Pertukaran atau Transfer Narapidana?

Kini Pemerintah Australia menyampaikan kembali usulan kepada Pemerintah Indonesia, melalui Jaksa Agung RI serta Menteri Hukum dan HAM, tentang ”pertukaran narapidana”, yaitu narapidana Schapelle Leigh Corby dengan 5.000 narapidana warga negara Indonesia di Australia.

Upaya Pemerintah Australia untuk ”menyelamatkan” Corby dari pelaksanaan hukuman di Indonesia tidak berhenti sejak John Howard menjadi perdana menteri Australia. Ketika itu pemerintahan Howard memohon kepada Pemerintah Indonesia agar Corby, sejak diputus, menjalani hukuman di Australia. Tidak diketahui publik dasar pertimbangan permohonan tersebut dan sikap Pemerintah Indonesia menolak permohonan tersebut sudah dalam koridor hukum internasional yang tepat.

Di satu sisi, kita salut terhadap Pemerintah Australia bahwa untuk satu nyawa warga negaranya, sekalipun terjadi pergantian pemerintahan, tetap saja memiliki satu misi yang sama, yaitu bagaimana menyelamatkan warga negaranya dari cengkeraman hukuman di negara lain.

Sudah tentu dari sisi ini kita harus akui bahwa kegigihan Pemerintah Indonesia terhadap ”korban” hukuman terhadap WNI di negara lain patut dipertanyakan. Bayangkan, kita baru mengetahui bahwa ada 5.000 WNI menjalani hukuman di Australia setelah berita pertukaran merebak ke media massa, sedangkan selama ini Pemerintah Indonesia tidak pernah melansir berita ini kepada DPR dan publiknya.

Tawaran yang disampaikan Pemerintah Australia tentang pertukaran narapidana tersebut tidak ada dasar hukumnya, baik hukum nasional maupun internasional. Dari sisi hukum internasional hanya diakui dalam perjanjian ”transfer (bukan pertukaran) narapidana” atau transfer of sentenced persons yang telah diatur dalam Konvensi PBB Menentang Kejahatan Transnasional Terorganisasi Tahun 2000 yang telah diratifikasi dengan UU RI Nomor 5 Tahun 2009 dan Konvensi PBB Antikorupsi Tahun 2003.

Di dalam kedua konvensi tersebut tidak diatur tentang kejahatan narkotika. Kasus narkotika diatur dalam Konvensi PBB tentang Larangan Perdagangan Ilegal Narkotika dan Psikotropika tahun 1988, tetapi konvensi tersebut tidak mengatur perjanjian transfer narapidana, kecuali hanya mengatur ekstradisi dan bantuan timbal balik dalam masalah pidana.

Hal ini menunjukkan bahwa untuk kasus narkotika tidak ada celah hukum internasional untuk diperjanjikan melalui transfer of sentenced persons, apalagi usulan ”pertukaran narapidana”. Hal ini disebabkan kejahatan narkotika termasuk ke dalam kejahatan serius yang menarik perhatian masyarakat internasional atau disingkat crime under international law. Selain itu, kejahatan narkotika termasuk kejahatan terorganisasi (organized crime) yang membahayakan keselamatan masyarakat internasional.

UU payung
Transfer terpidana narkotika rentan terhadap intervensi jaringan organisasi kejahatan internasional dan melemahkan sistem hukum nasional terhadap ancaman dan bahaya organisasi kejahatan narkotika internasional. Dari sisi hukum nasional, belum ada UU payung tentang transfer narapidana, kecuali untuk ekstradisi dengan UU Nomor 1 Tahun 1979 dan Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana dengan UU Nomor 1 Tahun 2006. Satu-satunya payung hukum untuk perjanjian transfer terpidana adalah UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.

Konsekuensi hukum dari ketiadaan UU payung khusus untuk transfer terpidana di Indonesia sehubungan dengan usulan Pemerintah Australia tersebut hanya dapat diatasi jika kedua negara mengikatkan diri ke dalam perjanjian bilateral transfer narapidana.

Menghadapi usulan Pemerintah Australia, kiranya Pemerintah Indonesia patut mempertimbangkan kualitas kejahatan narkotika yang dilakukan Corby, terbukti dari tuntutan jaksa penuntut umum terhadap terdakwa, yaitu bahwa terdakwa Schapelle Corby terbukti melanggar Pasal 82 Ayat (1) Huruf a UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan dituntut pidana penjara seumur hidup serta pidana dan denda sebesar Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah) subsider 6 (enam) bulan kurungan, didakwa telah melakukan kejahatan narkotika golongan I berupa ganja seberat 4,2 kilogram bruto atau 4,1 kilogram neto.

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 112 PK/Pid/2006 telah menolak kasasi Corby dan menyatakan bahwa Corby terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana, ”tanpa hak dan melawan hukum mengimpor narkotika golongan I”, dan kepada terdakwa dijatuhi pidana penjara selama 20 (dua puluh) tahun serta pidana denda sebesar Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah) dan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 6 (enam) bulan.

Berdasarkan pembuktian bahwa tindak pidana narkotika yang dilakukan terdakwa adalah Pasal 82 Ayat (1) Huruf a, yaitu mengimpor dan seterusnya, dapat disimpulkan, tindak pidana narkotika yang telah dilakukan Corby adalah tindak pidana serius dan berdampak terhadap keselamatan bangsa Indonesia. Selain itu kiranya pemerintah perlu mempertimbangkan hukum nasional (UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan) yang tidak memiliki alas hukum untuk menerima penempatan terpidana yang diputus oleh pengadilan negara asing di dalam lembaga pemasyarakatan.

Pernyataan Menlu Marty Natalegawa mengenai masalah ini dalam beberapa media nasional patut diapresiasi karena berpegang kepada norma hukum perjanjian internasional dan praktik atau kebiasaan yang diakui dalam hukum internasional.

Merujuk pernyataan Marty, kiranya Menteri Hukum dan HAM serta Jaksa Agung RI wajib mempertimbangkan secara sungguh-sungguh karena dua hal. Pertama, pernyataan Marty menegaskan kepada Pemerintah Australia bahwa Indonesia sebagai negara berdaulat memiliki kedaulatan hukum yang sepatutnya dihormati oleh Pemerintah Indonesia dan keberadaan norma hukum internasional yang telah diakui universal.

Kedua, adalah sikap yang tidaklah patut jika urusan (politik) dalam negeri Australia dibebankan kepada Pemerintah Indonesia berkaitan dengan status sosial terdakwa di negaranya. Hal ketiga, tawaran ”pertukaran terpidana” dari Pemerintah Australia dalam jangka panjang berisiko terhadap rentannya kedaulatan hukum nasional Indonesia di dalam pandangan Pemerintah Australia serta tidak ada jaminan hukum apa pun yang diperoleh dari ”pertukaran” tersebut dilihat dari sisi hukum internasional, misalnya jika terjadi sengketa hukum antarkedua negara.

Mengingat sifat dan kualitas kejahatan narkotika, sebagaimana telah diuraikan di atas, ”pertukaran” yang ditawarkan tersebut dapat dimaknai tidak adanya komitmen kuat Pemerintah Indonesia dalam melaksanakan UU RI tentang Narkotika tahun 2007 yang dicabut dengan UU RI Narkotika tahun 2009; yang merupakan implementasi Konvensi PBB Menentang Lalu Lintas Perdagangan Gelap Narkotika dan Psikotropika tahun 1988.

Pertimbangan lain adalah bahwa perjanjian kerja sama ekstradisi dan bantuan timbal balik dalam masalah pidana dengan Pemerintah Australia tidak pernah berhasil efektif dilaksanakan untuk kepentingan Indonesia, misalnya kasus Hendra Rahardja, dan terakhir kasus Kiki Andriawan. Dari sudut asas resiprositas sekalipun, hubungan kedua negara dalam pencegahan dan pemberantasan kejahatan transnasional tidak pernah memberikan nilai positif bagi Indonesia, termasuk masalah pencegahan dan pemberantasan perdagangan orang. Langkah konkret Pemerintah Indonesia dalam kaitan masalah ini adalah pertama, merundingkan pembahasan draf teks perjanjian bilateral tentang transfer terpidana. Kedua, mempercepat perubahan UU Pemasyarakatan tahun 1995 dan memasukkan klausul ketentuan penerimaan tahanan atau narapidana WNI yang sedang menjalani hukuman di negara lain.

Romli Atmasasmita Guru Besar Hukum Pidana Internasional Universitas Padjadjaran

Tulisan ini disalin dari Kompas, 24 Januari 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan