Banding Asian Agri Tak Menghentikan Penagihan Denda Pajak

Skandal pajak produsen minyak sawit terbesar di Indonesia Asian Agri terus dikejar publik dan mengundang komentar sejumlah  tokoh. Publik mempertanyakan kejelasan dan mekanisme pencicilan pelaksanaan eksekusi Mahkamah Agung terhadap ‘kenakalan’ Asian Agri.

Praktisi perpajakan Yustinus Prastowo mengemukakan jumlah uang sekitar Rp 900 miliar yang dibayarkan Asian Agri adalah sebagai syarat formil mengajukan banding di Pengadilan Pajak, bukan membayar hukuman denda.

Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan mengatur bahwa permohonan banding tidak menghentikan penagihan pajak. Artinya, Asian Agri tetap harus membayar denda.

“Maka, Ditjen Pajak mesti terus menagih Asian Agri,” tegas Prastowo saat dimintai komentarnya awal minggu ini.

Peneliti ICW Firdaus Ilyas menguraikan, Asian Agri ingin membangun logika tertentu lewat pengajuan banding pajak yang tengah dilakukannya. Yaitu, jika pemeriksaan materil dikabulkan pengadilan pajak, maka denda pidana yang sudah dijatuhkan Mahkamah Agung dalam putusan kasasi menjadi aneh dan tak relevan.

“Tapi seharusnya Pengadilan Pajak menggunakan logika terbalik,” saran Firdaus. Pengadilan Pajak dapat menolak permohonan banding pajak Asian Agri dengan mempertimbangkan putusan kasasi MA yang memvonis bersalah Asian Agri.

Dalam putusan kasasi MA pun sebenarnya tidak ada perintah untuk mencicil denda pidana yang dijatuhkan, sehingga seharusnya juga Kejaksaan melakukan eksekusi tanpa ada klausul cicilan.

“Ditjen Pajak dan Kejaksaan seharusnya dapat bekerjasama dalam melakukan penyitaan terhadap aset Asian Agri,” tutur Prastowo.

Abdul Fickar Hadjar, Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti Jakarta mengatakan eksekusi denda atau tunggakan pajak bersifat hukum administratif, yang mengarah pada kecenderungan hukum perdata.

“Kesepakatan menjadi hukum tertinggi (pacta sunt servanda),” katanya. “Jadi sah saja dilaksanakan secara perdata dengan segala konsekuensinya, termasuk bunga jika membayar mencicil.”

Karena memakai konstruksi hukum perdata, jelas Abdul, sesungguhnya ada keuntungan negara yang hilang jika tidak ada perhitungan pembayaran bunganya.

“Walau jumlah kerugian negara sudah ditetapkan sebagaimana putusan pengadilan, tetap saja bunganya menjadi milik negara dan harus masuk kas negara. Tidak boleh sepeserpun jadi milik perorangan pribadi di Kejaksaan,” Abdul memperingatkan.

Metta Dharmasaputra, Peneliti KATADATA dan jurnalis yang membukukan skandal pajak Asian Agri menilai

semestinya Asian Agri bisa memenuhi kewajiban pembayaran tanpa harus mencicil, sebab kalkulasi aset Asian Agri sangat besar.

“Jika memang mereka benar menerima putusan Kasasi dan membayar Rp. 719 M dengan cicilan Rp. 200 M per bulan, seharusnya Asian Agri tidak berencana mengajukan Peninjauan Kembali,” tambah Metta.

Metta meyakini publik harus tetap fokus pada penuntasan eksekusi vonis MA atas Asian Agri.

Selain itu, kata Metta, publik juga harus mengawal proses di pengadilan pajak. “Sebab, melihat catatan panjang selama ini, banyak kasus pajak yang dimentahkan di Pengadilan Pajak,” ungkap Metta.

Metta menilai untuk bisa menjerat pengendali dan pemilik asli (beneficial owner) dari Asian Agri, penegak hukum harus menggunakan mekanisme hukum pencucian uang yang terdapat dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang.

Maka, lanjutnya, masyarakat yang prihatin terhadap praktek korupsi dan kejahatan cuci uang bisa mendesak aparat hukum agar melakukan langkah ini dengan melaporkan berbagai indikasi yang ada.

“Kejaksaan dan Kepolisian pun diharapkan bisa menjerat otak di balik kejahatan pajak ini dengan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang,” tambahnya. Sebab, vonis MA dalam kasus Suwir Laut telah membuktikan adanya kejahatan asal (predicate crime) dalam kasus ini.

Baik Metta dan Prastowo saat dihubungi terpisah berpendapat tidak perlu khawatir tentang kemungkinan pemutusan hubungan kerja ribuan karyawan Asian Agri, jika Kejaksaan melakukan penyitaan.

Sebab, Kementerian Badan Usaha Milik Negara sudah menyatakan siap mengambil alih aset Asian Agri sehingga perusahaan bisa berjalan normal tanpa gangguan.

Direktorat Jenderal Pajak, tambah Prastowo, bisa aktif menagih Asian Agri melunasi hukumannya. “Kejaksaan juga bisa saja melakukan penguasaan aset produktif Asian Agri dengan memperhatikan nasib karyawan Asian Agri,” sarannya. 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan