Siaran Pers Putusan MK Tidak Menghapuskan Pembatasan Remisi bagi Koruptor

credit: mkri.id

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait uji materi Undang-Undang Pemasyarakatan yang dilayangkan oleh terpidana korupsi, OC Kaligis, beberapa waktu lalu mengundang diskursus di tengah masyarakat. Sebab, ada sejumlah pihak yang beranggapan putusan itu telah membuka kesempatan lebar bagi terpidana korupsi untuk mendapatkan pengurangan hukuman atau remisi secara tanpa syarat. Maka dari itu, ada sejumlah argumentasi untuk meluruskan ihwal hal tersebut.

Secara umum, putusan MK Nomor 41/PUU-XIX/2021 sama sekali tidak menghapuskan pembatasan remisi bagi narapidana korupsi. Sebab, dalam banyak putusan MK, diantaranya nomor 82 /PUUXV/2017 dan nomor 54/PUU-XV/2017, juga berbicara hal yang sama. Untuk memperjelasnya, berikut analisis yang telah dibuat.

1. Pembatasan Hak Diperbolehkan UUD 1945 Dua putusan MK tahun 2017 sebagaimana disampaikan sebelumnya telah menyatakan bahwa pembatasan hak dalam pengaturan remisi merupakan sesuatu yang tidak melanggar HAM. Konsep itu sesuai dengan gagasan pembatasan hak dalam Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945 yang menentukan pembatasan hak melalui undang-undang. Berdasarkan Pasal 14 ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, pembatasan hak itu didelegasikan undang-undang kepada Peraturan Pemerintah.

Bahkan pengaturan lebih lanjut terkait pengetatan pemberian remisi kepada terpidana dengan kategori kejahatan khusus, salah satunya korupsi, telah dinyatakan konstitusional oleh Mahkamah Agung (MA). Hal itu tergambar dalam putusan MA Nomor 51 P/HUM/2013 dan Nomor 63 P/HUM/2015. MA menegaskan bahwa perbedaan syarat pemberian remisi merupakan konsekuensi logis terhadap adanya perbedaan karakter jenis kejahatan, sifat berbahayanya, dan dampak kejahatan yang dilakukan oleh seorang terpidana. Maka dari itu, pendapat MK mestinya diabaikan karena bertolak belakang dengan lembaga yang memiliki kewenangan langsung menguji PP 99/2012.

2. Mahkamah Menolak Seluruh Pokok Permohonan OC Kaligis Masyarakat dan pembuat keputusan administratif atau pemerintah tidak dapat memaknai berlebihan putusan MK tersebut. Sebab, mahkamah sama sekali tidak mengabulkan pokok permohonan yang diajukan oleh OC Kaligis. Satu sisi memang mahkamah memberikan pertimbangan terkait model pengaturan mengenai pemberian remisi. Akan tetapi, sebagaimana dinyatakan dalam putusan, MK tidak memiliki kewenangan mengoreksi peraturan pemerintah terkait aturan teknis pembatasan remisi. Maka dari itu, keliru jika kemudian putusan MK tersebut dianggap membuka ruang untuk mengatur ulang syarat pemberian remisi bagi narapidana korupsi.

3. Mahkamah Tidak Membatalkan atau Menafsirkan Lain UU Pemasyarakatan Putusan MK sama sekali tidak membatalkan dan menafsirkan UU Pemasyarakatan selain daripada yang eksis berlaku saat ini. Bahkan, MK juga menjadikan putusan-putusan MK sebelumnya yang juga sempat diuji oleh OC Kaligis sebagai dasar untuk menyatakan UU Pemasyarakatan sah dan konstitusional.

4. Mahkamah Bukan Membuka Remisi untuk Narapidana Korupsi, Tetapi Menghendaki Model Baru Pemberian Remisi MK dalam putusannya menyatakan tidak hendak ikut campur dalam penentuan pemberian remisi terutama terkait eksistensi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 (PP 99/2012). Namun permasalahannya adalah pandangan MK tentang model pemberian remisi harus melalui putusan peradilan. Dari sana, seolah kesan yang timbul, baik pembatasan maupun pemberian remisi melalui PP 99/2012 merupakan suatu kesalahan. Padahal, MK sendiri dalam putusan tersebut sudah menyebutkan bahwa wilayah pengujian PP bukan merupakan bagian kewenangannya. Maka dari itu, putusan MK tersebut jelas error in objecto karena membahas sesuatu yang bukan objek perkaranya serta majelis hakim konstitusi terlihat memaksakan diri mengeluarkan pendapat sehingga membuka ruang tafisr berbeda di tengah masyarakat.

5. Putusan Mahkamah Tidak Tegas Meskipun MK sama sekali tidak membatalkan peraturan-peraturan yang ada terkait remisi, namun putusan ini tidak tegas. Sederhananya, jika memang putusan tersebut tidak bertentangan dengan putusan-putusan MK terdahulu maka tidak perlu lagi komentar-komentar lain di luar substansi permohonan dengan berbagai alasan. Itu sebabnya komentar MK terkait remisi dan kewenangan hakim untuk menentukannya terkesan tidak tegas dalam melindungi putusan-putusan sebelumnya.

Ketidaktegasan itu justru semakin memperlihatkan ketiadaan sense of crisis terhadap kejahatan korupsi di Indonesia. Sebagaimana dipahami, praktik korup masih merajarela dan menjadi sumber utama penghambat kesejahteraan masyarakat. Tidak hanya itu, MK juga gagal dalam memahami pemaknaan korupsi sebagai extraordinary crime yang membutuhkan perlakuan khusus untuk dapat memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan. Sehingga, kalau seluruh terpidana, tanpa terkecuali, dapat dengan mudah mendapatkan remisi, bukankah itu merupakan pandangan yang menyamaratakan semua tindak pidana? Padahal putusan-putusan MK terdahulu tegas mengesahkan pembatasan hak untuk menerima remisi bagi pelaku kejahatan-kejahatan khusus seperti korupsi.

6. Putusan Mahkamah Keliru dalam Melihat Persoalan Terkini Dalam salah satu butir pandangannya, MK menyebutkan bahwa persyaratan pemberian remisi bagi terpidana dengan kejahatan khusus berdampak pada situasi overcrowded di lembaga pemasyarakatan. Jelas pandangan MK keliru, sebab, mengacu pada data per Maret tahun 2020, jumlah terpidana korupsi hanya 0,7 persen (1.906 orang) jika dibandingkan dengan total keseluruhan warga binaan (270.445 orang). Dalam konteks kejahatan lain, misalnya, narkoba, sepertinya permasalahannya bukan pada pengetatan remisi, melainkan undang-undang dan implementasi dari penegak hukum.

7. Putusan Mahkamah Tidak Dapat Dijadikan Alasan Mengubah PP 99/2012 Mahkamah sama sekali tidak berwenang menafsirkan apapun yang diatur dalam PP Nomor 99 Tahun 2012, sebab itu bukan objek kewenangannya. Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, MK hanya berwenang menguji konstitusionalitas suatu undang-undang terhadap undang-undang dasar. Sehingga, pemerintah tidak dapat berargumentasi terhadap pandangan mahkamah di luar objek permohonan untuk mengubah PP 99/2012 yang memberikan pembatasan pemberian remisi terhadap pelaku kejahatan-kejahatan tertentu, termasuk korupsi.

Demikian pandangan hukum kami terhadap Putusan Mahkamah Nomor 41/PUU-XIX/2021 yang menetapkan konstitusionalitas UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Hal ini mengartikan dengan sendirinya putusan itu mengakui keabsahan peraturan-peraturan turunan terkait, yakni PP 99/2012. Sebab, UU Pemasyarakatan adalah payung hukum berlakunya peraturan tersebut.

Jakarta, 6 Oktober 2021

 

ICW – PUSAKO FH UNAND – PUKAT UGM

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan