Bersihkan Institusi Penegak Hukum dan Ditjen Pajak dari Mafia

Pernyataan Sikap
- Jangan Hanya Menari-nari dari Kasus per Kasus -

Satu persatu skandal mafia di tubuh penegak hukum dan Direktorat Jenderal Pajak terungkap. Mulai dari kasus Gayus H. Tambunan yang menimbulkan efek domino di Direktorat Jenderal Pajak, Kepolisian, Kejaksaan hingga Pengadilan. Masing-masing institusi menyikapi skandal sistemik ini dengan keseriusan yang berbeda. Departemen Keuangan terlihat paling tegas, dengan cara menon-aktifkan sejumlah pegawai dan pejabat di tempat Gayus bertugas, dan membuka akses pelaporan LHKPN terhadap pegawai pajak yang sebelumnya tidak tersentuh bahkan oleh KPK. Kepolisian pun melakukan beberapa hal, seperti penetapan tersangka dua penyidik, menon-aktifkan satu jenderal yang diduga terkait dan melakukan serangkaian pemeriksaan kode etik secara internal.

Meskipun dinilai paling lambat dan tidak progres, kejaksaan juga menyatakan tak cermat beberapa jaksa peneliti dan Jaksa penuntut umum yang menangani kasus Gayus. Sayangnya, Kejaksaan masih berkutat di persoalan administratif. Padahal, dugaan aliran uang terhadap jaksa sudah disampaikan oleh PPATK. Sebaliknya, di institusi pengadilan, Mahkamah Agung justru menyatakan hakim-hakim tersebut bersih dan tidak melakukan pelanggaran apapun. Berbanding terbalik dengan Komisi Yudisial yang akhirnya menemukan dugaan aliran uang terhadap hakim.

Selain itu, pembersihan organisasi advokat juga sangat penting. Selain organisasi ini tergolong sebagai salah satu aparat penegak hukum, peran advokat yang bersih juga mutlak dibutuhkan dalam konteks perang terhadap mafia hukum. Dalam kasus Gayus, terlihat peran advokat yang diduga ikut berkontribusi dalam praktek mafia hukum, sedangkan organisasi advokat justru berupaya memproteksi anggotanya.

Mencermati fenomena institusi-institusi diatas, sepintas masyarakat mungkin berpikir telah dilakukan beberapa perbaikan. Akan tetapi, kita sadar betul, bahwa penanganan seperti ini rentan terjebak dan dilokalisir hanya pada kasus-per kasus. Sulit mempercayai, proses administratif dan hukum yang cenderung setengah hati ini mampu membersihkan kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan ditjen pajak dari mafia dan praktek kotor tindak pidana korupsi. Belajar dari sejumlah skandal di institusi tersebut di tahun-tahun sebelumnya, yang terus terulang, maka tidak berlebihan jika kita menyebut, apa yang dilakukan hari ini hanyalah “buih-buih”. Bukan sebuah keseriusan yang substantif  untuk benar-benar membersihkan institusi penegak hukum, dan ditjen pajak dari bakteri mafioso.

Perang terhadap Mafia Hukum, Mafia Pajak dan korupsi itu sendiri haruslah dilakukan secara institusional. Ia tidak mungkin bisa dituntaskan dengan cara menari-nari dari satu kasus per-kasus. Karena gegap gempita penanganan kasus Gayus, Bahasyim, atau bahkan kasus lainnya justru rentan dimanfaatkan untuk kepentingan politik pencitraan, kamuflase komitmen antikorupsi, dan bahkan bukan tidak mungkin akan memperkuat konsolidasi mafia di tubuh masing-masing institusi. Karena kita sangat sadar, ibarat tanaman, lahan untuk praktek mafia di tubuh kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan terutama Direktorat Jenderal Pajak, masih sangat subur. Karena itulah, pemberantasan praktek mafia melekat di institusi, sistemik dan cenderung terkonsolidasi, tidak dapat hanya dilakukan secara parsial dan kasus per-kasus.

Koalisi Masyarakat Sipil menilai, saat ini adalah momentum yang paling tepat untuk melakukan pembersihan institusi (bukan perorangan semata), dengan cara perombakan total. Baik dari aspek kepemimpinan, ataupun sistem, regulasi, promosi dan mutasi, pengawasan, sanksi, kekayaan yang tak wajar, dan juga remunerasi yang layak. Kapolri dan Jaksa Agung, misalnya. Dua tampuk tertinggi institusi Kepolisian dan Kejaksaan ini telah dinilai tidak mampu membersihkan, menjaga dan menempatkan institusinya sebagai penegak hukum yang ideal.

Di era Jaksa Agung, Hendarman Supandji lah skandal Urip Tri Gunawan yang melibatkan sejumlah Jaksa Agung Muda, Jaksa penjual narkoba, kasus Anggodo yang merembet hingga ke Wakil Jaksa Agung, dan kali ini kasus mafia pajak, Gayus H. Tambunan. Demikian juga dengan Kepolisian, yang justru semakin memperburuk citra publik terhadap institusi yang sedang mereformasi diri ini. Mulai dari diragukannya independensi Polri dalam penyelenggaran pemilu dan pilpres, kisruh cicak vs buaya, kasus Anggodo yang tidak mampu ditangani, dan dugaan ketelribatan sejumlah jenderal polisi di kasus Gayus. Sulit dibayangkan, perang terhadap mafia hukum bisa berjalan efektif jika kondisi status quo seperti hari ini masih dipertahankan.

Lebih dari itu, kita harus bersihkan institusinya! Karena jika Kepolisian kotor, Kejaksaan dan pengadilan tercemar, dan Dirjen Pajak tetap tak mampu membasmi mafia di tubuhnya, maka semua ini akan merugikan dan mengancam masyarakat secara langsung. Tidak akan ada pengayom masyarakat jika kepolisian mengabdi pada kepentingan mafia; hukum akan tumpul jika kejaksaan dan pengadilan tercemar; dan uang negara akan terus bocor di Ditjen Pajak dengan ketimpangan penghasilan yang luar biasa antara pegawai pajak dengan masyarakatnya.

Sehingga, tidak berlebihan jika kita memberikan warning sejak awal, bahwa kita sedang berada di titik kondisi “Darurat Mafia”. Bahwa sendi-sendi penting institusi pelayanan  masyarakat dan penghasilan negara sedang dibajak oleh kekuatan mafioso. Sedangkan, komitmen politik pimpinan negara tidak beranjak dari sekedar permainan kasus-per kasus. Hal ini akan mempersulit keadaan Indonesia, tidak hanya untuk pemberantasan korupsi, akan tetapi juga berimplikasi terhadap penegakan HAM, pertumbuhan ekonomi, peningkatan kualitas hidup rakyat, dan bahkan kepercayaan masyarakat terhadap pemimpinnya. Kekhawatiran inilah yang bukan tidak mungkin terjadi jika penanganan skandal demi skandal ini hanya terfokus pada aspek entertain (pertunjukan dan bombastis)-nya semata.

Oleh karena itu, Koalisi Masyarakat Sipil, mendesak:
I. Presiden Yudhoyono:
a. Sebagai pimpinan dari sejumlah lembaga yang terkait skandal hukum, agar berkerja dan memprioritaskan pembersihan institusi penegak hukum (kepolisian, dan kejaksaan) dan Direktorat Jenderal Pajak dari praktek mafia;
b. Presiden Yudhoyono melakukan pergantian struktur pimpinan di Kepolisian dan Kejaksaan;
c. Mengeveluasi reformasi birokrasi dan segera menyusun regulasi “Pembuktian Terbalik”, yang pertama kali dilakukan di Direktorat Jenderal Pajak, dan secara bertahap diterapkan pada institusi penegak hukum;
II.         Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial mengevaluasi sistem pengawasan dan pemberian sanksi yang lemah selama ini;
III.       KPK menegaskan jati dirinya untuk mempimpin pemberantasan mafia hukum di Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan bahkan advokat; dan,
IV.       Organisasi Advokat untuk proaktif dan tidak melakukan pembelaan terhadap advokat yang terlibat praktek mafia hukum.

Jakarta, 18 April 2010

KOALISI MASYARAKAT SIPIL

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan