Antara Teroris dan Koruptor

Vonis terhadap para terpidana mati kasus pelaku bom Bali sudah diputuskan. Eksekusi hukuman mati terhadap mereka akan dilaksanakan pada awal November 2008. Sementara itu, pelaku tindakan penyelewengan uang negara oleh para koruptor hanya dijatuhi hukuman penjara, bahkan tidak sedikit yang tidak tersentuh hukum hingga saat ini.

Benar, peristiwa pengeboman di Bali itu telah mengakibatkan hilangnya nyawa sejumlah manusia dengan mengenaskan, secara langsung pada saat itu juga. Perekonomian di Bali, terutama yang terkait dengan bidang pariwisata, menjadi terganggu. Sedangkan perekonomian secara nasional terganggu karena adanya isu terorisme. Pemulihannya perlu waktu yang tidak sebentar.

Putusan final terhadap para teroris itu menjadi sorotan banyak pihak. Apalagi bom Bali menelan korban wisatawan asing cukup banyak. Menjadi poin penilaian bagi mereka, apakah Indonesia merupakan negeri yang benar-benar aman dan nyaman, baik untuk tujuan wisata, berinvestasi, maupun melakukan transaksi dan kegiatan ekonomi.

Tidakkah tindakan para koruptor menyebabkan hal yang sama? Perekonomian nasional menjadi sangat terganggu. Perputaran uang yang seharusnya bisa melibatkan masyarakat banyak dan bisa menimbulkan efek domino ke arah yang positif tidak berlangsung sebagaimana mestinya. Uang yang seharusnya bisa menyejahterakan rakyat banyak hanya dinikmati segelintir manusia, yang dari sisi materi mereka umumnya sudah berkecukupan.

Anggaran negara terus-menerus tergerus, yang antara lain karena korupsi. Ingat, almarhum begawan ekonomi kita, Prof Dr Soemitro, pernah menyatakan betapa besarnya kebocoran anggaran pemerintah, sehingga anggaran tersebut selalu defisit, dan harus ditutup dengan utang dari luar negeri, yang kemudian membebani rakyat.

Rakyat yang sudah susah hidupnya, sebagian di antaranya karena kondisi yang memaksa, bisa jadi melakukan hal-hal negatif, entah mencopet, menjadi maling, atau merampok, yang di antara perbuatan itu, kadang, bisa juga terjadi penghilangan nyawa manusia.

Rakyat yang bertahan dan bersabar dengan kondisinya yang memprihatinkan dapat pula berakhir dengan tragis. Keluarga, anak dan istrinya, hanya makan seadanya. Sudah jatah makan kurang, tidak bergizi pula. Akibatnya, mereka mudah terserang penyakit, dan tidak sedikit yang meninggal dunia karenanya. Kalau begitu, bukankah perbuatan para koruptor tersebut juga pada akhirnya menyebabkan nyawa manusia melayang, walau mungkin tidak secara langsung pada saat yang bersamaan dengan tindakan korupsinya.

Akibat korupsi yang sudah mengurat-mengakar, karena sudah sampai pada tahap kritis--negeri kita termasuk dalam jajaran papan atas di antara negara-negara dengan tindakan korupsi terbesar--kondisi perekonomian berjalan terseok-seok. Pasalnya, korupsi yang sudah jadi budaya terus tumbuh sebagai benalu, menggerogoti setiap sendi-sendi perekonomian. Setiap bidang, tanpa kecuali, diupayakan dikorupsi, mulai kantor-kantor di pusat pemerintahan hingga di daerah-daerah. Bahkan bantuan yang sejatinya untuk rakyat yang benar-benar kurang mampu atau terkena bencana alam juga, tega-teganya, dikorupsi.

Kalau kepada teroris berani diputuskan penjatuhan hukuman mati, kenapa tidak buat para koruptor? Kita lihat negeri Cina. Demi melenyapkan perbuatan korupsi, mereka tidak segan-segan menyediakan peti mati bagi para koruptor. Hasilnya, Cina tumbuh dengan pesat, menjadi negara yang kini ditakuti karena pertumbuhan ekonominya melaju begitu cepat.

Sial bagi para teroris. Para pejabat meja hijau yang mengadili pelaku pengeboman saat ini tidak memiliki catatan bahwa mereka terlibat dalam peristiwa terorisme. Sebaliknya, keuntungan bagi para koruptor. Sudah ada beberapa pejabat meja hijau yang diseret menjadi terdakwa dalam tindakan korupsi. Jadinya, posisi mereka sepertinya seimbang.

Untuk membiayai tindakannya, teroris menggalang dana sendiri atau bantuan dari donaturnya. Perbuatannya menimbulkan efek negatif dan merugikan pihak lain, sedangkan koruptor, sudah tindakannya memakan uang negara/rakyat, dampak perbuatannya juga merugikan. Jadi kesalahan koruptor sebanyak dua kali.

Teroris, khususnya di Indonesia, hingga kini tidak terdengar melibatkan orang-orang penting, termasuk yang masih aktif memegang jabatan di pemerintahan atau lembaga-lembaga negara lainnya. Sehingga, ketika memutuskan hukuman kepada mereka, tidak ada kekhawatiran akan menyeret-nyeret orang-orang penting yang memiliki pengaruh itu. Sebaliknya dengan koruptor, umumnya berdasarkan temuan-temuan penyidik, mereka memiliki kedekatan dengan pejabat-pejabat publik. Akibatnya, penetapan hukuman bagi mereka tersendat-sendat.

Tapi sudah terbukti bahwa teroris dan koruptor sama-sama sampah masyarakat. Sama-sama merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Jadi, untuk menumpasnya, ya, tidak perlu ragu-ragu lagi.

Priambodo, Peminat masalah sosial dan ekonomi

Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 5 November 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan