Cerita Rezim Koncoisme di Indonesia

Salah satu keburukan rezim otoriter Orde Baru selama 1966-1998 kuatnya politik koncoisme. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, definisi koncoisme adalah paham yang mengutamakan kawan sebagai mitra kerja. Tapi, sesuai dengan ilmu politik ekonomi, lingkup definisinya dapat pula diartikan hubungan informal antara mitra kerja baik kawan maupun kerabat yang mengalami ketergantungan pada pemegang kekuasaan. 

Kemunculan dan pelembagaan koncoisme rezim Presiden RI ke-2 Soeharto terdiri dari praktek dan persekongkolan korupsi politik penguasa bersama segelintir tokoh bisnis. Mereka dianakemaskan lewat pemberian hak-hak monopoli dan kontrak pengadaan barang serta jasa pemerintah. Sehingga, keuntungan ekonomi yang diraih menjadi sangat berlebihan.

Sampai dasawarsa 1980-an ada empat tokoh bisnis yang menguasai secara bersama sektor swasta di Indonesia, yang dekat dengan Soeharto. Dua dari mereka beretnis Tionghoa, Liem Sioe Liong yang lahir di Tiongkok. Ini konco paling dekat Soeharto. Dari hubungan persahabatan mereka, Liem berhasil mengumpulkan dana berskala besar sejak 1966 untuk menjadi modal konglomerasinya.

Berikutnya The Kian Seng yang lahir di Semarang dan berganti nama menjadi Bob Hasan. Ia lalu memeluk Islam. Bob Hasan adalah anak angkat Gatot Subroto, sesepuh Soeharto di TNI Angkatan Darat. Bob Hasan bukan saja memimpin kelompok usaha Kalimanis dan Nusamba, tapi ia juga mengelola pedanaan terkait dengan beberapa yayasan keluarga Soeharto.

Dua konco lainnya lagi adalah kerabat Soeharto: Probosutedjo – adik tiri, dan Sudwikatmono – sepupu. Di kemudian hari, hubungan perkoncoan menghadapi kerumitan sejak kemunculan anak-anak Soeharto. Dalam dunia usaha, anak-anak Soeharto ini juga memanfaatkan kekuasaan kepresidenan.

Walaupun, sebelum rezim Soeharto, korupsi politik bisnis sudah ada. Koncoisme tidak pernah dapat benar-benar kokoh dan melembaga. Di masa sistem politik parlementer (1950-1957), saking seringnya terjadi pergantian kabinet, hubungan perkoncoan tidak dimungkinkan terbentuk secara matang. Setelah 1957, perlawanan yang diperjuangkan oleh Presiden Sukarno terhadap kapitalisme dan para kapitalis juga menghambat penerapan koncoisme politik bisnis.

Setelah Soeharto merebut kekuasaan pada 1966, Liem Sioe Liong ikut naik daun dan menikmati akses khusus ke Istana Kepresidenan. Sejak itu, politik koncoisme berkembang pesat. Stabilitas rezim politik Soeharto selama 32 tahun menyediakan iklim yang menyuburkan koncoisme. Namun begitu, apabila kita telusuri sejarah Indonesia, koncoisme telah muncul bahkan pada era pra-penjajahan.

Para raja, sultan, dan pangeran memberikan akses dan manfaat kekuasaan yang dibarter dengan hak pengumpulan pajak dari masyarakat. Raja atau sultan lebih memilih pemimpin dari kelompok minoritas yaitu etnis Tionghoa. Mereka menduduki jabatan sebagai Syahbandar, karena potensi perebutan kekuasaan lebih kecil.

Menariknya dalam hal ini ada kemiripan dengan strategi yang diterapkan dalam koncoisme politik bisnis di masa Orde Baru. Di satu sisi, penguasa politik memanfaatkan para pengusaha Tionghoa untuk dijadikan mesin uang, diberi fasilitas dan kemudahan. Namun, di sisi lain, dikembangkan pula wacana anti-Tionghoa. Mereka dikambinghitamkan sebagai konglomerat hitam. Ini tak lain agar posisi politik mereka tetap lemah di masyarakat sehingga tidak akan pernah dapat merebut kekuasaan.

Setelah kekuasaan Soeharto terguling, tokoh-tokoh bisnis semakin menjamur. Banyak dari mereka menikmati kaitan yang erat dengan penguasa politik. Pertanyaan paling menonjol yang seharusnya dikemukakan adalah bagaimana dengan transformasi koncoisme semenjak kejatuhan Soeharto? Apa yang sebetulnya terjadi pada konco-konco Soeharto dan harta kekayaannya? Pertanyaan yang lebih relevan adalah apa yang sebetulnya terjadi pada budaya perkoncoan di Indonesia? Perubahan apa telah terjadi semenjak 1998 yang mengubah hubungan di antara tokoh politik dan tokoh bisnis? 

Di Mana Kroni Soeharto Sekarang?

Liem Sioe Liong melarikan diri ke Singapura saat kerusuhan Mei 1998. Saat itu terjadi perusakan rumah, bank, dan aset milik pengusaha, terutama dari kalangan Tionghoa. Bank miliknya, Bank Central Asia atau BCA yang menjadi korban dalam keruntuhan finansial, usaha-usaha manufaktur dan eceran kelompok usahanya tetap bertahan.

Liem Sioe Liong meninggal di usia 96 tahun pada 2012. Konglomerasinya dilanjutkan anaknya, Anthony Salim. Ia memindahkan kelompok usaha Indofood ke Singapura dan dapat digolongkan sebagai korporasi multinasional. Sedangkan di dalam negeri Anthony Salim mengembangkan ribuan Indomaret di seluruh pelosok serta perkebunan kelapa sawit dan perusahaan properti.

Sudwikatmono lahir pada 1934, juga disebut sebut sepupu Soeharto. Ia meninggal di Singapura pada 2011. Walaupun portofolio sahamnya tidak lebih dari 5 persen di kelompok usaha Salim, ia menjabat posisi presiden direktur di beberapa anak perusahaan Liem Sioe Liong seperti Indocement, PT Bogasari Flour Mills (yang memiliki hak monopoli impor tepung terigu) dan Waringin Kencana (yang bergerak dibidang agribisnis).

Sudwikatmono juga mengembangkan kelompok usahanya sendiri antara lain jaringan bisnis bioskop Studio 21. Walaupun harta kekayaannya merosot termasuk pengalihan kepemilikan Studio 21 pada 1999 akibat kebangkrutan Bank Surya, usahanya dapat bangkit kembali setelah terfokus pada perkembangan Indika Energy, perusahaan yang dipimpin anaknya, Agus Lasmono.

Berikutnya Bob Hasan. Mantan konglomerat perkayuan kelahiran 1931 ini sempat sebentar menjadi Menteri Perdagangan pada 1998. Perkembangan kelompok usaha Kalimanis dan kekuatannya sebagai Ketua AsosiasiPanel Kayu Indonesia (Apkindo) mencerminkan betapa ketat pengendaliannya terhadap industri perkayuan dan pengolahan kayu lapis baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

Bob Hasan diperlakukan seakan-akan sebagai koruptor tunggal dalam kepentingan seluruh keluarga Soeharto. Pernah meringkuk di penjara dari 2001-2004. Pamor kelompok usaha Kalimanis semakin merosot, asset perusahaan dan sumber daya ekonomi dari konglomerasi Nusamba sudah dibagikan kepada anak-anak Soeharto.

Probosutedjo, kelahiran 1930, meninggal pada Maret 2018. Adik tiri Soeharto ini mengendalikan kelompok usaha Mercu Buana dan dapat berkembang pesat berkat akses kekuasaan. Ia memperolehan kemudahan izin impor, terutama dalam hak monopoli perdagangan cengkeh bersama Tommy Soeharto atau Hutomo Mandala Putra.

Kelompok usaha Probosutejo berekspansi ke produk kimia, kaca, mobil mewah (Renault), properti, dan pendidikan (Universitas Mercu Buana). Senasib dengan Bob Hasan, Probosutedjo divonis bersalah atas tindak pidana korupsi pada 2003 dan dipenjara selama empat tahun.

Harta kekayaan keluarga Soeharto dan bekas konco-konconya belum pernah ditelusuri dan dikaji secara menyeluruh. Tapi ada beberapa fakta yang perlu dipertimbangkan. Di satu sisi, selama krisis moneter atau krismon pada  1998-1999 pengurangan besarnya harta kekayaan sebagian dari mereka disebabkan oleh kebangkrutan bank-bank swasta yang dimilikinya. Di sisi lain, penyaluran dana besar-besaran dari Bank Indonesia dalam bentuk Bank Liquiditas Bank Indonesia (BLBI) sangat mendukung bertahannya usaha-usaha yang terkait dengan agribisnis, kegiatan-kegiatan manufaktur, prasarana, serta properti (gedung perkantoran dan mal).

Beberapa dari mereka yang bergerak di bidang manufaktur dan perkebunan melepas saham ke pasar modal. Yayasan-yayasan dari periode kepresidenan Soeharto sekarang ini tidak seaktif dahulu. Peranan media massa dan opini umum juga lebih kuat dibanding sebelumnya. Tetapi ”orang kaya lama” ini dengan cerdik melimpahkan perwakilan pada orang-orang kepercayaan untuk mengurusi aset dan usaha mereka. Nilai tanah di perkotaan memang susah ditelusuri, tapi memang nilainya melejit jauh lebih cepat dibandingkan laju inflasi.

Bagaimana Koncoisme Tetap Bertahan?

Zaman now, tokoh-tokoh bisnis masih sangat membutuhkan perlindungan politik. Tetapi aturan mainnya telah banyak berubah. Pertama, tidak ada lagi diskriminasi yang tampak terhadap komunitas Tionghoa. Tokoh-tokoh bisnis telah dijadikan selebriti terkenal dan juga dapat menjabat jabatan sebagai menteri, pemimpin partai politik dan bahkan ada seorang pengusaha etnis Tionghoa yang pernah menjabat sebagai Ketua DPR, yaitu Setya Novanto.

Yang kedua, tidak ada lagi pusat kekuasaan tunggal dalam sistem politik Indonesia. Monopoli telah berubah menjadi oligopoli. Pembentukan dan pembubaran koalisi politik dalam berdemokrasi – yang menyebabkan kekuasaan lebih tersebar di tingkat elit dan antar-parpol – menjadi sangat dikontestasikan dan penuh tawar-menawar politik. Oleh karena itu, tokoh-tokoh bisnis dapat meminimalisir risiko politik dan mengurangi kerentanan terhadap praktik pemerasan politik dan hukum.

Ketiga, dunia swasta dan kegiatan bisnis semakin dihargai dibandingkan dengan sebelumnya. Beberapa dasawarsa yang lalu, orang Indonesia cenderung mengincar posisi-posisi dalam pemerintahan. Namun saat ini, setelah tamat pendidikan formal mereka ingin mencari pekerjaan bergaji tinggi di perusahaan swasta. Kewirausahaan dan daya inovasi menjadi ujung tombak kegiatan-kegiatan bisnis. Para pelaku bisnis tidak lagi didominasi etnis keturunan Tionghoa. Contohnya, kelompok usaha Bakrie dan Kalla berhasil memadukan modal skala besar dan kekuasaan politik tanpa bergantung pada kekuasaan semata. Dan munculnya banyak pemain baru dalam dunia usaha skala besar, khususnya di daerah.

Jadi, para tokoh bisnis dan penguasa politik menghadapi jauh lebih banyak pilihan berkaitan dengan bagaimana mereka berinteraksi satu sama lain. Menurut Koordinator ICW Adnan Topan Husodo, dalam persaingan kedemokrasian sekarang ini, konco telah menjelma menjadi “orang kepercayaan” yang bertindak sebagai, antara lain, bendahara informal untuk penguasa-penguasa politik. Misalnya, Hashim Djojohadikusumo- mantan mitra bisnis Titiek Soeharto (Siti Hediati Hariyadi). Hasyim bertindak sebagai pendana utama Gerindra, partai kakak lelakinya Prabowo Subianto Djojohadikusumo (mantan suami Titiek).

Tokoh bisnis lain seperti Aburizal Bakrie bukan hanya penguasa politik paling kuat di Golkar tapi juga kerapkali menjabat sebagai menteri di kabinet koalisi. Di awal periode kepresidenan Joko Widodo (Jokowi), karena Bakrie mengalami krisis keuangan, maka Setya Novanto tampil di puncak Beringin. Harta kekayaan Setya yang diduga mencapai puluhan triliun, memobilisasi kekuatan untuk memenangkan posisi sebagai Ketua Umum Golkar.

Pada awal 1990-an, cikal bakal praktek korupsi Setya Novanto sudah terlihat dalam kemitraan bisnis proyek pengurusan pembuatan SIM nasional bersama Mbak Tutut (Siti Hardijanti Rukmana). Hampir dua dasawarsa berikutnya, logika persekongkolan politik bisnis tersebut diulangi dalam proyek e-KTP dan terkuak menjadi skandal mega korupsi. Kasus ini menjebloskan Setya Novanto ke bui selama 15 tahun.

Surya Paloh dan Hary Tanoesoedibjo yang mulanya juga dipilih sebagai “wakil-wakil bisnis” yang menerima dan menjaga titipan aset maupun perusahaan milik anak-anak Soeharto, sekarang telah mengembangkan kemandirian politik dan bisnis. Mereka mendirikan Nasdem dan Perindo, partai politik untuk kendaraan menggapai kekuasaan.

Dari semua yang kita telaah, dapat disimpulkan bahwa dari segi perdebatan teoretis tidak berlaku lagi penafsirannya cendekiawan Richard Robison yang menyangkut hubungan para penguasa politik dan tokoh bisnis berdasarkan konsep Marxis kelas borjuois yang berkuasa. Yang paling akurat adalah memandang situasi dan kondisi di puncak kekuasaan politik dan dunia usaha skala besar sebagai persaingan politik bisnis yang sengit terkait erat dengan aturan main “politik uang” yang melembaga.

Oleh karena itu, tokoh politik cenderung bersaing satu sama lain melalui jaringan-jaringan kekuasaan, termasuk hubungan informal bersama dengan tokoh-tokoh bisnis. Anak-anak Soeharto tetap sangat berpengaruh, sama seperti anak-anak para pembesar dan jenderal saat ini. Mereka dapat memanfaatkan harta kekayaan yang berlimpah untuk dijadikan modal dan sumber keuntungan baru. Walaupun tetap memiliki rasa hutang budi dan menghormati anak-anak Soeharto, mantan konco-konconya tidak perlu lagi patuh atau bergantung pada mereka.

Demi kepentingan strategis, tokoh-tokoh bisnis ini mau tak mau mesti mengembangkan dan membina hubungan informal dengan penguasa.

Terbukti, konsep persaingan dan perebutan kekuasaan dan kekayaan merupakan benang merah dalam semua kasus korupsi politik yang muncul di Indonesia. Walaupun tujuan utama proses persaingan ini adalah pengumpulan dana politik besar-besaran (political slush funds) dan/atau mencaplok aliran rente demi kepentingan pimpinan partai politik yang berlawanan satu sama lain.

Tidak dapat dipungkiri betapa pentingnya penerapan strategi elite untuk melawan dan membatasi lawan-lawan mendapatkan akses pada sumber-sumber dana politik tersebut. Sebagai contohnya, penguasa politik termasuk jaringan kekuasaan yang paling kuat memperebutkan sebagian dari kepemilikan saham tambang Freeport Indonesia. Sebagaimana kubu kekuasaan Presiden Jokowi berupaya membatasi akses pengaliran keuntungan terhadap lawan politik seperti Wakil Presiden Jusuf Kalla atau pemimpin Partai Gerindra, Prabowo Subianto.

Dalam konteks ini seorang penguasa yang paling dekat dengan Jokowi, Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Pandjaitan (yang memiliki kelompok Toba Sejahtra) dengan efektif menyusun strategi politik bisnis dengan menempatkan perusahaan yang dikuasai yaitu PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum). Korporasi ini sebagai perusahaan induk dari holding company yang mengendalikan perusahaan tambang di bawah BUMN. Dengan kata lain holding company Inalum disiapkan untuk menekan Freeport McMoran (perusahaan tambang raksasa dari Amerika) dalam perundingan divestasi saham dalam rangka mengupayakan terwujudnya pencaplokan manfaat dari perundingan dalam bentuk saham kosong atau proyek-proyek Freeport (beneficial ownership).

Contoh lain berkaitan dengan perebutan aliran rente dan dana-dana politik dari hak impor minyak. Dalam dasawarsa 90-an, anak-anak Soeharto mendapatkan hak monopoli impor minyak dan gas bumi dari Pertamina. Setelah 1998 dan kejatuhan Presiden Soeharto, hubungan perkoncoannya menjelma menjadi kemitraan bersama Muhammad Riza Chalid.

Riza dengan sigap mengembangkan pengendalian (beneficial ownership) terhadap anak-anak perusahaan Pertamina yaitu Pertamina Energy Services (PES) dan Pertamina Energy Trading Limited (Petral), yang berbasis di Singapura dan Hong Kong, yang menguasai proses pengimporan minyak ke Indonesia. Selama kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono, Riza mengurangi timbulnya risiko politik dan bisnis dengan membina hubungan  persahabatan dengan penguasa. Di antaranya  dengan pemimpin Partai Amanat Nasional, Hatta Rajasa dan Jenderal Pramono Edhie Wibowo, yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan SBY, sebagai besan dan adik ipar.

Dalam periode kepresidenan Jokowi, kubu Wakil Presiden Jusuf Kalla menyerang dan membubarkan PES dan Petral dengan dalih Integrated Supply Chain, semacam konsep tata kelola yang baik. Akan tetapi, perusahaan migas Riza yang memiliki akses khusus sektor hulu Migas tetap berkuasa dalam proses pengimporan minyak internasional ke Indonesia. Berdasarkan rekaman rapat yang dibocorkan ke media massa pada 2015 yang terkenal dengan sebutan kasus Papa Minta Saham. Terdengar Riza menjabarkan secara gamblang bagaimana dia membagikan dana politik pada kedua kubu koalisi yang berlawanan: Jokowi maupun Prabowo ketika memperebutkan kekuasaan pada Pilpres 2014.

Perebutan kekuasaan dan skandal korupsi seperti ini tercermin dalam sebuah semboyan politik yang dikumandangkan mantan Perdana Menteri Inggris Lord Palmerston (1784-1865): “Tidak ada persahabatan dan aliansi abadi, yang ada hanya kepentingan abadi.”

Howard Dick, Profesor, Fakultas Bisnis dan Ekonomi, University of Melbourne sekaligus Newcastle University
Jeremy Mulholland, Peneliti dalam Bidang Pemasaran Bisnis Internasional sekaligus Indonesianis dari Fakultas Ekonomi, La Trobe University, Australia

Diterbitkan di:
https://kolom.tempo.co/read/1089172/cerita-rezim-koncoisme-di-indonesia
http://indonesiaatmelbourne.unimelb.edu.au/old-money-indonesia-beyond-cronyism

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan

 

Tags