20 Tahun Reformasi: Gerakan Anak Muda Melawan Korupsi

“Berbicara reformasi 1998 adalah berbicara mengenai distribusi kesejahteraan masyarakat yang diselewengkan oleh kekuasaan yang korup”

Antikorupsi.org, Jakarta, 14 Mei 2018 – Bulan Mei setiap tahunnya selalu diperingati sebagai bulan kelahiran reformasi, dan tahun 2018 tepat 20 tahun reformasi. Salah satu amanat reformasi yang harus terus dilakukan hingga saat ini adalah memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dalam memperingati 20 tahun reformasi, Indonesia Corruption Watch (ICW) mengadakan Ngobrol Santai Antikorupsi (Ngobras) dengan tema “20 Tahun Reformasi: Gerakan Anak Muda Melawan Korupsi dan Pembukaan Sekolah Antikorupsi (SAKTI) 2018” di Kantor ICW pada Rabu, 9 Mei 2018.

Selama kurun waktu 20 tahun terakhir, sejumlah upaya memberantas korupsi terus dilakukan. Upaya-upaya tersebut seperti membuat regulasi antikorupsi, membentuk lembaga antikorupsi yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), mencegah praktek korupsi, serta menegakkan hukum kepada koruptor.  Meski demikian, korupsi tak jera dilakukan baik oleh orang tua maupun orang muda.

Savic Ali, salah satu narasumber dalam Ngobras sekaligus mantan aktivis 98, mengatakan pada 1998, reformasi dimulai oleh mahasiswa dengan mimbar bebas di kampus meski tidak diliput media. “Kala itu banyak tekanan dari mahasiswa di seluruh Indonesia yang menentang rezim Soeharto”, kata Savic Ali.

Adapun salah satu narasumber dalam Ngobras sekaligus mantan aktivis reformasi yang bekerja dalam redaksi media, Maman Suherman biasa dipanggil Kang Maman, mengatakan tahun 1998 perspektif media sangat dipengaruhi oleh orang-orang yang tidak tampak secara langsung tetapi berkuasa. “Tidak hanya Soeharto yang menakutkan, tetapi juga istrinya karena melarang membeli tabloid Nova akibat memberitakan Dharma Wanita”, kata Kang Maman.

Kondisi saat ini dan pada masa reformasi 1998 sangat berbeda bila dilihat dari kebebasan media dan tekanan masyarakat. “Saat ini media bebas memberitakan apapun, banyak intelektual yang muncul di TV dan media cetak atau online, tetapi tekanan masyarakat terhadap pemerintahan untuk menuntut pemberantasan korupsi kurang”, kata Savic. Kang Maman menambahkan bahwa pada 1998 transparansi Indonesia lebih buruk karena tidak ada penegak hukum dan media yang berani menangkap serta memberitakan koruptor. “Kalau ada orang yang bilang lebih baik kembali ke masa Orde Baru, silakan saja, tetapi terima semua konsekuensinya”, imbuh Kang Maman.

Siti Juliantari yang biasa dipanggil Tari, salah satu narasumber termuda dan Koordinator Divisi Kampanye ICW, mengatakan organisasi masyarakat sipil pun turut serta berperan aktif dalam upaya memberantas korupsi. Upaya yang dilakukan seperti mendorong dibentuknya Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Keterbukaan Informasi Publik, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, lembaga pelayanan publik, serta lembaga Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. “Selain taraf Undang-Undang dan lembaga, kami juga melakukan training pemberdayaan masyarakat karena ada masyarakat yang belum paham dampak dari korupsi”, imbuh Tari.

Dalam beberapa tahun terakhir posisi Indonesia masih tergolong dalam kategori negara terkorup berdasarkan survey Transparency International. Jumlah koruptor dan nilai kerugian negara yang timbul juga mengalami peningkatan setiap tahunnya.

Data KPK pada tahun 2017, operasi tangkap tangan telah dilakukan sebanyak 19 kali. Adapun sejak tahun 2004-2017 ada 78 kepala daerah yang berurusan dengan KPK. Tahun 2007-2017 ada 73 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan 122 Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang terciduk KPK. 122 DPRD tersebut tersebar di 14 daerah dan Jawa Barat, Sumatera Utara, dan Jawa Timur adalah daerah terbanyak terjadinya korupsi dengan mayoritas kasusnya adalah suap.

Febri Diansyah, salah satu narasumber dan juru bicara KPK, mengatakan hal mendasar jika berbicara mengenai reformasi 1998 adalah distribusi kesejahteraan masyarakat diselewengkan oleh kekuasaan yang korup. “Setelah 1998, kita harus lebih fokus memberantas korupsi”, kata Febri.

Febri pun menambahkan bahwa selama 15 tahun KPK berdiri selalu ada usaha menghancurkan usaha-usaha dan lembaga pemberantasan korupsi. Para koruptor tidak hanya melawan dengan case by case tetapi sekarang dengan memangkas akarnya sehingga kinerja pemberantasan korupsi sangat terganggu. “KPK ada sebagai satu kerja kelanjutan pemberantasan korupsi dari era reformasi, sehingga KPK adalah milik rakyat dan harus dijaga bersama”, imbuh Febri.

Fenomena korupsi yang semakin mewabah kemudian melahirkan regenerasi koruptor di Indonesia. Terjadi kecenderungan bahwa pelaku korupsi tidak saja hanya dilakukan oleh orang tua namun merambah ke orang muda. Savic Ali menanggapi fenomena ini dengan mengatakan bahwa tekanan masyarakat kepada pemerintah harus dibuat tinggi, dan salah satu caranya dengan membuat konten media sosial yang kreatif dan langsung berdampak pada masyarakat. Kang Maman juga menambahkan bahwa budaya malu dan memiskinkan koruptor harus digalakkan.

Berdasarkan studi "Most Littered Nation In the World" yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016, Indonesia menempati peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca. Negara yang budaya literasinya tinggi terbukti menjadi negara yang paling tidak korup dan bahagia. “Negara-negara berliterasi tinggi dapat menyelesaikan masalah karena mereka pintar, tidak perlu korupsi”, kata Kang Maman.

Untuk mencegah wabah korupsi, perlu dilawan dengan mengembangbiakkan kader antikorupsi. Febri mengatakan bahwa KPK selain berlaku responsif dalam menangkap koruptor, juga sudah melakukan antisipasi dengan mengedukasi calon-calon leader masa depan. Adapun ICW berinisiatif mencetak kader-kader antikorupsi dengan membuka Sekolah Antikorupsi (SAKTI) angkatan 4.

SAKTI telah berjalan sejak tahun 2013, 2015, dan 2017.  “Dan tahun ini kami membuka SAKTI dengan pendaftaran dimulai pada hari ini (9/5) sampai 22 Juni 2018”, kata Tari. Akan dipilih 20 orang muda yang dapat mengikuti SAKTI di Jakarta. Selengkapnya dapat dilihat di https://antikorupsi.org/sakti2018. ***

Penulis: Dewi

Editor: Emerson

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan

 

Tags