Pidana Gratifikasi Terlarang

Komisi Pemberantasan Korupsi menerapkan pasal baru untuk mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar.

Setelah menggunakan pasal suap terhadap hakim, KPK kemudian menggunakan Pasal 12B UU No 31/1999 yang diubah menjadi UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Korupsi. Sejak diundangkan 21 November 2001, ini pertama kali KPK menggunakan pasal gratifikasi. Apa yang menarik dari langkah baru ini?

Perdebatan hukum
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, kita perlu mencermati pemberitaan tentang penyitaan yang dilakukan KPK. Selain uang Rp 3 miliar saat penangkapan, KPK juga menyita tiga mobil mewah, satu di antaranya diatasnamakan sopir, uang sekitar Rp 2,7 miliar, dan pemblokiran rekening. Dari penyitaan tersebut, KPK diperkirakan mempunyai sejumlah peluang hukum untuk memproses lebih lanjut. Mulai dari pasal suap dan gratifikasi yang sudah dikenakan, aturan lain di UU Tipikor yang belum digunakan, hingga peluang penerapan UU Pencucian Uang.

Keberadaan Pasal 12B ini mendapat penekanan khusus dalam Penjelasan Umum UU No 20/2001. Disebutkan ”pembuktian terbalik” sebagai primum remedium diberlakukan dalam tindak pidana baru gratifikasi. Inilah salah satu kekhususan hukum acara yang memang berbeda dari asas umum yang menganut pembuktian sebagai beban penuntut umum. Keberadaan Pasal 12B diharapkan juga mempermudah penegak hukum menjerat korupsi mengingat sulitnya membuktikan suap untuk penerimaan yang sudah lama terjadi.

Pasal 12B Ayat 1 mengatur ”Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya....” Untuk penerimaan di atas Rp 10 juta, kewajiban pembuktian gratifikasi bukan suap berada di pihak penerima, untuk penerimaan di bawah Rp 10 juta beban pembuktian tetap pada penuntut umum. Namun, sebagian kalangan mengkhawatirkan keberadaan Pasal 12C yang justru menegasikan ancaman pidana gratifikasi jika dalam jangka 30 hari, penerimaan gratifikasi dilaporkan kepada KPK. Karena itu, penerapan pidana gratifikasi masuk perdebatan hukum.

Di satu sisi, keberadaan Pasal 12B dinilai penting bagi pemberantasan korupsi dan membantu penegak hukum. Di sisi lain, terkesan ada standar ganda pembentuk undang-undang ketika mengatur alasan pembenar jika penerimaan dilaporkan kepada KPK. Bisakah hal ini menjadi celah hukum bagi penerima suap yang tertangkap tangan KPK? Misalnya, ketika tertangkap tangan, berdalih akan melaporkan uang yang diterima.

Ada dua isu krusial dalam polemik penerapan pasal gratifikasi. Pertama, apakah ”alasan pembenar” Pasal 12C dapat diberlakukan juga untuk kasus suap ketika KPK menggunakan Pasal 5, 6, 11, 12 a, b, atau c? Tentu, tidak. Karena Pasal 12C menyebutkan secara jelas, pengecualian hanya berlaku untuk Pasal 12B. Dengan demikian, jika penegak hukum menggunakan pasal suap lainnya, Pasal 12C tidak dapat berlaku. Hal ini menegaskan kekhususan regulasi pidana gratifikasi, termasuk penerapannya yang diharapkan bisa membidik penerimaan hadiah di waktu sebelumnya (lebih dari 30 hari) yang belum terungkap melalui upaya tangkap tangan seperti sering dilakukan KPK. Pasal ini juga menjadi pintu masuk terhadap temuan transaksi keuangan mencurigakan oleh PPATK yang sering terbengkalai karena keraguan penerapan hukum.

Kedua, susunan kata dalam Pasal 12B, khususnya subyek yang hendak ditunjuk dalam frase ”apabila berhubungan dengan jabatan dan yang berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya”. Apakah dua frase kumulatif itu bermakna sama dengan pasal suap lainnya? Misalnya: menghendaki ada perbuatan dari penerima suap yang berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya?

Jika dicermati susunan gramatikal, tampak yang ditunjuk bukanlah perbuatan dalam jabatannya akibat penerimaan gratifikasi ataupun bukan penerimaan gratifikasi yang bertujuan untuk menggerakkan pejabat tersebut. Namun, juga dapat pada perbuatan menerima gratifikasi. Dengan demikian, bagian ini harus dibaca: menerima gratifikasi dianggap suap jika penerimaan tersebut berhubungan dengan jabatannya, dan perbuatan menerima itu berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya. Maka, tak dibutuhkan pembuktian adanya perbuatan si penerima gratifikasi, seperti menerbitkan surat, mengeluarkan keputusan, memenangi perkara, atau lain-lain dalam jabatannya. Cukuplah dipahami bahwa menerima gratifikasi dari pihak lain, khususnya pihak yang beperkara, adalah penerimaan terlarang.

Mengacu UU Mahkamah Konstitusi, Pasal 27B telah menegaskan kewajiban dan larangan terhadap hakim konstitusi seperti: ”menerima suatu pemberian hadiah atau janji dari pihak yang beperkara, baik langsung maupun tidak langsung”. Di sini dapat dilihat, penerimaan dari pihak beperkara itu sendiri dilarang atau berlawanan dengan kewajibannya. Tentu saja jika dapat dibuktikan adanya penerimaan dari pihak beperkara, ini dapat dikategorikan berhubungan dengan jabatan. Singkat kata, seorang hakim menerima/diberikan uang karena dia hakim, dan uang itu tak akan diberikan jika ia masyarakat biasa.

Namun, dari uraian di atas masih terdapat satu kekhawatiran, apakah permintaan keterangan tentang asal-usul kekayaan terkait pasal gratifikasi dapat dilakukan sejak penyidikan? Mengingat ada ketentuan Pasal 38A yang mengatur bahwa pembuktian terbalik dilakukan di persidangan? Jika KPK hanya menggunakan pasal gratifikasi, tentu sulit bagi KPK ”memaksa” tersangka menjelaskan secara benar asal-usul kekayaannya. Dengan mudah, tersangka akan menggunakan dalil Pasal 38A dan hak memberikan keterangan secara bebas, termasuk diam.

Kecuali, KPK mempertimbangkan penggunaan Pasal 22 dan 28 UU Tipikor yang memberikan ancaman pidana 3-12 tahun terhadap pihak yang memberikan keterangan tak benar tentang seluruh harta benda tersangka, istri/suami, anak dan pihak lain yang diketahui/patut diduga berhubungan dengan korupsi yang dilakukan. Penggunaan pasal ini diharapkan juga berpengaruh jika tiba-tiba ada perubahan keterangan antara penyidikan dan persidangan.

Pemiskinan koruptor
Secara umum, dalam konteks pemiskinan koruptor, penggunaan pasal gratifikasi dengan kombinasi tepat jadi salah satu cara yang dapat dilakukan KPK. Karena jika terdakwa gagal membuktikan penerimaan gratifikasi bukan suap maka ia dinyatakan terbukti korupsi dan hakim dapat memerintahkan perampasan kekayaan. Namun, KPK diharapkan terus menelaah peluang penerapan UU Pencucian Uang, terutama jika ditemukan indikasi adanya hasil kejahatan dan penyembunyian asal-usul kekayaan. Dalam kasus Bahasyim Assifie, Wa Ode Nurhayati, dan Irjen Djoko Susilo, unsur ”menyembunyikan asal-usul” dapat dilihat dari perputaran dana pada sejumlah rekening, penggunaan nama pihak lain untuk kepemilikan aset atau tak dilaporkannya kekayaan di LHKPN. Dengan demikian, penerapan pasal gratifikasi oleh KPK perlu dimaknai sebagai upaya meningkatkan efektivitas pemberantasan korupsi, termasuk strategi menuju pemiskinan koruptor.

Febri Diansyah, Pegiat Antikorupsi; Peneliti Indonesia Corruption Watch

Tulisan ini disalin dari Kompas, 25 November 2013

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan