketahui ada pengumuman dari DPR soal perekrutan dan pencalonan hakim konstitusi. Perekrutan dan pencalonan seharusnya dilaksanakan secara transparan dan partisipatif sesuai dengan ketentuan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (yang diubah menjadi UU No 8/2011), asas penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme menurut UU No 28/1999 dan TAP MPR No XI/MPR/1998.

Pencalonan Arief Hidayat oleh DPR secara tertutup dan sembunyi-sembunyi jelas melanggar peraturan perundang-undangan, etika, dan moral penyelenggaraan negara, apalagi terhadap seseorang yang akan menjaga konstitusi negara dengan gelar negarawan.

Proses pencalonan hakim konstitusi secara tertutup bukan kali ini saja terjadi. Setidaknya, dua mantan hakim konstitusi pernah menikmati praktik ini, yaitu Akil Mochtar dan Patrialis Akbar—keduanya berakhir naas karena terlibat tindak pidana korupsi saat menjalankan tugasnya sebagai hakim MK.

Akil Mochtar menikmati perpanjangan masa jabatan sebagai hakim MK untuk periode kedua pada 2013-2018. Sementara Patrialis Akbar ditunjuk menjadi hakim konstitusi oleh Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono lewat Keppres No 87/P Tahun 2013, juga tanpa melalui mekanisme seperti diatur dalam Pasal 19 UU MK. Hal ini memicu gugatan ke PTUN oleh Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan MK, dan pengadilan mengabulkan gugatan ini.

Bukan tidak mungkin, kasus perpanjangan jabatan Arief Hidayat sebagai hakim konstitusi juga akan digugat oleh masyarakat karena proses dan tata cara pengajuan pencalonannya melanggar ketentuan perundang-undangan akibat tidak transparan, partisipatif, obyektif, dan akuntabel.

Seleksi hakim dan marwah MK

Pasal 20 Ayat 1 UU No 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi memerintahkan agar tata cara seleksi, pemilihan dan pengajuan hakim konstitusi diatur oleh setiap lembaga yang berwenang, yaitu Mahkamah Agung (MA), DPR, dan Presiden, dengan jatah masing-masing tiga orang (Pasal 18 Ayat 1 UU MK) dan dilaksanakan secara obyektif dan akuntabel (Pasal 20 ayat 2 UU MK).

Pengaturan itu sangat penting untuk menghasilkan calon hakim MK yang berwawasan luas terkait dengan konstitusi dan ketatanegaraan, berintegritas, tidak tercela, adil, dan bersifat negarawan sesuai Pasal 15 UU MK. Sejauh ini, perintah UU MK tentang pengaturan tata cara seleksi calon hakim MK di ketiga lembaga negara itu belum dibuat, baik dalam bentuk peraturan MA (perma), peraturan presiden, maupun peraturan DPR sehingga rawan untuk diselewengkan.

Ketiadaan pengaturan internal itu berakibat pada munculnya pengajuan calon hakim MK yang berubah-ubah. Kadang kala, proses tersebut berlangsung ideal sesuai dengan asas-asas penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang baik. Kadang juga penuh kontroversi, KKN, dan sesuai selera lembaga pengusul, seperti dalam kasus perpanjangan Arief Hidayat saat ini.

Secara ideal dan kelaziman, dalam pengisian jabatan publik lembaga negara, khususnya MK, lembaga pengusul membentuk panitia seleksi untuk merekrut calon hakim MK dengan mengumumkan kepada publik ada pendaftaran, seleksi, dan uji kelayakan melalui panel ahli, dengan melibatkan partisipasi publik dan wawancara sebelum yang bersangkutan direkomendasikan sebagai calon hakim MK.

Hal ideal itu kembali diterobos oleh Komisi III DPR sehingga melahirkan kecurigaan publik tentang kemungkinan ada barter dan lobi-lobi politik. Apalagi proses ini berlangsung di tengah silang sengkarut antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pansus KPK DPR terkait dengan pengajuan uji materi UU No 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) oleh karyawan KPK menyangkut hak angket dan juga Ketua DPR Setya Novanto yang menguji Pasal 12 dan Pasal 46 Ayat 1 dan 2 UU KPK ke Mahkamah Konstitusi yang diketuai oleh Arief Hidayat.

Kecurigaan publik muncul karena perpanjangan status Arief Hidayat sebagai hakim MK dilakukan dengan proses tertutup dan melanggar ketentuan UU MK di tengah perseteruan KPK dan DPR, di mana pemenang perseteruan ini akan ditentukan oleh MK. Karena itu, wajar jika publik memberi kritik tajam atas langkah Komisi III DPR karena sikap permisifnya dan juga terhadap Arief Hidayat karena manuver ini menguntungkan bagi dirinya sendiri dalam upaya memperpanjang jabatannya sebagai hakim MK.

Arief pernah dijatuhi sanksi oleh Dewan Etik MK pada April 2016 karena membuat surat katebelece kepada pejabat Kejaksaan Agung agar kerabatnya yang juga seorang jaksa di Kejaksaan Negeri Trenggalek, Jawa Timur, bisa dititipkan dan dibina di lembaga itu.

Karena itu, di sinilah perlu dilakukan pengaturan seleksi calon hakim MK untuk mencegah kewenangan lembaga negara diselewengkan akibat ketiadaan pengaturan internal.

Perpanjangan jabatan

Istilah ”perpanjangan” jabatan hakim MK sebenarnya tidak dikenal dalam UU MK. Apabila seorang hakim MK habis masa jabatan selama lima tahun-nya (Pasal 22 UU MK), lembaga pengusul harus menyeleksi ulang calon hakim MK untuk mengganti atau mengisi jabatan hakim MK melalui seleksi dan pemilihan, bukan diperpanjang atau dilanjutkan.

Sayangnya, revisi UU MK yang telah diundangkan menjadi UU No 8/2011 tidak memuat tata cara seleksi dan pemilihan hakim MK sehingga proses perekrutannya menjadi tidak jelas dan disesuaikan dengan selera dan kepentingan setiap lembaga pengusul. Tentu, kita tidak ingin kasus Akil Mochtar dan Patrialis Akbar terulang kembali serta meruntuhkan marwah dan kepercayaan publik terhadap MK karena sejak dari awal prosesnya tidak benar.

Saya percaya, Presiden Joko Widodo dalam kapasitasnya selaku kepala negara akan menolak proses perpanjangan calon hakim MK yang cacat hukum dan melanggar etika serta mengembalikannya agar dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Pasal 15, Pasal 19, dan Pasal 20 UU MK, di samping ketentuan UU No 28/1999 serta TAP MPR No XI/MPR/1998.

Hal ini penting guna mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme dengan memegang teguh asas transparansi, partisipatif, obyektif, dan akuntabel demi menjaga marwah MK sebagai benteng pengawal konstitusi.

SYAMSYUDDIN RADJAB, Dosen Hukum Tata Negara UIN Alauddin, Makassar Direktur Jenggala Center

----------------------------------

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 14 Desember 2017, dengan judul "Cacat Hukum Pemilihan Hakim Konstitusi"

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan

 

Tags