Presiden Harus Hentikan Upaya Lemahkan KPK

26 Juni 2009, pukul 13.30 WIB ICW bersama Koalisi Penyelamat Pemberantasan Korupsi mengadakan Konferensi Pers. Agenda ini merupakan penyikapan terhadap berbagai upaya sistematis untuk pembubaran dan pelemahan KPK. Terkait dengan pernyataan Presiden SBY satu hari sebelumnya, kami berpikir bahwa hal itu perlu disikapi secara tegas. Agar SBY tidak ikut-ikutan menggembosi dan melemahkan KPK. Seharusnya untuk pemberantasan korupsi, SBY lebih fokus pada Pembenahan Kejakasan dan Kepolisian, memberi teguran pada BPKP yang bertindak diluar wewenang, dan mendorong percepatan pembahasan RUU Pengadilan Tipikor di Parlemen.

Konferensi Pers diadakan pada Pk. 13.30 - 15.00 WIB
Tempat: LBH Jakarta
--------------------------------

Pernyataan Pers
PRESIDEN HARUS HENTIKAN UPAYA MELEMAHKAN KPK

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan KPK sebagai lembaga superbody dan punya kekuasaan yang terlalu besar akan tetapi tanpa kontrol yang memadai (Kamis, 25/6). Pernyataan ini kemudian ditanggapi beragam oleh berbagai pihak. Sebagian besar kalangan yang peduli pada pemberantasan korupsi menilai, pernyataan dan sikap Presiden tersebut berpotensi mengancam keberadaan KPK.  Dan. Bahkan bukan tidak mungkin mengarah pada delegitimasi KPK.

Hal ini tentu sangat disayangkan, mengingat SBY tercatat sebagai Presiden sekaligus calon Presiden yang selalu menyatakan komitmennya pada Pemberantasan Korupsi. Ditengah serangan yang bertubi-tubi terhadap KPK dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, suara yang muncul dari pimpinan Eksekutif ini justru berpotensi bias.

Sampai saat ini, publik menjadi saksi adanya beragam serangan yang tertuju pada KPK. Ada berbagai bentuk ancaman eksternal terhadap KPK yang berhasil kami catat. Pertama, UU nomor 30 tahun 2002 tentang KPK sebagai salah satu undang-undang yang paling sering diuji di Mahkamah Konstitusi. Salah satu putusan MK kemudian menyatakan Pasal 53 UU KPK inkonstitusional. Padahal pasal itulah yang menjadi dasar keberadaan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Meskipun kemudian MK memberikan waktu 3 tahun bagi pembentuk UU untuk mengesahkan UU khusus untuk Pengadilan Tipikor, akan tetapi ternyata komitmen Presiden dan DPR sangat meragukan.

Kedua, proses seleksi pimpinan KPK yang bermasalah. Persoalan yang terjadi di KPK saat ini seperti dugaan abuse of power dalam penyadapan yang terkait dengan Ketua KPK (non-aktif) tidak lepas dari pertanggungjawaban DPR sebagai pihak yang bersikeras memilih orang-orang tertentu. Padahal, jauh hari sejumlah elemen masyarakat sudah melakukan investigasi dan menyusun track record calon yang bermasalah. Namun, DPR mungkin punya kepentingan sebaliknya.

Ketiga, berbagai pernyataan dan manuver politik yang dilakukan oleh sejumlah angggota DPR yang terus menerus berupaya mendelegitimasi KPK. Hal ini sangat terlihat jelas dalam rapat kerja yang dilakukan Komisi III DPR-RI saat Antasari Azhar dinon-aktifkan sebagai Ketua KPK (7/5). Mayoritas anggota DPR saat itu bahkan menyatakan pendapatnya bahwa sifat kolegial pimpinan KPK haruslah diartikan KPK hanya dapat mengambil keputusan strategis jika ada 5 pimpinan. Dengan demikian, jika hanya ada 4 maka pengambilan keputusan KPK tidak sah sampai proses seleksi dilakukan. Pernyataan tersebut tentu saja sangat menohok dan berpotensi membusuki KPK.

Bentuk upaya delegitimasi lain juga tercermin dari fakta adanya penarikan beberapa penyidik dan auditor BPKP yang ada di KPK; penolakan DPR terhadap anggaran KPK untuk membangun rumah tahanan;  upaya merevisi kewenangan penyadapan KPK; mengembalikan proses persidangan kasus korupsi di Pengadilan Umum; menghilangkan eksistensi Hakim Ad Hoc di Mahkamah Agung, dan lainnya.

Dihubungkan dengan semakin banyaknya anggota DPR, pejabat tinggi, kelompok bisnis dan salah satu kerabat Presiden yang diproses oleh KPK dalam kasus korupsi, wajar jika masyarakat berpandangan, KPK sedang diserang.

Presiden RI tentu saja punya kewenangan dan ruang gerak untuk mencegah dan menghentikan segala bentuk upaya pembusukan KPK tersebut. Untuk menuntaskan RUU Pengadilan Tipikor, selain berjanji menerbitkan Perpu jika DPR tidak bisa menyelesaikan, Presiden seharusnya bisa memberikan perintah terhadap Partai Demokrat dan arahan pada partai koalisi yang mendukungnya untuk sunguh-sungguh menyelesaikan UU Pengadilan Tipikor. Perintah dan arahan terhadap Partai itulah yang tidak pernah secara eksplisit dinyatakan oleh SBY.

BPKP Tak Berwenang
Selain beberapa catatan diatas, kedatangan Kepala BPKP ke KPK pasca pernyataan SBY yang dimuat di salah satu harian Nasional pun patut dikecam. Tindakan BPKP yang mengatasnamakan perintah Presiden untuk melakukan audit terhadap KPK harus dipertanyakan. Selain semakin menunjukkan ketidakpahaman terhadap batas kewenangan BPKP yang diatur di UU No. 1 tahun 2004 dan PP 60 tahun 2008, BPKP pun diragukan kejujurannya terkait perintah lisan Presiden untuk audit KPK. Bantahan orang-orang dilingkaran Presiden bahwa tidak pernah ada perintah terhadap BPKP menjadi catatan penting.

Ke depan, kami meminta BPKP menghormati dan tidak melanggar hukum dalam menjalankan tugas. Karena, Pasal 3 UU KPK menyatakan secara tegas, KPK adalah lembaga negara yang independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Terkait dengan jalur pertanggungjawaban KPK, UU 30 tahun 2002 telah mengatur di Pasal 20, bahwa KPK bertanggungjawab pada publik. Posisi Presiden hanyalah sebagai pihak yang menerima laporan.

Sedangkan dasar hukum kewenangan BPKP terletak pada Pasal 58 ayat (1) UU No. 1 tahun 2004. Disebutkan, “Dalam rangka meningkatkan kinerja, transparansi, dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara, Presiden selaku Kepala Pemerintahan mengatur dan menyelenggarakan sistem pengendalian intern di lingkungan pemerintahan secara menyeluruh”. Bagian ini kemudian ditegaskan di PP nomor 60 tahun 2008 yang pada prinsipnya mengatakan, wilayah yang dapat diperiksa terbatas pada kementerian dan lembaga non-kementerian yang berada di bawah Presiden. Sedangkan KPK jelas merupakan lembaga independen yang bebas dari kekuasaan Presiden sekalipun.

Akuntabilitas KPK
KPK seharusnya yakin untuk menolak audit BPKP. Karena lembaga ini tidak berwenang untuk secara serampangan melakukan pemeriksaan terhadap Lembaga Negara. Penolakan ini bukan karena KPK anti-akuntabilitas dan anti-transparansi, akan tetapi lebih karena BPKP hanyalah lembaga audit internal Pemerintah dibawah Presiden. Sedangkan KPK bersifat independen dan lepas dari pengaruh kekuasaan manapun. Lagipula, sejauh ini pengelolaan keuangan KPK sudah diaudit secara rutin oleh organ konstitusional seperti BPK. Untuk kewenangan penyadapan, pemeriksaan rutin juga sudah dilakukan Depkominfo dan BPPT. Selain itu, pengawasan juga sudah dilakukan oleh DPR. Karena itulah, BPKP dinilai over-agresif untuk mengaudit KPK.

Tugas Presiden
Terkait dengan tugas dan peranan Presiden dalam pemberantasan korupsi, kami menyarankan agar Presiden kembali pada aturan konstitusi dan perundang-undangan. Bahwa sebagai kepala pemerintahan dan pimpinan tertinggi eksekutif, Presiden bertanggungjawab untuk memastikan Kejaksaan dan Kepolisian sudah bersih dan bekerja dengan benar. Karena hanya institusi itulah yang bisa dikendalikan dan dimaksimalkan oleh Presiden. Dengan kata lain, cermin pemberantasan korupsi dan penegakan hukum Presiden terletak pada kelam-terangnya Kejaksaan dan Kepolisian. Bukan, prestasi KPK.

Karena itulah, Kami meminta Presiden, untuk:

  1. Menghentikan segala upaya yang hendak melemahkan KPK .
  2. Berkoordinasi dengan partai koalisi pendukungnya untuk tidak menghambat pengesahan Undang-Undang tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang sedang berjalan di DPR saat ini.
  3. Membenahi dan membersihkan Kejaksaan dan Kepolisian, karena dua institusi inilah yang secara struktural berada dibawah tanggungjawab dan kewenangan Presiden.
  4. Memberi teguran keras terhadap Kepala BPKP yang mengatasnamakan Presiden untuk mengaudit KPK, padahal itu berada diluar kewenangannya.


Jakarta, 26 Juni 2009

KOALISI PENYELAMAT PEMBERANTASAN KORUPSI

(ICW, LBH Jakarta, KRHN, MAPPI FH UI, TII, MTI, LeIP, PSHK, ILR, ILRC, IBC, ICEL, PuKAT FH UGM, YLBHI, RACA Institute, Wahid Institute, FITRA, LBH Padang, ICM Yogyakarta, PuSaKo Universitas Andalas, AMAK, KP2KKN Jawa Tengah, Pokja 30 Kaltim, Malang Corruption Watch (MCW),Bali Corruption Watch (BCW), SaHDAR Medan, MATA Aceh, PIAR Kupang,Garut Governance Watch (GGW), PATTIRO Semarang)

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan