Analisa Mingguan: Reshuffle Selera Partai

Presiden Joko Widodo akhirnya benar-benar melakukan reshuffle kabinet. Sejumlah menteri atau pejabat setingkat menteri diganti dan digeser. Menteri Koordinator Bidang Politik (Menkopolhukam) Tedjo Edhy Purdijanto diganti Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Koordinator Kemaritiman Indroyono Soesilo diganti Rizal Ramli, Menteri Koordinator Perekonomian Sofyan Djalil diganti Darmin Nasution, Sofyan Djalil menjadi Kepala Bappenas menggantikan Andrinof Chaniago, Menteri Perdagangan Rahmat Gobel diganti Thomas Lembong, Menteri Sekretaris Kabinet Andi Widjojanto diganti Pramono Amung. Luhut Panjaitan mendapat tambahan jabatan, selain kepala staf kepresidenan juga Menkopolhukam.
 
Usulan reshuffle pertama kali sebenarnya dilontarkan dalam kongres PDI Perjuangan di Bali(http://www.solopos.com/2015/05/04/reshuffle-kabinet-jokowi-pdip-akui-reshuffle-kabinet-usulan-kongres-bali-600880).  Usulan tersebut didukung oleh Koalisi Indonesia Hebat, gabungan partai pendukung Presiden Jokowi.  Ketua umum Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) Letjen TNI (Purnawirawan) Sutiyoso mengatakan usulan KIH akan disampaikan secara langsung dalam pertemuan dengan ke presiden (http://www.cnnindonesia.com/politik/20150504203709).
 
Dalam pidato tahunan di sidang tahunan DPR/MPR/DPD Presiden Jokowi menjelaskan bahwa tujuan reshuffle kabinet untuk meningkatkan kinerja pemerintahan. Jokowi mengakui masih banyak persoalan yang menghadang, beberapa di antaranya; ketidakstabilan ekonomi, kesenjangan, dan praktik korupsi (http://www.merdeka.com/politik/di-sidang-tahunan-mpr-jokowi-jelaskan-alasan-lakukan-reshuffle.html)
 
Walau presiden menyatakan bahwa korupsi menjadi masalah utama yang tengah dihadapinya, namun reshuffle tidak menyasar Menteri yang berkaitan langsung dengan pemberantasan korupsi seperti menteri hukum dan hak azasi manusia (Menkumham). Padahal tuntutan publik agar Jokowi mengganti Yasonna Laoly cukup kuat. Beberapa sikap dan kebijakan yang digulirkan Menkumham bertolak belakang dengan upaya presiden untuk memberantas korupsi seperti pemberian remisi bagi koruptor.
 
Keputusan presiden mereshuffle kabinet sepertinya memang hanya merespon dua masalah. Pertama, masalah ekonomi. Pergantian dan pergeseran menteri dalam bidang ekonomi ditujukan untuk mengatasi tekanan krisis ekonomi global yang berdampak langsung antara lain pada pelemahan mata uang rupiah. Kedua, mengakomodir kepentingan partai pengusung terutama PDI Perjuangan untuk mendapat tambahan jatah menteri dalam kabinet.
 
Selain itu, yang juga disorot adalah proses reshuffle adalah prosesnya yang tidak melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. Jokowi tidak meneruskan tradisi baik yang sudah dimulainya pada saat pembentukan kabinet. Padahal keterlibatan KPK dan PPATK tidak hanya bisa membantu untuk memastikan calon pembantunya memiliki rekam jejak yang baik, tapi juga meningkatkan kepercayaan publik kepada kabinet.***

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan