Kemerdekaan Terpidana

Penulis sangat prihatin dengan tindakan negara melalui Kementerian Hukum dan HAM yang telah menunda hak terpidana untuk memperoleh remisi dan bebas bersyarat yang notabene didasarkan pada ketentuan undang-undang.

Sebuah instruksi Menteri Hukum dan HAM dapat menegasikan perintah undang-undang hanya karena aspirasi publik dan tidak jelas pula publik yang mana yang diakomodasi Menteri Hukum dan HAM.Dua orang di antaranya adalah Paskah Suzetta dan Hafiid,dua orang tokoh partai politik dan mantan pejabat negara.

Bukan mustahil kebijakan lisan tersebut berlaku bagi narapidana lainnya (korupsi,terorisme dan narkotika). Semua warga negara harus diperlakukan sama di hadapan hukum.Konsekuensi persamaan di muka hukum juga telah dialami oleh kedua mantan pejabat tersebut sejak dalam proses penyidikan sampai pada persidangan yang terbuka dan dibuka untuk umum.

Namun ketika kedua orang ini telah menjadi terpidana maka prinsip persamaan di muka hukum bagi setiap narapidana tetap harus diberlakukan dan tidak diperbolehkan ada diskriminasi perlakuan kecuali mereka melakukan pelanggaran disiplin dan tata tertib yang berlaku di dalam lembaga pemasyarakatan. Kita tidak dapat menutup mata ada penyimpangan pemberian remisi dan bebas bersyarat terhadap terpidana bukan hanya korupsi dan terorisme melainkan juga pada kasus lainnya.

Namun tindakan reaktif dalam bentuk penundaan pemberian hak remisi dan bebas bersyarat merupakan tindakan sewenang-wenang dari negara terhadap hak universal narapidana yang juga dijamin dalam UUD 1945 (Pasal 28 D ayat 1). Bahkan dapat digolongkan sebagai bentuk pelanggaran HAM terpidana. Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 Pasal 30 ayat (10) menegaskan bawa setiap negara peratifikasi wajib (mandatory obligation) melaksanakan reintegrasi terpidana korupsi ke dalam masyarakat.

Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 sama sekali tidak memberikan mandat kepada negara peratifikasi untuk menunda atau meniadakan pemberian remisi atau bebas bersyarat kepada terpidana korupsi.Karena masyarakat internasional memahami benar standard minimum rules (SMR) internasional tahun 1955 yang berlaku dalam pembinaan narapidana terlepas dari kejahatan yang telah dilakukannya.

Beda Ranah
Korupsi termasuk kejahatan luar biasa dan harus ditangani secara luar biasa baik dalam tingkat penyidikan maupun pada tingkat pemeriksaan di muka pengadilan. Namun seketika putusan pengadilan telah dijatuhkan dan mengubah status terdakwa menjadi terpidana apalagi setelah memperoleh putusan pengadilan yang tetap maka tidak ada lagi perlakuanperlakuan yang luar biasa terhadap terpidana korupsi atau terorisme.

Karena keberadaan mereka di dalam lembaga pemasyarakatan bukan termasuk ranah penegakan hukum (law enforcement) lagi melainkan ranah pembinaan narapidana (treatment). Atas dasar pembedaan tersebut maka sejak lama telah diakui perbedaan yang signifikan antara penghukuman (punishment) di satu sisi dan pembinaan narapidana (treatment of prisoners) di sisi lain.

Penerapan asas praduga tak bersalah hanya berlaku terhadap tersangka dan terdakwa, tidak berlaku untuk narapidana yang sedang menjalani hukumannya. Kebijakan penundaan remisi dan bebas bersyarat bagi narapidana tertentu (korupsi, terorisme dan narkotika) dan tidak terhadap narapidana lain jelas bersifat diskriminatif. Perlakuan itu hanya dibenarkan berdasarkan undangundang sesuai dengan ketentuan Pasal 28 J UUD 1945 dan tidak boleh hanya didasarkan atas peraturan pemerintah apalagi peraturan menteri terlebih lagi hanya surat edaran dirjen.

Kebijakan tersebut hanya dibenarkan jika didasarkan pada UU perubahan terhadap UU pemasyarakatan tahun 1995. Peraturan pemerintah atau peraturan menteri yang menetapkan perbedaan perlakuan atas hakhak narapidana adalah cacat hukum dan karenanya batal demi hukum. Segala konsekuensi dari akibat batal demi hukum dimaksud maka negara wajib membayar kompensasi atau ganti rugi terhadap narapidana yang telah dirugikan hak-hak konstitusionalnya berdasarkan UUD 1945.

Dalam konteks kebijakan pemerintah yang keliru dan bertentangan dengan hak-hak konstitusional UUD 1945 maka Komnas HAM seharusnya turun tangan melakukan penyelidikan sesuai dengan UU RI Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Komnas HAM tidak dapat berdalih dan hanya berhenti dan tidak bertindak di balik pembedaan antara derogable rightsdan nonderogable rights semata-mata melainkan seharusnya merujuk juga pada ketentuan Pasal 28 J UUD 1945 yang hanya membenarkan pembatasan hak asasi dimaksud berdasarkan UU bukan bentuk peraturan perundang-undangan lainnya.

Dalam kasus penundaan pemberian remisi dan bebas bersyarat baru-baru ini justru terdapat keganjilan. Ada sebagian narapidana yang telah menikmati dikeluarkannya SK Menteri Hukum dan HAM tentang Pembebasan Bersyarat terhadap mereka, dan ada yang belum menikmatinya sekalipun SK tersebut telah dieksekusi secara administratif oleh kepala rutan setempat. Dalam konteks itu tampak bahwa di mata pemerintah narapidana bukan dipandang sebagai subjek hukum yang wajib diakui dan dihormati hak-hak asasinya.

Narapidana telah dijadikan objek perlakuan oleh sebuah kekuasaan yang bersifat otoritarian atas nama kepentingan aspirasi publik semata-mata dengan menabrak dasar perundangundangan dan UUD yang berlaku. Kita semua, termasuk penulis, tentu sepakat untuk memberantas korupsi sampai tuntas dan ke akar-akarnya. Akan tetapi semangat dan komitmen tersebut bukan semangat dan komitmen yang membabi-buta. Semangat itu harus dijalankan sesuai dengan dasar perundangundangan yang berlaku dan UUD 1945 sebagai landasan konstitusional berbangsa dan bernegara.●

ROMLI ATMASASMITA, Guru Besar Hukum Pidana Internasional Universitas Padjadjaran (Unpad)
Tulisan ini disalin dari Koran Sindo, 3 November 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan