Patrialis Akbar Tidak Layak Menjadi Hakim Konstitusi

Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan Mahkamah Konsitusi menuntut pembatalan Pencalonan Patrialis Akbar sebagai Hakim Konstitusi. Koalisi menilai pencalonan ini cacat hukum dan mengabaikan rekam jejak Patrialis.

Presiden SBY dikabarkan telah menunjuk Patralis Akbar sebagai satu-satunya calon hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dari unsur pemerintah untuk menggantikan Achmad Sodiki yang akan pensiun bulan Agustus ini. Jika tidak ada hambatan, Patrialis akan dilantik secara resmi oleh Presiden sebagai Hakim MK dari unsur pemerintah pada Agustus 2013.

“Penunjukan Patrialis Akbar sebagai calon tunggal hakim MK dari unsur pemerintah patut dipertanyakan,” kata Emerson Yuntho, peneliti ICW. “Proses pencalonannya cacat hukum, melanggar Undang-undang Mahkamah Konstitusi (UU MK).” Pasal 19 UU MK mengatur bahwa pencalonan hakim konstitusi harus dilaksanakan secara transparan dan partisipatif.

“Artinya, masyarakat luas bisa turut serta secara aktif, mengetahui setiap proses yang berjalan, dan dapat berperan aktif memberi masukan atas calon yang diajukan, baik oleh DPR, MA, maupun Presiden,” jelas Emerson lagi.

Proses seleksi hakim konstitusi juga tercantum tegas dalam Pasal 20 ayat (2) UU MK, bahwa pemilihan hakim konstitusi wajib diselenggarakan secara objektif dan akuntabel. Wahyudi Djaffar dari ELSAM menjelaskan, “Yang diutamakan adalah profesionalitas, kredibilitas, dan kapabilitas dari para calon. Tidak boleh subjektif. Keseluruhan prosesnya juga harus dapat dipertanggungjawabkan secara akuntabel.”

“Sudah seharusnya proses seleksi hakim konstitusi dilakukan dengan ketat,” tegas Alvon Kurnia Palma dari YLBHI. Pasal 15 UU MK menyatakan, seorang hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian tidak tercela, mampu berlaku adil, serta seorang negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan. “Syarat kualitatif ini sebenarnya memberi pesan bahwa tidak semua orang bisa dengan mudah menduduki jabatan hakim konstitusi,” ujarnya. 

Parahnya lagi, penunjukan Patrialis juga tanpa lewat Panitia Seleksi. “Padahal tahun 2008, pemerintah melalui Wantimpres membentuk Panitia Seleksi untuk menjaring putra putri terbaik bangsa sebagai calon hakim MK,” ujar Emerson. Saat itu terdapat sedikitnya 15 orang kandidat memperebutkan 3 kursi hakim MK dari unsur pemerintah.

Emerson mengakui, “Jadi aneh dan mencurigakan jika sebelumnya hakim konstitusi diseleksi ketat, tapi sekarang tiba-tiba Presiden langsung menunjuk Patrialis tanpa lewat mekanisme seleksi.”

Rekam jejak Patrialis juga menjadi sorotan. Figurnya sangat dikenal publik sebagai politisi dari Partai Amanat Nasional (PAN). “Patrialis mewakili pemerintah atau partai politik? Kenapa harus Patrialis? Padahal masih banyak orang-orang di luar politisi yang layak menjadi calon hakim konstitusi mewakili unsur pemerintah,” ujar Wahyudi heran.

Jika Patrialis jadi dilantik, maka komposisi Hakim MK akan berubah dan tidak seimbang karena terdiri dari 4 orang berlatar belakang partai politik, 3 orang berlatar belakang hakim pengadilan, dan 2 orang berlatar belakang  akademisi/birokrasi. “Indepedensi MK sangat mungkin bakal terganggu karena dominasi kepentingan politik. Ini akan jadi ancaman serius, tidak hanya untuk MK namun juga untuk demokrasi di Indonesia,” Wahyudi mengingatkan.

Penunjukan Patrialis juga dicurigai merupakan bentuk “kompensasi politik” Presiden SBY atas pencopotan Patrialis sebagai Menteri Hukum dan HAM beberapa waktu lalu. “Jika benar begitu, sama saja Presiden menjadikan MK sebagai Tempat Pembuangan Akhir dan mendorong MK menjadi lembaga yang tidak kredibel,” tegas Emerson.

Koalisi mencermati kemungkinan penunjukan Patrialis karena tawar-menawar politik untuk pengamanan partai politik tertentu dalam Pemilu 2014. Koalisi mencermati, langkah Presiden SBY mencopot Patrialis Akbar sebagai Menteri Hukum dan HAM dan menggantikannya dengan Amir Syamsuddin merupakan bukti ketidakpuasan Presiden terhadap kinerja Patrialis.

“Pencopotan Patrialis dapat dimaknai bahwa kinerjanya mendapat ‘rapor merah’ di mata Presiden SBY. Maka tidak masuk akal, ketika Presiden SBY menempatkan seseorang yang dikeluarkan dari kabinet karena “rapor merah”, namun kemudian diusulkan mewakili pemerintah sebagai hakim di MK yang terhormat. Ini malah memperburuk citra pemerintah,” tukas Handika dari LBH Jakarta. “Apalagi, Patrialis juga punya rekam jejak yang tidak boleh kita lupakan.”

Tabel paparan koalisi soal rekam jejak Patrialis Akbar


Pernah Dua kali mengikuti seleksi calon Hakim Konstitusi

Pernah mendaftar seleksi calon Hakim Konstitusi pada tahun 2009 dan 2013. Pada tahun 2009, saat masih menjabat sebagai Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PAN dan Calon Anggota DPD dari pemilihan Sumatera Barat, ia pernah mengikuti seleksi sebagai calon Hakim Konstitusi dari unsur DPR menggantikan posisi Jimly Assidiqie namun gagal dalam fit and proper test

Motivasi mendaftar sebagai calon hakim konstitusi sempat dipertanyakan anggota dewan. Awal tahun 2013, Patrialis juga pernah mendaftar sebagai calon hakim konstitusi dari unsur DPR untuk menggantikan Mahfud MD. Namun, ketika seleksi berjalan ia mengundurkan diri dan tidak mengikuti fit and propet test di DPR. 

Pernah mendaftar sebagai calon legislator daerah pada Pemilu 2009

Patrialis pernah mencalonkan sebagai anggota DPD dari Daerah Pemilihan Sumatera Barat dalam Pemilu 2009 namun gagal dalam perolehan suara.

Sejumlah kebijakan Patrialis saat menjabat Menteri Hukum dan HAM dinilai tidak pro pemberantasan korupsi

Setelah gagal sebagai calon anggota DPD, Patrialis justru diangkat jadi Menteri Hukum dan HAM di era Pemerintahan SBY jilid dua.

Sejumlah kebijakan/langkah Patrialis saat menjabat sebagai Menteri dianggap komtroversial dan tidak sejalan dengan semangat pemberantasan korupsi, antara lain: “obral” remisi dan pembebasan bersyarat terhadap koruptor, pembangunan sel khusus koruptor di LP Cipinang dan dukungan terhadap pemberian Grasi terhadap Syaukani, mantan Bupati Kutai Kartanegara.

Pada era Patrialis juga terungkap skandal sel mewah milik Artalyta Suryani di Rutan Pondok Bambu.

“Koalisi punya dua rekomendasi. Pertama, kami menuntut pembatalan penunjukan Patrialis Akbar sebagai calon hakim konstitusi dari unsur pemerintah, karena prosesnya yang cacat hukum dan berpotensi  melemahkan institusi MK,” ucap Emerson.

Kedua, koalisi meminta pembentukan Panitia Seleksi Calon Hakim Konstitusi dan menjalankan proses seleksi secara transparan, partisipatif dan akuntabel. “Supaya seleksi mampu menjaring calon-calon hakim konstitusi yang berintegritas dan kepribadian tidak tercela, mampu berlaku adil, serta seorang negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan. Sebelum proses seleksi selesai dilakukan, Presiden wajib memperpanjang masa jabatan Achmad Sodiki selaku hakim konstitusi.” tandas Wahyudi.                                                                    

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan