Bulletin Mingguan Anti-Korupsi: 21-27 Januari 2016

Calo Anggaran Berkedok Wakil Rakyat

Komisi Pemberantasan Korupsi, dibawah lima pimpinan barunya telah menangkap tangan Damayanti Wisnu Prutanti, anggota DPR RI dari PDI P. Ia ditangkap karena disangka menerima suap sebesar SIN$ 33 ribu dari Abdul Khoir, salah satu kontraktor yang diduga ingin mendapatkan proyek dari Kementerian Pekerjaan Umum.

Sebelumnya, ada indikasi kuat bahwa Damayanti juga sudah menerima suap sejumlah SIN$ 404 ribu. Meskipun Damayanti tidak mewakili Daerah Pemilihan Maluku, tempat proyek akan dilaksanakan, melainkan dari Dapil Jawa Tengah IX (Brebes, Slawi, dan Tegal), indikasi calo anggaran dan calo proyek dengan melibatkan anggota DPR RI dari lintas dapil dan lintas partai adalah modus yang lazim terjadi di Senayan.

Kasus serupa juga menimpa Dewi Yasin Limpo, anggota DPR RI dari partai Hanura yang ditangkap KPK karena dugaan menerima suap sebesar SIN$ 177.700 dari salah satu pengusaha dan pejabat tinggi dari kabupaten Deiyai, Papua, tempat dimana proyek micro hydro akan dibangun pada 2016. Sementara pada saat yang sama, Dewi adalah anggota DPR RI mewakili Dapil Sulawesi Selatan, bukan dari Dapil Papua.

Mengingat KPK tengah mengembangkan penyidikan atas kasus Damayanti kepada anggota DPR lainnya, ada dugaan kuat bahwa praktek calo anggaran tidak hanya melibatkan satu politisi. Ini sangat mungkin terjadi mengingat satu orang wakil rakyat mustahil bisa mempengaruhi proses pengambilan kebijakan anggaran pada tingkat komisi. Kuat dugaan, anggota DPR lainnya terlibat dalam memberikan dukungan atas proyek diatas, dan mendapatkan imbal balik dalam bentuk fee, yang dalam istilah lain disebut sebagai uang pengawalan. Sementara operator lapangan bertugas untuk mengatur langsung daftar proyek yang akan dibahas dan perlu mendapatkan persetujuan dari komisi tertentu di DPR, tergantung dari mitra kerja masing-masing.

Sepertinya, meskipun wewenang Badan Anggaran DPR untuk membahas proyek sampai satuan tiga (kegiatan dan jenis belanja) telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), hal itu bukan berarti menyulitkan anggota DPR nakal untuk mendapatkan celah untuk memainkan anggaran proyek. Kasus Dewi dan Damayanti, dua wakil rakyat yang ditangkap tangan KPK adalah bukti konkret lemahnya sistem dan mekanisme akuntabilitas pembahasan kebijakan publik, khususnya pada fungsi budgeting wakil rakyat.

Ada berbagai kemungkinan mengapa celah untuk menyalahgunakan jabatan wakil rakyat tetap terbuka meski beberapa wewenang DPR telah dipangkas MK. Pertama, belum ada satu pendekatan dan terobosan besar yang ditetapkan oleh pimpinan DPR untuk mempersempit abuse of power wakil rakyat, khususnya melalui pengetatan aturan kode etik serta enforcementnya. Sudah menjadi praktek yang umum jika wakil rakyat bisa bertemu pengusaha dimanapun, tanpa diketahui oleh siapapun atas nama menjalankan pekerjaannya sebagai wakil rakyat. Kedua, belum ada aturan baku mengenai konflik kepentingan anggota DPR, baik yang dimasukkan dalam UU maupun peraturan lain yang relevan. Padahal aturan konflik kepentingan merupakan instrumen untuk mengerem peluang terjadinya politik transaksional yang dilakukan wakil rakyat, yang pada akhirnya akan termanifestasikan dalam bentuk suap-menyuap. Pimpinan DPR sepertinya perlu segera mengambil terobosan besar untuk melawan korupsi di tubuhnya, sekaligus sebagai upaya untuk memperbaiki kepercayaan publik kepada mereka. ***

Freeport: Divestasi sesaat, ruginya berabad

“Hanya keledai yang jatuh pada lubang yang sama”, ungkapan ini nampaknya selalu menghantui pemerintah Indonesia, terlebih jika dikaitkan dengan kebijakan pada sektor energi, khususnya SDA dan minyak serta gas. Sektor ini bisa dikatakan strategis secara ekonomi karena masih menjadi penyumbang besar bagi pendapatan negara, selain juga karena aspek ketahanan energi, ekosistem dan keberlanjutan bagi generasi mendatang.

Dengan demikian, sudah semestinya tatkala melibatkan diri dalam kerjasama eksploitasi dan pengelolaan sumber daya alam (SDA), nilai strategis inilah yang harus menjadi pertimbangan utamanya. Adanya klausul kewajiban menjual sebagian saham sebesar 51% kepada negara, yang kita sering sebut sebagai divestasi merupakan perwujudan dari kedaulatan negara di sektor SDA.

Namun demikian, mengacu pada beberapa praktek divestasi sektor pertambangan sebagai contoh, negara kerap gagal menjadi pengelola dan dalam proses divestasi itu, tercium bau skandal yang kuat. Sebagai contoh, divestasi sektor batubara nasional yang melibatkan PT Kaltim Prima Coal dan PT Arutmin Indonesia yang menjerumuskan elit pemerintah dan politisi dalam skandal korupsi, serta mengakibatkan tidak optimalnya penerimaan negara. Bahkan hal yang sama juga terjadi dalam divestasi perusahaan tembaga, PT Newmont Nusa Tenggara, dimana hingga tahun 2015 pemda NTB belum menerima pembagian deviden selain pinjaman berupa utang.

Oleh karena itu, dalam konteks kepentingan nasional jangka panjang, pilihan membeli saham PT Freeport Indonesia (PT FI) sebesar 10,64% dengan harga US$ 1,7 miliar jelas tidak menguntungkan. Terlebih karena kontrak karya PT FI akan berakhir tahun 2021 sehingga secara otomatis pengelolaanya akan dikembalikan kepada pemerintah Indonesia. Tanpa membeli saham PT FI, Pemerintah Indonesia hanya perlu mengeluarkan biaya untuk penggantian investasi peralatan dan fasilitas yang sudah dikeluarkan oleh PT FI, yang sudah tentu biayanya jauh lebih murah dari harga saham yang ditawarkan saat ini.

Apalagi dalam prosesnya, publik luas sudah mencium gelagat yang tidak baik, terutama jika berkaca pada skandal “Papa Minta Saham” yang melibatkan politisi dan saudagar dalam kaitannya dengan kelanjutan kontrak PT FI, yang kasus ini bisa dilihat sebagai politik perburuan rente. Bukan hanya karena upaya memperpanjang kontrak PT FI dipenuhi dengan muatan kepentingan segelintir pihak, Pemerintah juga perlu menghitung kembali, seberapa besar PT FI selama ini membayar royalti serta pajak dan apakah jumlah yang dibayarkan sudah sesuai dengan yang semestinya. Semestinya, dalam melakukan negoisasi dengan PT FI, Pemerintah berdiri mewakili kepentingan rakyat Indonesia, dengan mempertimbangkan berbagai aspek tersebut.

Oleh karena itu, dugaan skandal korupsi dalam proses perpanjangan kontrak PT FI harus menjadi titik tolak ketegasan bagi pemerintah Jokowi, dimana sejak pertama kalinya kontrak karya dibuat pada tahun 60an, Indonesia sampai hari ini tidak pernah dianggap mampu mengelola sendiri. Bahkan ketika masa kontraknya habis, PT FI bersikukuh meminta perpanjangan lagi, mungkin akan terus melakukannya hingga PT FI tidak dapat menghasilkan apapun di masa datang. Tentu, pemerintahan Jokowi harus membuktikan, bahwa ada saatnya Indonesia mengatakan cukup kepada PT FI, dan mulai mengelola sendiri ladang SDA yang masih cukup berlimpah.***

BERITA MINGGU INI

UPDATE STATUS

21 Januari

  • Empat terdakwa kasus korupsi proyek kolam retensi Muktiharjo Kidul, Pedurungan, menjalani sidang lanjutan beragenda pemeriksaan terdakwa di Pengadilan Tipikor Semarang.

  • Mantan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Medan, Dermawan Ginting, dihukum dengan pidana dua tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 2 bulan kurungan karena terbukti menerima suap 5.000 dollar AS dari Gubernur Sumatera Utara nonaktif, Gatot Pujo Nugroho, dan istrinya, Evy Susanti, melalui pengacara Otto Cornelis Kaligis dan M Yaghari Bastara Guntur alias Gery.

  • Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Mukomuko, Provinsi Bengkulu, menetapkan empat orang tersangka baru dalam kasus dugaan korupsi penyalahgunaan anggaran pengentasan kemiskinan di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) tahun 2012-2013.

22 Januari

  • Bekas Menteri Pariwisata yang juga mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Jero Wacik, dituntut 9 tahun penjara serta denda Rp 350 juta subsider 4 bulan kurungan. Jero juga dituntut membayar ganti rugi sebesar Rp 18.790.560.224. Jika tak mampu membayar dalam waktu satu bulan, harta benda Jero akan disita. Jika tidak ada harta benda yang bisa disita, ganti ruginya adalah 4 tahun kurungan.

  • Bekas Ketua Komisi Pemilihan Umum Daerah Kabupaten Maros, Andi Jufri, dan bekas Sekretaris KPUD Maros, Abdul Rahman, terancam hukuman bui selama 20 tahun.

  • Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bengkulu membebaskan satu dari tiga terdakwa dalam kasus korupsi penggelapan aset negara di Kabupaten Mukomuko, Provinsi Bengkulu.

  • Mantan Wali Kota Palopo, Andi Tenriadjeng, terancam hukuman maksimal 20 tahun bui dan denda Rp 1 miliar karena telah melakukan tindak pidana korupsi dana kas pengelolaan aset daerah Kota Palopo senilai Rp 8 miliar.

  • Gubernur Banten, Rano Karno, kembali diperiksa penyidik KPK terkait kasus dugaan suap pemulusan penyertaan modal PT BGD pada ABPD tahun anggaran 2016 untuk pembentukan Bank Banten.

25 Januari

  • Direktur Utama PT PLN, Sofyan Basir, diperiksa KPK sebagai saksi kasus dugaan suap penganggaran proyek di Kabupaten Deiyai untuk tersangka anggota Komisi VII DPR, Dewie Yasin Limpo.

  • Mantan General Manager PT Hutama Karya, Budi Rachmat Kurniawan, dituntut hukuman penjara selama lima tahun serta membayar uang pengganti sebesar Rp 576,5 juta atas korupsi dalam proyek pengadaan dan pelaksanaan pembangunan Balai Pendidikan dan Pelatihan Ilmu Pelayaran Tahap III di Kabupaten Sorong tahun 2011.

26 Januari

  • Damayanti Wisnu Putranti, tersangka kasus dugaan suap proyek pembangunan infrastruktur di Provinsi Maluku, mengajukan diri sebagai justice collaborator.

  • Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak seluruh permohonan praperadilan RJ Lino atas penetapan dirinya sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan quay container crane atau derek tetap di Pelindo II.

27 Januari

  • Penyidik KPK memeriksa anggota Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Golkar, Budi Supriyanto, sebagai saksi dalam kasus dugaan suap proyek infrastruktur di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dengan tersangka Chief Executive Officer PT Windhu Tunggal Utama Abdul Khoir, yang juga melibatkan Damayanti Wisnu Putranti.

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan