BAP Tersangka 9 Anggota DPRD NAD Segera Dilimpahkan

Jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Tinggi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam segera melimpahkan berkas berita acara pemeriksaan (BAP) sembilan tersangka korupsi Rp 5,7 miliar yang melibatkan anggota DPRD Kota Banda Aceh ke Pengadilan Negeri setempat.

Kepala Kejati NAD Andi Amir Achmad SH kepada wartawan di Banda Aceh, Jumat, menyatakan, paling lambat akhir Mei 2004 BAP sembilan tersangka anggota dewan itu dilimpahkan ke PN Banda Aceh untuk disidangkan.

Sembilan tersangka anggota dewan tersebut adalah M. Amin Said SH (ketua), Muntasir Hamid (wakil ketua), Razali Achmad (wakil ketua), Anas Bidin Nyak Sjech (PAN), Amri M. Ali (PPP), Tgk. Zubir Idris (PBB), Tjut Ali Umar, Fadiel Amin (Partai Golkar), dan Dahlan Yusuf (PDIP).

Disebutkan, dari hasil laporan, pihak JPU kini sedang melakukan penyelesaian akhir BAP, sehingga diperkirakan paling lambat akhir bulan ini sudah selesai dan dilimpahkan ke pengadilan.

Sebenarnya, dalam kasus tersebut melibatkan 26 dari 30 anggota DPRD Kota Banda Aceh menjadi tersangka, namun baru sembilan yang akan diproses dalam persidangan, sedangkan sisanya akan menyusul, katanya.

Dalam kasus tersebut pihak kejaksaan juga telah menyita 21 unit mobil milik tersangka, sebagai barang bukti. Dari jumlah tersebut sebanyak 18 unit merupakan mobil jenis kijang kapsul, sedangkan selebihnya sedan dua unit, jeap jenis Opel Blezer, dan satu unit mini bus Suzuki Carry.

Sementara itu, dua tersangka yakni Daeng Iskandar dan Muntasir mengembalikan uang masing-masing Rp 125 juta, yang kini diamankan di Bank BPD NAD.

Menurut Andi, tujuan menyita mobil pribadi dan uang anggota dewan itu untuk menyelamatkan kerugian negara pada proses pengadaan mobil pribadi anggota DPRD Banda Aceh yang diduga tidak sesuai prosedur. Dari para tersangka tersebut ada tiga yang hingga kini belum menyerahkan barang bukti, yakni Razali Ahmad, Akhyar Abdullah, dan Said M. Zein.

Para anggota dewan tersebut menjadi tersangka karena diduga melakukan tindak pidana korupsi dalam kasus pengadaan mobil pribadi dengan menggunakan dana APBD Kota Banda Aceh 2002 senilai Rp 5,7 miliar.

Anggota DPRD Kota Banda Aceh berjumlah 30 orang, sementara yang menerima bantuan dana tersebut sebanyak 28 orang, dua diantaranya menolak. Dari 28 orang tersebut dua diantaranya sudah meninggal dunia.

Kejaksaan Tinggi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) juga sedang mengungkap kasus korupsi senilai Rp 17 miliar di PT Kertas Kraf Aceh (KKA) Krueng Geukuh, Lhokseumawe, yang merupakan perusahaan milik negara.

Kajati NAD Andi Amir Achmad SH mengatakan, untuk mengungkap kasus tersebut pihaknya telah memanggil sejumlah saksi dan terindikasi kuat adanya korupsi di perusahaan negara tersebut.

Dalam kasus tersebut pihaknya akan menetapkan dua tersangka, yang melibatkan petinggi di PT KKA dan rekanan. Namun ketika ditanya identitas kedua tersangka tersebut Andi Amir tidak bersedia menyebutkan, dengan alasan agar tidak mengganggu proses penyidikan yang sedang berjalan.

Dugaan adanya korupsi tersebut terjadi pada tahun 2001 dan 2002. Pada tahun tersebut pihak manajemen PT KKA memasarkan produksinya sebanyak 12.000 ton dengan harga di bawah standar, yakni Rp 3,570 juta/ton, sedangkan harga standar Rp 4,6 juta/ton melalui distributor.

Dari hasil penjualan tersebut distributor mendapat fee sebesar empat persen, dengan catatan tidak boleh menjual hasil produksi dari harga komersial.

Namun, lanjut Andi, dalam kenyataannya pihak distributor menjual kertas semen tersebut di atas harga standar, yakni Rp 5 juta/ton, dan hasil penjualan tersebut tidak diserahkan ke pihak perusahaan.

Jadi pihak distributor telah melakukan dua kesalahan, yakni menjual harga di bawah standar dan hasil penjualan sebesar Rp 5 juta/ton tidak diserahkan ke perusahaan.

Andi menyatakan, dalam kasus tersebut distributor diperkirakan bermain dengan oknum pejabat di PT KKA, sehingga proses penjualan kertas semen tersebut berjalan lancar. Akibat perbuatan distributor dan oknum pejabat di PT KKA tersebut negara dirugikan sekitar Rp 17 miliar.

Kertas semen produksi PT KKA tersebut dipasarkan ke sejumlah pabrik semen di tanah air dan ada juga ke luar negeri, seperti di Singapura.

Pada bagian lain penjelasannya Andi Amir Achmad mengatakan, Kejati NAD juga sedang menyelidiki kasus dugaan mark-up dalam pembelian helikopter jenis Mi-2 oleh Pemda dan Pemkab se-NAD dengan harga yang mencapai Rp 12,6 miliar.

Andi Amir Achmad SH mengatakan, dalam melakukan penyelidikan tersebut pihak kejaksaan akan bekerja sama dengan pihak Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Disebutkan, pada tahap awal BPKP akan melakukan audit pembelian helikopter asal negara Ukraina, dan apabila terindikasi adanya mark- up maka kasus tersebut akan ditingkatkan menjadi penyidikan.

Selain itu, lanjut Kajati Andi, pihaknya juga telah melakukan pemeriksaan terhadap sejumlah pejabat Pemda NAD yang diperkirakan mengetahui banyak tentang pembelian helikopter yang bermasalah tersebut.

Andi mensinyalir adanya mark-up yang sangat besar dalam pembelian helikopter jenis Mi-2 oleh Pemprov NAD dan Pemkab se-NAD tersebut.

Disebutkan, helikopter jenis Mi-2 pernah dibeli oleh TNI-AL pada tahun 2002, dengan harga sebesar 350.000 dolar AS atau setara dengan Rp 3,5 miliar dengan kurs satu dolar Rp10.000.

Jadi, alangkah mengejutkan jika harga pembelian helikopter yang dilakukan oleh Pemda NAD tahun 2003 pada jenis helikopter yang sama melonjak drastis hingga mencapai harga Rp 12,6 miliar. Dengan demikian, dalam pembelian helikopter dengan menggunakan uang rakyat yang berasal dari APBD tersebut terdapat selisih harga yang sangat mencolok yaitu sebesar Rp 9,1 miliar.

Oleh karenanya pihak BPKP akan melakukan pemeriksaan sejauh mana adanya dugaan mark up pembelian heli tersebut.

Kejaksaan masih menunggu hasil pemeriksaan BPKP dan apabila terbukti adanya dugaan mark up, kasus ini akan kita proses menjadi penyidikan, demikian Andi Amir Achmad.

Dari Sidoarjo dilaporkan, Forum Anti Korupsi Sidoarjo (FAKS), Jumat, menggelar aksi penggalangan tanda tangan di depan gedung DPRD setempat dengan tuntutan mendesak Kejaksaan Negeri (Kejari) Sidoarjo menahan semua anggota dewan yang terlibat dalam kasus korupsi Rp 20,3 miliar.

Semua anggota dewan yang terlibat harus ditahan dan dihukum. Kok enak, habis makan uang haram terus bebas, kata Ghofar, salah seorang perwakilan FAKS di sela-sela aksi tersebut.

Dalam kasus korupsi senilai Rp 20,3 miliar di DPRD Sidoarjo saat ini masih ditahan tersangka utama Ketua DPRD Drs Ustman Ihsan SH MM. Sedangkan, pihak Kejari Sidoarjo terus menyelidiki dan tidak menutup kemungkinan ada tambahan tersangka baru.

Sebelumnya, Forum Kajian Kebijakan Publik (FKKP) Sidoarjo juga melakukan unjuk rasa dengan tuntutan serupa yakni mendesak Kejari setempat untuk segera menambah tersangka lain terkait masalah korupsi Rp 20,3 miliar itu, karena mereka menilai tidak mungkin korupsi dilakukan sendiri oleh ketua dewan.

Dalam aksi FAKS itu, beberapa elemen masyarakat tampak membubuhkan tandatangannya pada selembar kain putih sepanjang kurang lebih 15 meter dan lebar satu meter. Dari tandatangan yang tertera, ada perwakilan pedagang kaki lima (PKL), partai politik, IPNU cabang Sidoarjo, PMII, PAC GP Ansor, Aliansi Seniman Surabaya, beberapa LSM maupun pengguna jalan, dan sejumlah wartawan. (L-2/Ant)

Sumber: Suara Karya, 25 Mei 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan