Studi Banding Anggota DPR; Kunjungan Kerja atau Jalan-jalan?

STUDI banding ke luar negari, kunjungan kerja atau jalan-jalan dibiayai negara? Begitulah pro-kontra yang muncul di masyarakat dalam menyikapi kegiatan studi banding anggota DPR ke luar negeri. Pro-kontra - yang tidak mempermasalahakan nama kegiatan tersebut - muncul karena kegiatan yang dilakukan ke beberapa negara di lima benua (Asia, Eropa, Amerika, Australia dan Afrika) itu menghabiskan biaya yang sangat besar. Apalagi bila dikaitkan dengan kondisi negeri ini yang masih terdapat kemiskinan dan minimnya sarana prasarana yang mendasar bagi rakyat. Kita melihat bagaimana sekolah-sekolah roboh, puskesmas reyot, serta masih ada rakyat yang makan nasi aking.

Publik melalui LSM-LSM pemerhati penggunaan anggaran negara pun mulai meneriaki DPR yang kini akan meningkatkan biaya kunjungan kerja mereka. Teriakan mereka pada prinsipnya berkaitan dengan efektivitas dari kunjungan yang dilakukan para wakil rakyat yang duduk di sejumlah alat kelengkapan DPR tersebut.

Dari segi efektivitas, banyak pihak yang meragukannya, mengingat waktu perjalanan yang hanya singkat, juga pada saat yang bersamaan parlemen di negera-negara yang dituju dalam keadaan reses. Apa yang bisa dilakukan bila waktunya singkat dan orang yang ditemui juga tidak ada di tempat? Ya jalan-jalan pastinya, begitulah kesan minor publik.

Menurut Koordinator Investigasi dan Advokasi Forum Transparansi Indonesia untuk Anggaran (FITRA) Uchok Sky Khadafi, yang juga membuat publik kesal dengan kegiatan DPR ini adalah kesan anggota DPR saat ke luar negeri melakukannya secara diam-diam.

Perilaku yang seperti ini menjadikan kegiatan apapun menjadi kurang terpuji di mata publik. Juga terkesan untuk menghindari kewajiban memberikan pertanggungjawaban, baik itu tanggungjawab terlaksananya, atau tercapainya program terkait penyusunan Undang-Undang terkait, maupun tanggungjawab keuangan kepada publik.

Padahal, uang rakyat yang dipergunakan untuk membiayai kegiatan DPR sangat besar. Sebagaimana data yang dimiliki FITRA dalam kurun waktu April sampai Mei 2011 saja, biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan studi banding ke luar negeri mencapai Rp 15 miliar lebih.

DPR bahkan mengusulkan peningkatan biaya kunjungan kerja, dari semula masuk dalam kategori B menjadi kategori A. Tahun ini biaya kunjungan kerja dalam rangka penyusunan Rancangan Undang-undang (RUU) dialokasikan Rp 1,7 miliar per RUU. Sementara untuk tahun depan, anggarannya diusulkan naik menjadi Rp 3,4 miliar per RUU. Perubahan itu dikaitkan dengan kenaikan biaya tiket, uang harian, dan pemilihan negara kunjungan terjauh.

Selain itu, dia juga menyesalkan penggunaan masa reses ini untuk ke luar negeri, karena seharusnya anggota DPR itu turun ke daerah-daerah untuk menemui konstituennya, menyerap aspirasi, serta yang paling penting mempertanggungjawabkan kinerjanya.

Dari kontak dengan konstituennya diharapkan seorang anggota DPR dapat melihat dengan jelas apa permasalahan yang sedang dihadapi mereka yang di bawah. Selain itu, mereka dapat interospeksi apakah kinerjanya selama ini telah sesuai dengan harapan konstituennya, atau masih jauh sekali dari harapan.

Adalah sesuatu yang memprihatinkan bila kegiatan ke luar negeri tersebut tidak jelas urgensinya, kecuali hanya merupakan kegiatan untuk mengumpulkan pundi-pundi belaka. Hanya melanjutkan tradisi yang sebelumnya ada. Padahal, yang utama dan substansial adalah mempertimbangkan urgensi, bukan tradisi.

Masalah High Cost
Keadaan yang seperti ini, tentunya mengundang pertanyaan kita. Mengapa anggota DPR disibukkan dengan upaya mengumpulkan pundi-pundi dengan berkedok berbagai kegiatan yang diada-adakan dan dipantas-pantaskan? Jawabannya adalah karena high cost politics dalam ranah politik Indonesia.

Ya, high cost saat ini seakan telah menjadi sebuah prasyarat baru dalam dunia politik di Tanah Air. Syarat ini telah membelokkan politik kearah yang pragmatis dan transaksional semata. Hal inilah yang merusak demokrasi, yang merusak hubungan antara anggota dewan dengan konstituennya.

Bukan suatu omong kosong lagi bila parpol-parpol sangat terbuka untuk menerima orang-orang yang berduit tebal, atau yang pintar mencari uang, dan kemudian menjadikan mereka kaki tangan parpol di parlemen, atau di eksekutif.

Parpol dalam menempatkan orang-orangnya di Komisi ’’air mata’’ yang mengurusi bidang yang ’’kering’’ serta Komisi ’’mata air’’ yang mengurus bidang yang basah, juga tak lepas dari pertimbangan yang sifatnya transaksional semata. Yaitu, ukurannya sejauh mana mereka mampu menyetor ke elit parpol yang mendudukkan mereka di ’’mata air’’.

Meminjam pernyataan pakar psikologi politik Universitas Indonesia, Hamdi Muluk, bahwa parpol-parpol kini memang sudah dikuasai elitnya yang juga berperan sebagai cukong partai tersebut. Para cukong inilah yang mengatur alur setoran kader parpol terhadap parpol.

Hal inilah yang memecah konsentrasi mereka yang duduk di DPR antara loyalitas untuk memperjuangkan kepentingan konstituen atau rakyat, dengan memperjuangkan atau mengamankan kepentingan para cukong yang menguasai parpol yang bersangkutan.

Di sisi lain, Hamdi menilai kondisi ini walaupun sangat memprihatinkan tapi logis juga. ’’Dalam arti para elit yang menjadi cukong di sebuah parpol menilai wajar bila dia melakukan manuver untuk kepentingan dirinya, kepentingan kelompoknya, karena praktis publik tidak mendanai parpol. Bahkan, parpollah yang menyebar dana kepada publik,’’ katanya.

Padahal, publik melalui pajak yang mereka bayar telah ikut membantu negara membayar gaji para anggota DPR. Namun, di sisi lain perlunya menghadirkan parpol yang murni dibiayai publik juga harus dimunculkan guna mencegah dibajaknya parpol oleh kepentingan segelintir elit. (Hartono Harimurti-35) 
Sumber: Suara Merdeka, 30 Mei 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan