Bulletin Mingguan Anti-Korupsi: 3-8 Maret 2016

Mengulas Dugaan Korupsi Sumber Waras

Setahun menjelang pentas pemilihan Gubernur Jakarta. Bursa kandidat calon Gubernur telah ramai menghiasi pemberitaan. Meskipun pencalonan belum resmi, sudah ada sederet nama beken yang menyatakan kesediaannya di muka publik. Sebut saja seperti Yusril Ihza Mahendra, Ahmad Dhani, dan calon dari petahana, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Dan yang tidak kalah serunya, dalam pemberitaan tersebut juga mencuat issue pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras oleh pemerintah provinsi (Pemprov) DKI Jakarta.

Pemprov DKI Jakarta melalui Dinas Kesehatan telah melakukan pembayaran atas pembelian tanah untuk pembangunan Rumah Sakit Sumber Waras seluas 36.410 m², senilai Rp. 755,68 miliar. Pembayaran tersebut dilakukan kepada Yayasan Kesehatan Sumber Waras (YKSW) pada tanggal 30 desember 2014. Rencananya, Pemprov DKI akan membangunan Rumah Sakit Jantung Khusus dan Kanker.

Atas pembelian tersebut, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Provinsi DKI menyimpulkan adanya potensi kerugian negara. Dalam audit setebal 17 halaman, BPK menyebutkan bahwa pembelian tersebut berpotensi kerugian Negara sebesar Rp 191,33 miliar.

Pada audit yang sama, BPK menjelaskan sekurangnya 6 (enam) penyimpangan dalam proses pembelian lahan. Pertama, penunjukan lokasi tanah senilai 755,68 miliar rupiah oleh Gubernur DKI tidak sesuai ketentuan. Kedua, Disposisi Gubernur DKI yang memerintahkan Bappeda DKI untuk menganggarkan dana pembelian tanah dalam APBN-P 2014 tidak sesuai ketentuan. Ketiga, Penetapan lokasi tanah tidak melalui proses studi kelayakan dan kajian teknis yang wajar dan terindikasi bersifat formalitas. Keempat, proses pembelian tanah dilakukan pada saat YKSW masih terikat perjanjian. Kelima, pihak YKSW menyerahkan fisik tanah tidak sesuai dengan yang ditawarkan sehingga mengakibatkan selisih harga tanah. Dan keenam, akta pelepasan hak dan pembayaran telah dilakukan oleh YKSW sebelum memenuhi kewajiban membayar tunggakan PBB sebesar 6,6 miliar rupiah.

Pertanyaan pentingnya adalah, apakah benar telah terjadi korupsi dalam pembelian lahan tersebut? Pertanyaan tersebut sebenarnya bisa terjawab, jika berhasil ditemukan perbuatan melawan hukum, potensi kerugian Negara dan intensi dari penyelenggara Negara dalam hal ini Pemprov DKI.

Perdebatan paling mendasar terletak pada perhitungan kerugian Negara. Menurut audit BPK, perhitungan kerugian Negara mendasarkan pada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Pemprov DKI dianggap membeli tanah terlalu mahal. Angka kerugian Negara versi BPK merupakan selisih yang dapatkan dengan menggunakan acuan NJOP tahun 2013, yaitu Rp. 15,5 juta per meter persegi. Sedangkan pada saat pembelian dilakukan, Pemprov DKI menggunakan NJOP tahun 2014 yaitu Rp. 20,75 juta per meter.

Lantas mana yang benar? Sebagai tambahan informasi, pembelian dilakukan pada bulan Desember 2014. Sehingga, sudah selayaknya harga NJOP yang digunakan adalah harga tahun 2014. Di waktu yang bersamaan, KPK sudah melakukan telaah. Kesimpulan sementaranya, belum ada indikasi korupsi dalam kasus pengadaan lahan untuk Rumah Sakit Sumber Waras. KPK sudah memanggil sebanyak 33 orang untuk dimintai keterangan. Namun, KPK belum menemukan potensi penyalahgunaan wewenang dari siapapun.

Melihat perbedaan–perbedaan yang mendasar antara KPK, BPK dan Pemprov DKI. Ada baiknya menunggu proses yang sekarang sedang bergulir di KPK. Karena masih terlalu pagi untuk menilai ada atau tidaknya tindak pidana korupsi dalam kasus tersebut.


Deponering Untuk Pemberantasan Korupsi

Langkah Kejaksaan Agung melakukan deponering atau mengesampingkan berkas perkara yang melibatkan Abraham Samad dan Bambang Widjajanto merupakan tindakan tepat. Tentu itu bukan sekedar hak prerogatif Jaksa Agung, tapi yang lebih penting adalah wujud komitmen menyelamatkan pemberantasan korupsi di Indonesia dari upaya rekayasa hukum.

Jaksa Agung HM Prasetyo akhirnya mengeluarkan keputusan deponering terhadap kasus yang melilit dua mantan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad dan Bambang Widjojanto. Kebijakan pengesampingan perkara yang dilakukan demi kepentingan umum ini dilakukan berdasarkan pasal 35 UU Nomor 16 tahun 2004 tahun tentang Kejaksaan.

Lahirnya keputusan deponering pada akhirnya menjadi jawaban atas kerisauan publik terkait dugaan rekayasa kasus yang menjerat Abraham Samad dan Bambang Widjoyanto. Bahkan Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi, Johan Budi SP menyatakan Presiden ingin perkara-perkara yang berkaitan dengan KPK diselesaikan, tidak berlarut, dan tidak memicu kegaduhan agar program pembangunan dan upaya peningkatan perekonomian nasional tidak terganggu oleh kegaduhan hukum.

Deponering sebenarnya bukan pilihan ideal karena tidak menghilangkan fakta adanya pelanggaran hukum yang dilakukan. Itulah sebabnya kedua mantan pimpinan KPK sendiri lebih memilih Jaksa Agung mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP). Dengan SKPP, maka berdasarkan KUHP sebuah perkara dihentikan karena penuntut tidak menemukan cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana sehingga perkara ditutup demi hukum, sehingga Abraham dan Bambang dianggap tidak melanggar hukum.

Seperti diketahui Abraham dijerat dengan sangkaan pemalsuan dokumen kependudukan dan Bambang disangka memerintahkan saksi melakukan sumpah palsu dalam sengketa Pilkada Kotawaringin Barat tahun 2010.

Kedua perkara tersebut muncul ke permukaan pasca Kedua Pimpinan KPK tersebut menetapkan Komjen Budi Gunawan yang menjadi calon tunggal Kapolri tahun 2014. Itulah sebabnya publik menilai apa yang menimpa Abraham dan Bambang lebih bernuansa rekayasa hukum untuk membalas perlakuan KPK terhadap calon orang nomor satu Kepolisian.

Namun demikian, keputusan Jaksa Agung mengeluarkan deponering juga tak berjalan mulus. Komisi 3 DPR sejak jauh hari menolak rencana Kejaksaan Agung menghentikan perkara melalui deponering. Selain bisa mendegradasi kerja institusi kepolisian juga tidak ada alasan kepentingan umum bagi kejaksaan untuk mengesampingkan karena Abraham dan Bambang tak lagi menjabat sebagai pimpinan KPK.

Selain penolakan, Jaksa Agung juga menunaikan gugatan prapradilan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan yang didaftarkan oleh LSM Patriot Demokrat dan perorangan atas nama Junaidi.

Selian itu, Ikatan Sarjana dan Profesi Perpolisian Indonesia (ISPPI) melaporkan Jaksa Agung HM Prasetyo ke Badan Reserse Kriminal (Bareksrim) Mabes Polri.

Tanpa mengesampingkan upaya praperadilan, namun mengacu pada putusan mahkamah konstitusi, selain yang diatur dalam pasal 77 huruf (a) KUHAP, perluasan praperadilan hanya pada penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan, sedangkan deponering tidak diatur.

Bagaimanapun keputusan deponering tetap harus diapresiasi karena polemik perkara dua mantan pimpinan KPK akhirnya usai dan terhindar dari rekayasa hukum lanjutan dalam proses peradilan.


RINGKASAN MINGGUAN

  • Kasus Abraham Samad dan Bambang Widjojanto dihentikan. www.antikorupsi.org/Zxs


UPDATE STATUS

3 Maret

  • Jaksa Agung deponering kasus Abraham Samad dan Bambang Widjojanto.

  • KPK memeriksa Djoko Pranomo, Kepala Pusat Sumber Daya Manusia Direktorat Hubla, sebagai tersangka kasus dugaan korupsi Balai Pendidikan dan Pelatihan Ilmu Pelayaran Sorong tahap III.

  • Eks Direktur Jenderal Pembinaan Pembangunan Kawasan Transmigrasi Kementerian Tenaga Kerja, Jamaluddien Malik, dituntut 7 tahun bui dalam kasus pemotongan anggaran dan gratifikasi.

  • Sidang dengan agenda pembacaan pleidoi kasus korupsi tunjangan perumahan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Parepare periode 2004-2009 yang menjerat eks Wali Kota Parepare, Sjamsu Alam, kembali digelar.

  • Eks Kepala Seksi Sengketa Badan Pertanahan Nasional Kota Makassar, Muhammad Hatta, dituntut 4 tahun penjara, karena terbukti menerima gratifikasi atas pembatalan penerbitan sertifikat tanah seluas 3 hektare di Kelurahan Parangloe, Kecamatan Tamalanrea, Makassar.

4 Maret

  • Kerugian negara akibat dugaan korupsi pengadaan lahan untuk pembangunan embarkasi haji di provinsi tersebut mencapai Rp8,3 miliar, dengan tersangka Muhammad Guntur, mantan Kepala Biro Tata Pemerintahan Sekretariat Daerah Provinsi Riau.

  • Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Mejayan menuntut terdakwa kasus dugaan korupsi program Peningkatan Industri Kerajinan (PIK) Kabupaten Madiun tahun 2012, dengan hukuman masing-masing selama dua tahun penjara dan denda sebesar Rp50 juta.

7 Maret

  • Lima saksi mangkir dalam panggilan oleh Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara terkait kasus dugaan korupsi pengadaan mobil dinas Bank Sumut sebanyak 294 unit.

  • Mantan Menteri Kesehatan (Menkes), Siti Fadilah Supari, memenuhi panggilan penyidik KPK sebagai saksi kasus dugaan korupsi dalam pengadaan alat kesehatan (Alkes) Rumah Sakit Universitas Airlangga (RS Unair) tahap I dan II tahun anggaran 2010.

  • Pengusutan kasus dugaan tindak pidana korupsi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) tahun 2015 sebesar Rp181 miliar lebih untuk SD dan SMP mandek.

  • Buronan kasus korupsi beras untuk orang miskin (raskin) di Desa Pasirsari, Kecamatan Cikarang Selatan pada 2008, ditangkap Kejaksaan Negeri Cikarang.

8 Maret

  • Labora Sitorus, tersangka kasus pembalakan liar dan pencucian uang, ditempatkan dalam sel isolasi Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta Timur.

  • Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri menetapkan Manager Senior Peralatan PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II, Heriadi Budi Kuncoro, sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan 10 unit mobile crane.

  • Untuk ketiga kalinya mantan Kasie Sarpras Sudin Dikmen Jakarta Barat, Alex Usman, ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh Direktorat Tindak Pidana Korupsi (Dittipidkor) Bareskrim Polri terkait kasus pengadaan alat digital classroom.

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan