Eksaminasi Putusan Kasasi Syafruddin Arsyad Tumenggung

Penerbitan Surat Keterangan Lunas terhadap Obligor BLBI
Foto: kabarberita.id

Asas hukum yang fundamental tentang putusan pengadilan adalah rex judicata pro veritate habetur atau dapat diterjemahkan dengan putusan hakim harus dianggap benar kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. Dalam menjatuhkan sebuah putusan, hakim dituntut agar menjunjung tinggi sikap independen dan imparsialitas sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Namun, dewasa ini, tak jarang masyarakat sebagai pencari keadilan merasa tidak memperoleh putusan yang benar-benar mengimplementasikan nilai-nilai keadilan, kepastian, dan kemanfaatan.

Berdasarkan data dari Komisi Yudisial dalam rentang waktu 2006-2015 setidaknya 75 persen laporan masyarakat didominasi tentang putusan Hakim yang janggal. Potret seperti ini merupakan hal yang wajar, sebab, berdasarkan peraturan perundang-undangan, praktis tidak mengakomodir peran serta masyarakat dalam sebuah persidangan. Upaya hukum atas putusan hakim yang janggal hanya bisa dilakukan oleh pihak berperkara, baik Jaksa atau terdakwa, melalui banding, kasasi, atau peninjauan kembali.

Terlebih lagi, praktik mafia peradilan di Indonesia kian meluas. Data ICW, sejak tahun 2012 sampai pertengahan 2019 setidaknya 20 hakim telah terjerat hukum karena terlibat praktik korupsi. Data ini semakin menguatkan argumentasi bahwa putusan pengadilan tak jarang juga diwarnai dengan tindakan koruptif. Misalnya, pertimbangan hakim bertentangan dengan amar putusan, bahkan fakta persidangan sering kali diabaikan oleh majelis.

Maka dari itu guna mewujudkan peran serta masyarakat, penting untuk terus digaungkan urgensi pembentukan lembaga eksaminasi. Eksaminasi sendiri berdasarkan Black’s Law Dictionary memiliki arti sebagai ujian atau pemeriksaan. Tujuan tindakan ini secara umum adalah untuk mengetahui, sejauh mana pertimbangan hukum dari hakim yang memutus sebuah perkara disertai penilaian atas prosedur hukum acaranya. Sederhananya, apakah suatu putusan benar-benar sudah menggambarkan nilai keadilan, kepastian, dan kemanfaatan bagi masyarakat. Ditambah lagi, melihat sejauh mana majelis telah mencari serta menemukan kebenaran materiil dalam sebuah perkara.

Eksaminasi sendiri sempat tertuang dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1967 tentang Eksaminasi. Namun sayangnya SEMA itu hanya mengakomodir penilaian putusan hakim oleh Ketua Pengadilan setempat. Sehingga analisa putusan itu hanya dilakukan oleh internal Pengadilan saja, tanpa melibatkan partisipasi masyarakat. Ditambah lagi dalam SEMA tersebut juga tidak dijelaskan perkara seperti apa yang dapat dieksaminasi. Bukan hanya itu, regulasi yang menyoal kekuasaan kehakiman pun terlihat tidak akomodatif akan masukan atau penilaian masyarakat terhadap sebuah putusan.

Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 13 UU a quo bahwa setiap pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum. Praktis peran serta masyarakat dalam ketentuan ini hanya sebatas melihat, mendengar, dan mengikuti jalannya persidangan saja. Padahal Pasal 5 UU a quo menyebutkan bahwa hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Selain itu, pada bagian penjelasan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme disebutkan bahwa

Pengaturan tentang peran serta masyarakat dalam Undang-undang ini dimaksud untuk memberdayakan masyarakat dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, Dengan hak dan kewajiban yang dimiliki, masyarakat diharapkan dapat lebih bergairah melaksanakan kontrol sosial secara optimal terhadap penyelenggaraan negara, dengan tetap mentaati rambu-rambu hukum yang berlaku”

Atas dasar pertimbangan social control terhadap putusan pengadilan, maka menjadi penting bagi masyarakat atau pun para akademisi untuk melakukan eksaminasi. Maka dari itu, dalam kesempatan ini Indonesia Corruption Watch akan melakukan eksaminasi atas perkara penerbitan Surat Keterangan Lunas terhadap Obligor BLBI sekaligus Pemegang Saham Pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia yang dilakukan oleh Syafruddin Arsyad Tumenggung selaku Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional.

Setidaknya ada dua pertimbangan yang mendasari eksaminasi putusan ini. Pertama, sengkarut penerbitan Surat Keterangan Lunas obligor BLBI ini telah sejak lama menarik perhatian publik. Bahkan ICW juga memasukkan perkara ini sebagai tunggakan kasus yang mestinya segera diselesaikan oleh KPK. Kedua, perkara ini merugikan keuangan negara yang sangat besar. Berdasarkan perhitungan Badan Pemeriksa Keuangan, penerbitan SKL ini mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 4,58 triliun.

Silakan unduh laporan lengkapnya dalam lampiran.

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan